Ilham
Kurniawan Dartias
Staf
Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
Lokalitas masyarakat adat
merupakan kenyataan empiris dalam kehidupan bangsa yang masih menyisakan
segudang polemik. Sejatinya masyarakat adat sudah ada jauh sebelum berdirinya
Negara ini. Begitu juga ketika pendirian Negara Republik Indonesia yang
dijewantahkan dalam UUD tahun 1945 lokalitas masyarakat adat menjadi salah satu
pembahasan para founding father
untuk untuk mencari legal standing (paying hukum) pengakuan
masyarakat adat. Lokalitas masyarakat adat tidak terlepas dari keberadaan
masyarakat Indonesia yang plural
dengan ciri khas dan kebudayaan yang masih melekat ditengah masyarakat sampai
sekarang ini.
Konstruksi Hukum
Konstruksi pengakuan masyarakat adat
sebenarnya sudah termaktub ketika pembahasan UUD 1945 sebagai hukum tertingi
dan norma dasar Republik ini. Secara yuridis Pasal 18 B UUD 1945 telah
menegaskan keberadaan masyarakat adat. Seharusnya pengakuan eksistensi masyarakat
adat dalam konstitusi ini harus dilengkapi dengan penghormatan, pengakuan,
pemenuhan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat
adat sesuai dengan HAM. Inilah kewajiban pokok Negara dalam pemenuhan HAM,
termasuk juga Hak Asasi masyarakat adat. Karena tanpa adanya peran dari Negara
dalam pemenuhan dan perlindungan basic
right, akan terasa hampa keberadaan hak-hak dasar masyarakat adat tersebut.
Terkait dengan tanggung jawab Negara
sangat relevan dengan teori Contract
Social
(Perjanjian Masyarakat atau Kedaulatan Rakyat) yang dilontarkan oleh Jean
Jacques Rousseau bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah perjanjian yang
diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Rosseau
dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1972), mengemukakan bahwa
negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan
perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat. Pada intinya teori Contract Social Rosseau ini mengedepakan
bahwa lahirnya Negara karena adanya kesepakatan rakyat untuk mendirikan Negara
dan memberikan kewenangan kepada Negara untuk mengatur dan memenuhi hak-hak
rakyat. Negara merupakan alat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena
diberikan kewenangan Negara merupakan pemberian dari masyarakat yang telah
sepakat mendirikan Negara. Artinya Negara terikat kontrak dengan masyarakat
untuk menjalankan kemauan masyarakat.
Dalam konteks pendirian Negara
Republik Indonesia tidak terlepas dari kesepakatan rakayat indoensia untuk
menjadi satu negera sehingga secara tidak langsung Negara bertanggung jawab
dalam mensejahterakan rakyatnya. Lahirnya Negara ini juga dimotori oelh
masyarakat adat seluruh nusantara. Oleh karena itu pengakuan atas keberadaan dan
hak masyarakat adat harus diuraikan lebih jauh dalam berbagai peraturan
perundangan, baik Undang-Undang maupun aturan turunannya sampai ke Peraturan
Daerah atau bleid (kebijakan) pejabat
negara.
Walaupun Pasal 18 B Amandemen Kedua
UUD 1945 telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat adat, begitu
juga Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah
sejumlah UU yang telah mencantumkan masyarakat adat (atau dengan istilah
masyarakat hukum adat) sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan
hak-hak mereka. Patut diingat bahwa di tengah berbagai istilah yang digunakan,
substansi yang disasar tetaplah masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan
hak asal-usul. Hukum adat hanyalah salah satu aspek dari kelengkapan sosial
politik yang dimiliki masyarakat ini, sehingga tidak tepat bilamana kelompok
ini direduksi sekedar sebagai masyarakat hukum adat saja.
Di sisi lain, Indonesia juga sudah
meratifikasi sejumlah instrument HAM internasional, menjadi penandatangan untuk
beberapa yang lain, dan juga menjadi pendukung bagi yang lainnya. Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial,
Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan; Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang
Hak-Hak Masyarakat Adat adalah sejumlah instrument HAM internasional yang
dimaksud. Empat yang pertama telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Dalam
instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi tersebut jelas ditegaskan
kewajiban Negara untuk memenuhi hak-hak warga Negara.
