Kamis, 03 Januari 2013

Mempertegas Lokalitas Masyarakat Adat


Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi


Lokalitas masyarakat adat merupakan kenyataan empiris dalam kehidupan bangsa yang masih menyisakan segudang polemik. Sejatinya masyarakat adat sudah ada jauh sebelum berdirinya Negara ini. Begitu juga ketika pendirian Negara Republik Indonesia yang dijewantahkan dalam UUD tahun 1945 lokalitas masyarakat adat menjadi salah satu pembahasan para founding father untuk  untuk mencari legal standing (paying hukum) pengakuan masyarakat adat. Lokalitas masyarakat adat tidak terlepas dari keberadaan masyarakat Indonesia yang plural dengan ciri khas dan kebudayaan yang masih melekat ditengah masyarakat sampai sekarang ini.

Konstruksi Hukum
Konstruksi pengakuan masyarakat adat sebenarnya sudah termaktub ketika pembahasan UUD 1945 sebagai hukum tertingi dan norma dasar Republik ini. Secara yuridis Pasal 18 B UUD 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat adat. Seharusnya pengakuan eksistensi masyarakat adat dalam konstitusi ini harus dilengkapi dengan penghormatan, pengakuan, pemenuhan dan perlindungan atas hak-hak yang menyertai keberadaan masyarakat adat sesuai dengan HAM. Inilah kewajiban pokok Negara dalam pemenuhan HAM, termasuk juga Hak Asasi masyarakat adat. Karena tanpa adanya peran dari Negara dalam pemenuhan dan perlindungan basic right, akan terasa hampa keberadaan hak-hak dasar masyarakat adat tersebut.
Terkait dengan tanggung jawab Negara sangat relevan dengan teori Contract Social (Perjanjian Masyarakat atau Kedaulatan Rakyat) yang dilontarkan oleh Jean Jacques Rousseau bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah perjanjian yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Rosseau dalam bukunya yang berjudul “Le contract social” (1972), mengemukakan bahwa negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan perundang-undangan adalah penjelmaan kemauan rakyat. Pada intinya teori Contract Social Rosseau ini mengedepakan bahwa lahirnya Negara karena adanya kesepakatan rakyat untuk mendirikan Negara dan memberikan kewenangan kepada Negara untuk mengatur dan memenuhi hak-hak rakyat. Negara merupakan alat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena diberikan kewenangan Negara merupakan pemberian dari masyarakat yang telah sepakat mendirikan Negara. Artinya Negara terikat kontrak dengan masyarakat untuk menjalankan kemauan masyarakat.
Dalam konteks pendirian Negara Republik Indonesia tidak terlepas dari kesepakatan rakayat indoensia untuk menjadi satu negera sehingga secara tidak langsung Negara bertanggung jawab dalam mensejahterakan rakyatnya. Lahirnya Negara ini juga dimotori oelh masyarakat adat seluruh nusantara. Oleh karena itu pengakuan atas keberadaan dan hak masyarakat adat harus diuraikan lebih jauh dalam berbagai peraturan perundangan, baik Undang-Undang maupun aturan turunannya sampai ke Peraturan Daerah atau bleid (kebijakan) pejabat negara.  
Walaupun Pasal 18 B Amandemen Kedua UUD 1945 telah menyuratkan adanya pengakuan terhadap masyarakat adat, begitu juga Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, adalah sejumlah UU yang telah mencantumkan masyarakat adat (atau dengan istilah masyarakat hukum adat) sebagai kelompok masyarakat yang diakui keberadaan dan hak-hak mereka. Patut diingat bahwa di tengah berbagai istilah yang digunakan, substansi yang disasar tetaplah masyarakat yang mempunyai susunan asli dengan hak asal-usul. Hukum adat hanyalah salah satu aspek dari kelengkapan sosial politik yang dimiliki masyarakat ini, sehingga tidak tepat bilamana kelompok ini direduksi sekedar sebagai masyarakat hukum adat saja.  
Di sisi lain, Indonesia juga sudah meratifikasi sejumlah instrument HAM internasional, menjadi penandatangan untuk beberapa yang lain, dan juga menjadi pendukung bagi yang lainnya. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik; Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, Budaya; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Kaum Perempuan; Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat adalah sejumlah instrument HAM internasional yang dimaksud. Empat yang pertama telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Dalam instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi tersebut jelas ditegaskan kewajiban Negara untuk memenuhi hak-hak warga Negara.
Pengakuan Bersyarat
Ada empat poin penting terkait pengakuan masyarakat adat baik yang terdapat dalam pasal 18B UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan yaitu (1) masyarakat hukum adat itu masih hidup, (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai pula dengan prinsip negara kesatuan RI, dan  (4) eksistensinya diatur dengan undang-undang. Jelas tergambar pengakuan masyarakat dalm konstitusi di barengi dengan syarat-syarat atau kriteria agar suatu kelompok masyarakat dapat dikatakan masyarakat adat.  Selain dalam UUD 1945 pengakuan bersyarat masyarakat adat tergambar dalam pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan bahwa pengukuhan keberadaan atau hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada pasal 67 ayat (1) UU Kehutanan ditetapkan dalam Perda. 
Ketentuan pasal 67 ayat (3) ini sejalan dengan Permen Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 (pasal 6) dan Keppres No. 34/2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan (pasal 2 ayat 2 huruf F) sama-sama menegaskan bahwa kewenangan penyelesaian dan penetapan hak ulayat diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota. Menurut Permen Agraria a quo, pemerintah daerah berwenang untuk menentukan dan memberikan pengakuan terhadap ulayat di daerahnya masing-masing  melalui peraturan daerah. Dalam rangka membuat Perda ini pemda membentuk tim khusus untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang keberadaan hak ulayat didaerahnya. Tim peneliti ini terdiri dari Pemda, pap pakar hukum adat, masyarakat hukum adat bersangkutan, LSM dan instansi yang mengelolan SDA. Jika hasil penelitian menunjukan bahwa hal ulayat di daerah bersangkutal betul-betul eksis berdasarkan kriteria yang ditentukan dan merasa perlu diatur, maka Pemda bersama dengan DPRD mengupayakan lahirnya Perda tentang pengakuan tanah ulayat masyarakat hukum adat.
Berbagai peraturan perundangan sudah mencoba memberikan legal standing (paying hukum) terkait lokalitas masyarakat adat. Akan tetapi ada ambiguitas terkait dengan pengakuan dan pengelolaan SDA yang ada dalam masyarakat adat. Di beberapa daerah sudah ada Perda tentang masyarakat adat seperti Perda Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Sinaro Putih Kecamatan Pelepat Kabupaten bungo, Perda Kabupaten Lebak No. 32/2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy dan Perda Kabupaten Kampar No 12/1999 tentang Tanah Hak Ulayat, Perda Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat dan Pemamfaatannya. Baru ini Pemerintah Daerah Kerinci mengakui masyarakat adat yang mengelola hutan adat di Sembilan (9) Desa yang diakui dalam Perda RTRW Kabupaten Kerinci 2012-2032 seluas lebih kurang kurang lebih 1.202 (seribu dua ratus dua) hektar. Berdasarkan catatan KKI Warsi untuk provinsi Jambi sudah terdapat 23 Hutan adat yang diakui baik oleh Perda maupun SK Bupati yang tersebar di Kabupaten Merangin, Sarolangun, Bungo dan Kerinci.    
Penulis melihat pengakuan masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan syarat-syarat tertentu adalah wujud pereduksiaan keberadaan masyarakat adat itu sendiri. Biarkan masyarakat adat membuktikan bahwa mereka tetap ada. Seperti teori bola mengembang dan mengempis bahwa ketika bola mengembang jelas sekali ada angin didalamnya dan ketika bola mengempis bukan berarti agin tidak ada, sebenarnya masih ada tersisa angin dalam bola tersebut. Begitu juga masyarakat adat walaupun kehidupan masyarakat dinamis tetapi masyarakat Indoenesia tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya sebagai masyarakat adat karena masyarakat itu akan tetap ada dengan hukum adat dan kebiasaanya walaupun sudah terjadi perubahan sosial ditengah masyarakat. Walaupun beberapa masyarakat adat sudah mendapat legal standing dalam pengelolaan Hutan adat, akan tetapi menurut penulis hal terpenting adalah  bagaimana hutan adat ini bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat itu sendiri sehingga tercapainya impian welfare state (negara kesejahteraan)..   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar