Senin, 04 Februari 2013

Menyelamatkan Lingkungan dengan KLHS (Menyikapi Persoalan Lingkungan Pada Hari Lingkungan Hidup Indonesia)*


Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
Peserta PKPA Jambi

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) merupakan kajian atau dokumen yang harus dibuat oleh pemerintah daerah sebelum memberikan izin pengelolaan lahan maupun hutan. Keberadaan KLHS memang hal baru dalam hukum positif di Indonesia. KLHS merupakan dokumen lingkungan yang diperkenalkan sejak tahun 2009 sebagai syarat wajib yang harus dipenuhi dalam penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan jangka menengah dan panjang, kebijakan dan program yang berpotensi menimbulkan dampak dan atau risiko terhadap lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tetang Pengelolaan dan pengendalian Lingkungan Hidup (UU PPLH) tersebut, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam  pembangunan suatu wilayah  dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
 
Mekanisme pelaksanaan KLHS meliputi pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah, perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan dan program serta rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan dan program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. KHLS sendiri menurut ketentuan harus memuat kajian mengenai kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; perkiraan mengenai dampak dan risiko terhadap lingkungan hidup.
Deforestasi dan Degradasi
Setiap tanggal 10 Januari kita memperingatti hari Lingkungan Hidup Indonesia. Seharusnya di awal tahun ini pemerintah harus melakukan refleksi menyeluruh terkait kerusakan lingkungan yang telah terjadi selama ini. Ketika berbicara kerusakan lingkungan, kita tidak bisa lepas dari kerusakan hutan dan kita sering disuguhkan dengan dua istilah deforestasi dan degradasi hutan. Menurut (FAO 1990; World Bank 1990) bahwa hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara merupakan deforestasi. Secara sederhana, deforestasi adalah istilah untuk menyebutkan perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, artinya dari suatu wilayah yang sebelumnya berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau bahkan tidak bervegetasi). Sedangkan degradasi hutan, atau penurunan kualitas hutan, dimaksudkan sebagai perubahan kondisi atau mutu hutan dari hutan alam atau hutan primer menjadi hutan bekas ditebang; atau dari hutan lebat menjadi hutan jarang/rawang.  
Disamping itu rantai kerusakan tersebut kemudian diperparah dan menjalar serta meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya hayati. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, dari faktor demografis, etika, sosial, ekonomi, budaya, hingga faktor institusi dan politik yang dikendalikan oleh bandit-bandit kapitalis dan mafia-mafia berdasi.
Berdasar data Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Indonesia termasuk negara perusak hutan terbesar dengan laju kerusakan 2% atau 1,87 juta hektare (ha) per tahun. Itu berarti setiap hari luas kerusakan hutan Indonesia mencapai 51 km persegi, setara dengan 300 kali luas lapangan sepak bola setiap jam (Ramli, 2010). Kondisi ini berbanding terbalik dengan laju rehalibilitasi lingkungan Indonesia yang hanya 0,5 juta hektare setiap tahunnya (kompas.com).
Walaupun berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menarik simpati rakyat seperti kebijakan, rencana dan program (KRP) pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Contoh yang paling konkrit adalah dokumen lingkungan seperti AMDAL, UKL dan UPL yang secara yuridis salah satu instrumen pengelolaan lingkungan yang wajib dipenuhi akan tetapi belum memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan kumulatif, dampak tidak langsung, dan dampak lingkungan sinergistik. Malahan dokumen AMDAL menjadi ladang basah bagi mafia hukum untuk menambah pundi-pundi keuangannya dan melancarkan praktik KKN terhadap perusahan yang akan menanamkan modal.
Urgensi KLHS
Lahirnya KLHS diharapkan menjadi instrumen dalam pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan dan berkeadilan yang dimulai pada tingkat/tataran hulu sehingga dapat menyelamatkan lingkungan dan menahan laju deforestasi serta degradasi hutan. Dengan dilakukannya KLHS pada tataran hulu, maka potensi dihasilkannya KRP yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan usaha untuk menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dapat diantisipasi sejak dini. Artinya KLHS diharapkan dapat menghasilkan KRP yang lebih baik dan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.
Berkaca kenegara maju di Eropa semenjak diterbitkannya EU Directive 2001/42/EC (atau yang umum disebut sebagai SEA Directive) pada tahun 2001 silam, setiap negara anggota Uni Eropa diwajibkan melakukan KLHS terhadap rencana dan program sehingga lingkungan dapat terjaga dan tertata dengan baik. Begitu juga di Asia, dari Workshop AMDAL se Asia yang diselenggarakan pada tanggal 28 Mei – 2 Juni 2007 di Hanoi, diketahui bahwa hanya sebagian kecil negara di Asia yang tidak mengaplikasikan atau belum memiliki pilot project KLHS. Bahkan di Vietnam dan China KLHS berstatus wajib dan telah dilembagakan dalam peraturan perundang-undangan. Saatnya Indonesia mengaplikasi KLHS dalam wujud nyata kepada masyarakat karena KLHS sudah diatur dalam UU PPLH.
Berdasarkan catatan KKI Warsi khusus Propinsi Jambi sudah menerapkan KLHS dalam penyusunan RTRW Propinsi yang sudah diketok palu di DPRD. Begitu juga di beberapa kabupaten seperti Kabupaten Bungo, Merangin juga sudah mulai melakukan sosialisasi dan menyusun KLHS. Hal ini patut kita apresiasi dan kawal bersama agar Perda RTRW dan Rencana Pembangun di Jambi sinergi dengan kelestarian lingkungan, memperhatikan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat.
Mari kita jadikan KLHS sebagai senjata dalam mempertahankan lingkungan hidup yang tersisa dan memulihkan lingkungan yang sudah rusak serta menahan laju deforestasi dan degradasi hutan. Bertepatan dengan tanggal 10 Januari sebagai hari lingkungan hidup Indonesia, penulis menghimbau stakeholder agar menjaga lingkungan tetap asri dan terjaga dengan baik kedepannya untuk anak cucu dan generasi selanjutnya. 
*Dimuat pada Harian Jambi Independent

Tidak ada komentar:

Posting Komentar