Pengakuan
Bersyarat
Ada empat poin
penting terkait pengakuan masyarakat adat baik yang terdapat dalam pasal 18B
UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan yaitu (1) masyarakat hukum adat itu
masih hidup, (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai pula dengan
prinsip negara kesatuan RI, dan (4)
eksistensinya diatur dengan undang-undang. Jelas tergambar pengakuan masyarakat
dalm konstitusi di barengi dengan syarat-syarat atau kriteria agar suatu kelompok
masyarakat dapat dikatakan masyarakat adat.
Selain
dalam UUD 1945 pengakuan bersyarat masyarakat adat tergambar dalam pasal 67
ayat (2) UU Kehutanan bahwa pengukuhan keberadaan atau hapusnya masyarakat
hukum adat sebagaimana dimaksud pada pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan ditetapkan
dalam Perda.
Ketentuan pasal
67 ayat (3) ini sejalan dengan Permen Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 (pasal 6)
dan Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan (pasal
2 ayat 2 huruf F) sama-sama menegaskan bahwa kewenangan penyelesaian dan penetapan
hak ulayat diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Menurut Permen Agraria a quo, pemerintah daerah berwenang untuk
menentukan dan memberikan pengakuan terhadap ulayat di daerahnya
masing-masing melalui peraturan daerah.
Dalam rangka membuat Perda ini pemda membentuk tim khusus untuk melakukan
penelitian yang mendalam tentang keberadaan hak ulayat didaerahnya. Tim
peneliti ini terdiri dari Pemda, pap pakar hukum adat, masyarakat hukum adat
bersangkutan, LSM dan instansi yang mengelolan SDA. Jika hasil penelitian
menunjukan bahwa hal ulayat di daerah bersangkutal betul-betul eksis
berdasarkan kriteria yang ditentukan dan merasa perlu
diatur, maka Pemda bersama dengan DPRD mengupayakan lahirnya Perda tentang pengakuan
tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Berbagai
peraturan perundangan sudah mencoba memberikan legal standing (paying hukum) terkait lokalitas masyarakat adat. Akan tetapi
ada ambiguitas terkait dengan pengakuan dan pengelolaan SDA yang ada dalam
masyarakat adat. Di beberapa daerah sudah ada Perda tentang masyarakat adat seperti Perda
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan
Pelepat Kabupaten bungo, Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan
Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan Perda Kabupaten Kampar No 12/1999 tentang Tanah
Hak Ulayat, Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan
Pemamfaatannya. Baru ini Pemerintah Daerah Kerinci mengakui masyarakat adat
yang mengelola hutan adat di Sembilan (9) Desa yang diakui dalam Perda RTRW
Kabupaten Kerinci 2012-2032 seluas lebih kurang kurang lebih 1.202 (seribu dua
ratus dua) hektar. Berdasarkan catatan KKI Warsi untuk
provinsi Jambi sudah terdapat 23 Hutan adat yang diakui baik oleh Perda maupun SK
Bupati yang tersebar di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo dan Kerinci.
Penulis melihat
pengakuan masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan
syarat-syarat tertentu adalah wujud pereduksiaan keberadaan masyarakat adat itu
sendiri. Biarkan masyarakat adat membuktikan bahwa mereka tetap ada. Seperti
teori bola mengembang dan mengempis bahwa ketika bola mengembang jelas sekali
ada angin didalamnya dan ketika bola mengempis bukan
berarti agin tidak ada, sebenarnya masih ada tersisa angin dalam
bola tersebut. Begitu juga masyarakat adat walaupun kehidupan masyarakat
dinamis tetapi masyarakat Indoenesia tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya
sebagai masyarakat adat karena masyarakat itu akan tetap ada dengan hukum adat
dan kebiasaanya walaupun sudah terjadi perubahan sosial
ditengah masyarakat. Walaupun beberapa masyarakat adat sudah mendapat legal standing dalam pengelolaan Hutan
adat, akan tetapi menurut penulis hal terpenting adalah bagaimana hutan adat ini bisa memberikan
kesejahteraan bagi masyarakat adat itu sendiri sehingga tercapainya impian welfare state (negara kesejahteraan)..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar