Selasa, 02 Juli 2013

(Kok) Ada Lapindo di APBNP (?)

 Ilham Kurniawan Dartias
Alumni Fak. Hukum Unand
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi


Ditengah kisruh kenaikan BBM, terutama detik-detik pengambilan keputusan para wakil rakyat di senayan terkait RUU APBNP ternyata ada penyusupan jatah kue di muatan APBNP yang santer untuk dibahas. Sebut saja talangan untuk bencana semburan Lumpur Lapindo Brantas. Besar dugaan masuknya jatah Lapindo dalam APBNP sebagai barter politik yang sarat dengan kepentingan elit-elit. Anomali dana untuk Lapindo ini semakin kentara karena banyak yang tidak mengetahui kenapa ada dana siluman tersebut. Sebut saja Wakil Ketua DPR Pramono Anung yang mengakui kecolongan terkait anggaran bagi korban bencana lumpur Lapindo dalam APBNP 2013. Pramono baru mengetahui adanya anggaran tersebut saat forum lobi pimpinan fraksi disela-sela sidang paripurna.

Menerapkan Obstruction of Justice dalam Kasus Korupsi

 Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi


Korupsi bagaikan jamur di musin hujan. Jamur terebut sedang mewabah dan menyebar di Indonesia. korupsi bagaikan kentut tercium tapi sulit di deteksi. Jamak diketahui segala lini kehidupan bangsa telah bersemayang virus korupsi. Baik pusat daerah, aparat penegak hukum (hakim, Jaksa dan polisi), legislator dan konglongmerat bahkan pemerintahan terendah pun dihinggapai sindrom korupsi. Grafik Korupsi cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Mulai dari jumlah kasus, kerugian keuangan negara, segi kualitas tindak pidana yang semakin canggih, sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berdasarkan catatan Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Feri Wibisono mengatakan perkara korupsi tersebut yang masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung Penanganan perkara korupsi di Indonesia per tahun mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara, sehingga menduduki peringkat kedua di dunia setelah China yang mencapai 4.500 perkara. Berdasarkan survey oleh transparency.org, sebuah badan independen dari 146 negara, Indonesia menduduki peringkat kelima  negara yang dinyatakan sebagai negara terkorup dan Negara terkurup untuk kawasan asia pasifik. Sungguh prestasi yang fantanstis sekaligus memilukan.

Kembalikan Hutan Adat

Ilham Kurniawan Dartias 
Peneliti Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 terkait Judicial Riview Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menambah daftar inkonstitusional pengaturan kehutanan di Indonesia. Hal menarik dalam putusan ini adalah terkait Hutan Adat. Pada intinya pemohon mendalilkan dua hal pokok yang merugikan hak konstitusionalnya. Pertama terkait status hutan adat yang serta merta menjadi hutan negara. Kedua pemohon mempersoalkan pengakuan bersyarat masyarakat hukum adat khususya frasa “sepanjang menurut kenyatannya masih ada dan diakui keberadaanya” padahal masyarakat hukum adat kenyataannya masih ada tetapi belum diakui oleh Negara, sehingga cenderung dimamfaatkan negara untuk merampas hak-hak masyarakat hukum adat dan memberikan izin konsesi kepada perusahaan.

Hutan Adat Bukan Hutan Negara

Ilham Kurniawan Dartias 
Peneliti Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Hutan adat bukan lagi hutan negara sejak tanggal 16 Mei 2013 ketika MK menyatakannya dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012. Sebelumnya hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. MK membatalkan Frasa Negara dalam pasal 1 angka 6 dan beberapa pasal seperti penjelasan pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan yang menyatakan hutan adat masuk hutan negara. Sehingga terminologi hutan adat berubah menjadi hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Perubahan makna hutan adat ini tidak terlepas dari perjuangan Aliansi Masyarakat hukum adat Nusantara (AMAN) bersama Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

Menimbang Penghabusan Jabatan Wakil Kepala Daerah

Ilham Kurniawan Dartias 
Staff Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Otonomi daerah berkaitan erat dengan demokrasi. Konsekuensinya harus ada mekanisme pengisian jabatan-jabatan politik sebagai pelaksana roda pemerintah di daerah yang diselenggarakan secara demokratis. Saat ini mekanisme pengisian a quo diselenggaranlah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemulikada) secara langsung. Pemilukada diharapkan dapat menemukan pemimpin lokal yang bijak, pro rakyat untuk menjalankan roda pemerintah. Begitu juga halnya di Kota Jambi, saat ini sedang dihinggapi eforia pesta demokrasi yang sudah masuk pada tahap kampanye calon walikota, sedangkan pencoblosanya pada 29 Juni 2013 mendatang. Berbagai tawaran politik dan janji indah serta kegiatan yang berbau sosial, mendatangkan juru kampanye nasional serta artis papan atas dilakukan untuk mendulang simpati konstituen. Walaupun biaya yang dikeluarkan tidak sedikit akan tetapi ongkos politik tersebut tidak menjadi soal bagi sang kandidat.

Politik Kartel Bawang

Ilham Kurniawan Dartias 
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Hot news yang sedang disuguhkan media terkait masalah ekonomi di Indonesia semakin bergejolak. Setelah suguhan kenaikan harga kedelai, cabai, dan daging sapi yang siknifikan, akhirnya si bawang mengikutti rekan-rekannya. Saat ini, di pasaran harga bawang merah rata-rata menembus Rp50.000 hingga Rp 60.000 per kg. Harga bawang putih lebih tinggi lagi, mencapai Rp 80.000 hingga Rp 90.000 per kg. Padahal, sebelumnya, harga bawang merah di kisaran Rp 9.000 hingga Rp 10.000 per kg. Sedangkan bawang putih berkisar Rp 12.000 sampai Rp 14.000 per kg. Meski bukan termasuk kebutuhan pokok, harga yang naik gila-gilaan itu mengundang kecemasan masyarakat, terutama ibu rumah tangga. Pertanyaan yang mengganjal adalah kenapa tiba-tiba harga bawang ini meroket, padahal tidak ada momen tertentu yang mendobrak harga karena tingginya permintaan masyarakat seperti saat hari raya dan bencana atau momen hari besar lainnya. Besar kemungkinan penyebabnya adalah pasokan bawang yang minim di pasaran.

Senin, 04 Februari 2013

Perbukitan Curam, Hutan Produksi Aur Cino & Senamat Ulu Tidak Layak Jadi HTI*

Hutan Tanaman Produksi.(F:Usman)


















JAMBI - Koordinator Daerah Bungo KKI Warsi, Ade Junaidi, menyatakan kawasan hutan produksi di Senamat Ulu dan Aur Chino Kabupaten Bungo tidak layak dijadikan hutan tanaman industri (HTI). Alasannya, kawasan tersebut memiliki kontur perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam, jika diland clearing dikuatirkan akan menimbulkan dampak lingkungan yang buruk. “Kawasan ini topografinya bergelombang, banyak perbukitan yang curam. Menurut aturan, kawasan dengan topografi seperti ini sebaiknya jangan dijadikan HTI,” ujar Ade Junaidi kepada Metrojambi.com, Sabtu (6/10).

PP 60 dan 61 Bakal Untungkan Pengusaha Nakal*


Senin, 17 September 2012 15:10
 
JAMBI - KKI Warsi dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya mempersoalkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP No 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Pasalnya, dalam PP tersebut pemerintah memberi kesempatan kepada para pengusaha perkebunan dan pertambahan  nakal yang mendapat izin di dalam kawasan hutan untuk mendapatkan kawasan hutan tersebut.

"Di pasal 51A ayat 1 dan 2 disebutkan pengusaha yang mendapat izin di dalam kawasan hutan, ia dibolehkan mengajukan permohonan pelepasan kawasan," ujar Ilham Kurniawan Dartias, Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi, Senin (17/9).

Logika Sesat Kemitraan PT MAP*

 Oleh:
 Desriandi, Ilham Kurniawan dan Iqbal Solihin
 

Kusut masai konflik agraria yang sedang terjadi di tiga desa pada daerah administrasi Kecamatan Bhatin III Ulu yaitu Desa Aur Cino, Desa Senamat Hulu, dan Desa Laman Panjang dengan PT. Malaka Agro Perkasa (PT MAP) belum menemukan titik terang dan penyelesaian yang menguntungkan bagi masyarakat. Semangat kapitalisme yang menggebu-gebu PT MAP terlihat sejak dikeluarkannya SK Menhut Nomor : SK. 570/MENHUT-II/2009 tertinggal 28 September 2009, sebagai legitimasi PT. MAP untuk menggarap lahan seluas 24.485 Ha. Walaupun di dalam areal Izin a quo terdapat lahan yang sudah dikelola seperti kebun, tanaman dan sawah serta ladang, tetapi PT. MAP tidak peduli dan tetap bersikukuh bahwa areal yang sudah diberi izin oleh pemerintah sebagai hak mutlak dalam mengelola lahan tanpa harus memperhatikan keadaan masyarakat sekitar. Walhasil banyak lahan yang sudah dikuasai dan dikelola masyarakat sebelum masuknya PT MAP menjadi santapan empuk buldoser yang digunakan untuk melakukan land clearing yang di klaim masuk areal IUPHHK-HTI PT. MAP. Kenyataan dilapangan sampai saat ini, patok real areal kerja PT MAP tidak jelas lokasi dan batasnya hanya dituangkan dalam peta saja.

Paradoksal Pertambangan Refleksi Polemik Izin Usaha Pertambangan yang Terjadi di Indonesia *

 

Ilham Kurniawan Dartias, 
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi

Pic 1

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagai pengganti Undang-Undang 11 ‘Tahun 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sebagai salah satu instrument hukum dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia.

Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, korporasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dari batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.

Menyelamatkan Lingkungan dengan KLHS (Menyikapi Persoalan Lingkungan Pada Hari Lingkungan Hidup Indonesia)*


Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
Peserta PKPA Jambi

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) merupakan kajian atau dokumen yang harus dibuat oleh pemerintah daerah sebelum memberikan izin pengelolaan lahan maupun hutan. Keberadaan KLHS memang hal baru dalam hukum positif di Indonesia. KLHS merupakan dokumen lingkungan yang diperkenalkan sejak tahun 2009 sebagai syarat wajib yang harus dipenuhi dalam penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan jangka menengah dan panjang, kebijakan dan program yang berpotensi menimbulkan dampak dan atau risiko terhadap lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tetang Pengelolaan dan pengendalian Lingkungan Hidup (UU PPLH) tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam  pembangunan suatu wilayah  dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Kamis, 03 Januari 2013

Mempertegas Lokalitas Masyarakat Adat


Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi


Lokalitas masyarakat adat merupakan kenyataan empiris dalam kehidupan bangsa yang masih menyisakan segudang polemik. Sejatinya masyarakat adat sudah ada jauh sebelum berdirinya Negara ini. Begitu juga ketika pendirian Negara Republik Indonesia yang dijewantahkan dalam UUD tahun 1945 lokalitas masyarakat adat menjadi salah satu pembahasan para founding father untuk  untuk mencari legal standing (paying hukum) pengakuan masyarakat adat. Lokalitas masyarakat adat tidak terlepas dari keberadaan masyarakat Indonesia yang plural dengan ciri khas dan kebudayaan yang masih melekat ditengah masyarakat sampai sekarang ini.