Ilham
Kurniawan Dartias
Staf
Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
Peserta PKPA Jambi
Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) merupakan
kajian atau dokumen yang harus dibuat oleh pemerintah daerah sebelum memberikan izin pengelolaan lahan
maupun hutan. Keberadaan
KLHS memang hal baru dalam hukum positif di Indonesia. KLHS merupakan dokumen
lingkungan yang diperkenalkan sejak tahun 2009 sebagai syarat wajib yang harus
dipenuhi dalam penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang wilayah, rencana
pembangunan jangka menengah dan panjang, kebijakan dan program yang berpotensi
menimbulkan dampak dan atau risiko terhadap lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tetang Pengelolaan dan pengendalian Lingkungan Hidup (UU PPLH) tersebut,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa
prinsip pembangunan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Mekanisme
pelaksanaan KLHS meliputi pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan program
terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah, perumusan alternatif
penyempurnaan kebijakan dan program serta rekomendasi perbaikan untuk
pengambilan keputusan kebijakan dan program yang mengintegrasikan prinsip
pembangunan berkelanjutan. KHLS sendiri menurut ketentuan harus memuat kajian
mengenai kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan; perkiraan mengenai dampak dan risiko terhadap lingkungan hidup.
Deforestasi
dan Degradasi
Setiap tanggal
10 Januari kita memperingatti hari Lingkungan Hidup Indonesia. Seharusnya di
awal tahun ini pemerintah harus melakukan refleksi menyeluruh terkait kerusakan
lingkungan yang telah terjadi selama ini. Ketika berbicara kerusakan lingkungan,
kita tidak bisa lepas dari kerusakan hutan dan kita sering disuguhkan dengan
dua istilah deforestasi dan degradasi hutan. Menurut (FAO 1990; World Bank
1990) bahwa hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara merupakan
deforestasi. Secara sederhana, deforestasi adalah istilah untuk menyebutkan
perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan, artinya
dari suatu wilayah yang sebelumnya berpenutupan tajuk berupa hutan (vegetasi
pohon dengan kerapatan tertentu) menjadi bukan hutan (bukan vegetasi pohon atau
bahkan tidak bervegetasi). Sedangkan degradasi hutan, atau penurunan kualitas
hutan, dimaksudkan sebagai perubahan kondisi atau mutu hutan dari hutan alam
atau hutan primer menjadi hutan bekas ditebang; atau dari hutan lebat menjadi
hutan jarang/rawang.
Disamping itu rantai kerusakan tersebut kemudian diperparah
dan menjalar serta meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai,
pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat
penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan kesehatan
penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya hayati. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya
hal tersebut, dari faktor demografis, etika, sosial, ekonomi, budaya, hingga
faktor institusi dan politik yang dikendalikan oleh bandit-bandit kapitalis dan
mafia-mafia berdasi.
Berdasar data
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Indonesia termasuk negara perusak
hutan terbesar dengan laju kerusakan 2% atau 1,87 juta hektare (ha) per tahun.
Itu berarti setiap hari luas kerusakan hutan Indonesia mencapai 51 km persegi,
setara dengan 300 kali luas lapangan sepak bola setiap jam (Ramli, 2010).
Kondisi ini berbanding terbalik dengan laju rehalibilitasi lingkungan Indonesia
yang hanya 0,5 juta hektare setiap tahunnya (kompas.com).
Walaupun berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
untuk menarik simpati rakyat seperti kebijakan, rencana dan program (KRP)
pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan, tampak tak berarti atau kalah
berpacu dengan kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Contoh yang
paling konkrit adalah dokumen lingkungan seperti AMDAL, UKL dan UPL yang secara
yuridis salah satu instrumen pengelolaan lingkungan yang wajib dipenuhi akan
tetapi belum memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan
kumulatif, dampak tidak langsung, dan dampak lingkungan sinergistik. Malahan
dokumen AMDAL menjadi ladang basah bagi mafia hukum untuk menambah pundi-pundi
keuangannya dan melancarkan praktik KKN terhadap perusahan yang akan menanamkan
modal.
Urgensi
KLHS
Lahirnya KLHS diharapkan
menjadi instrumen dalam pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan dan
berkeadilan yang dimulai pada tingkat/tataran hulu sehingga dapat menyelamatkan
lingkungan dan menahan laju deforestasi serta degradasi hutan. Dengan
dilakukannya KLHS pada tataran hulu, maka potensi dihasilkannya KRP yang tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan usaha untuk
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dapat diantisipasi sejak dini. Artinya KLHS
diharapkan dapat menghasilkan KRP yang lebih baik dan sejalan dengan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.
Berkaca
kenegara maju di Eropa semenjak diterbitkannya EU Directive 2001/42/EC
(atau yang umum disebut sebagai SEA Directive) pada tahun 2001 silam,
setiap negara anggota Uni Eropa diwajibkan melakukan KLHS terhadap rencana dan
program sehingga lingkungan dapat terjaga dan tertata dengan baik. Begitu juga
di Asia, dari Workshop AMDAL se Asia yang diselenggarakan pada tanggal 28 Mei –
2 Juni 2007 di Hanoi, diketahui bahwa hanya sebagian kecil negara di Asia yang
tidak mengaplikasikan atau belum memiliki pilot project KLHS. Bahkan
di Vietnam dan China KLHS berstatus wajib dan telah dilembagakan dalam
peraturan perundang-undangan. Saatnya Indonesia mengaplikasi KLHS dalam wujud
nyata kepada masyarakat karena KLHS sudah diatur dalam UU PPLH.
Berdasarkan
catatan KKI Warsi khusus Propinsi Jambi sudah menerapkan KLHS dalam penyusunan
RTRW Propinsi yang sudah diketok palu di DPRD. Begitu juga di beberapa
kabupaten seperti Kabupaten Bungo, Merangin juga sudah mulai melakukan
sosialisasi dan menyusun KLHS. Hal ini patut kita apresiasi dan kawal bersama
agar Perda RTRW dan Rencana Pembangun di Jambi sinergi dengan kelestarian lingkungan,
memperhatikan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat.
Mari kita
jadikan KLHS sebagai senjata dalam mempertahankan lingkungan hidup yang tersisa
dan memulihkan lingkungan yang sudah rusak serta menahan laju deforestasi dan
degradasi hutan. Bertepatan dengan tanggal 10 Januari sebagai hari lingkungan
hidup Indonesia, penulis menghimbau stakeholder
agar menjaga lingkungan tetap asri dan terjaga dengan baik kedepannya untuk
anak cucu dan generasi selanjutnya.
*Dimuat pada Harian Jambi Independent
Tidak ada komentar:
Posting Komentar