Senin, 04 Februari 2013

Perbukitan Curam, Hutan Produksi Aur Cino & Senamat Ulu Tidak Layak Jadi HTI*

Hutan Tanaman Produksi.(F:Usman)


















JAMBI - Koordinator Daerah Bungo KKI Warsi, Ade Junaidi, menyatakan kawasan hutan produksi di Senamat Ulu dan Aur Chino Kabupaten Bungo tidak layak dijadikan hutan tanaman industri (HTI). Alasannya, kawasan tersebut memiliki kontur perbukitan dengan kemiringan yang cukup curam, jika diland clearing dikuatirkan akan menimbulkan dampak lingkungan yang buruk. “Kawasan ini topografinya bergelombang, banyak perbukitan yang curam. Menurut aturan, kawasan dengan topografi seperti ini sebaiknya jangan dijadikan HTI,” ujar Ade Junaidi kepada Metrojambi.com, Sabtu (6/10).

PP 60 dan 61 Bakal Untungkan Pengusaha Nakal*


Senin, 17 September 2012 15:10
 
JAMBI - KKI Warsi dan sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya mempersoalkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan PP No 61 Tahun 2012 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Pasalnya, dalam PP tersebut pemerintah memberi kesempatan kepada para pengusaha perkebunan dan pertambahan  nakal yang mendapat izin di dalam kawasan hutan untuk mendapatkan kawasan hutan tersebut.

"Di pasal 51A ayat 1 dan 2 disebutkan pengusaha yang mendapat izin di dalam kawasan hutan, ia dibolehkan mengajukan permohonan pelepasan kawasan," ujar Ilham Kurniawan Dartias, Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi, Senin (17/9).

Logika Sesat Kemitraan PT MAP*

 Oleh:
 Desriandi, Ilham Kurniawan dan Iqbal Solihin
 

Kusut masai konflik agraria yang sedang terjadi di tiga desa pada daerah administrasi Kecamatan Bhatin III Ulu yaitu Desa Aur Cino, Desa Senamat Hulu, dan Desa Laman Panjang dengan PT. Malaka Agro Perkasa (PT MAP) belum menemukan titik terang dan penyelesaian yang menguntungkan bagi masyarakat. Semangat kapitalisme yang menggebu-gebu PT MAP terlihat sejak dikeluarkannya SK Menhut Nomor : SK. 570/MENHUT-II/2009 tertinggal 28 September 2009, sebagai legitimasi PT. MAP untuk menggarap lahan seluas 24.485 Ha. Walaupun di dalam areal Izin a quo terdapat lahan yang sudah dikelola seperti kebun, tanaman dan sawah serta ladang, tetapi PT. MAP tidak peduli dan tetap bersikukuh bahwa areal yang sudah diberi izin oleh pemerintah sebagai hak mutlak dalam mengelola lahan tanpa harus memperhatikan keadaan masyarakat sekitar. Walhasil banyak lahan yang sudah dikuasai dan dikelola masyarakat sebelum masuknya PT MAP menjadi santapan empuk buldoser yang digunakan untuk melakukan land clearing yang di klaim masuk areal IUPHHK-HTI PT. MAP. Kenyataan dilapangan sampai saat ini, patok real areal kerja PT MAP tidak jelas lokasi dan batasnya hanya dituangkan dalam peta saja.

Paradoksal Pertambangan Refleksi Polemik Izin Usaha Pertambangan yang Terjadi di Indonesia *

 

Ilham Kurniawan Dartias, 
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi

Pic 1

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagai pengganti Undang-Undang 11 ‘Tahun 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sebagai salah satu instrument hukum dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia.

Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, korporasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dari batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.

Menyelamatkan Lingkungan dengan KLHS (Menyikapi Persoalan Lingkungan Pada Hari Lingkungan Hidup Indonesia)*


Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
Peserta PKPA Jambi

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) merupakan kajian atau dokumen yang harus dibuat oleh pemerintah daerah sebelum memberikan izin pengelolaan lahan maupun hutan. Keberadaan KLHS memang hal baru dalam hukum positif di Indonesia. KLHS merupakan dokumen lingkungan yang diperkenalkan sejak tahun 2009 sebagai syarat wajib yang harus dipenuhi dalam penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan jangka menengah dan panjang, kebijakan dan program yang berpotensi menimbulkan dampak dan atau risiko terhadap lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tetang Pengelolaan dan pengendalian Lingkungan Hidup (UU PPLH) tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam  pembangunan suatu wilayah  dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.