Senin, 04 Februari 2013

Paradoksal Pertambangan Refleksi Polemik Izin Usaha Pertambangan yang Terjadi di Indonesia *

 

Ilham Kurniawan Dartias, 
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi

Pic 1

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara sebagai pengganti Undang-Undang 11 ‘Tahun 1967tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sebagai salah satu instrument hukum dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia.

Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, korporasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dari batubara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan Pemerintah dan pemerintah daerah.


Paradoksal Pertambangan
Paradoksal pertambangan seperti pisau bermata dua yang saling berlawanan, yaitu sebagai sumber kemakmuran sekaligus perusak lingkungan yang sangat potensial. Sebagai sumber kemakmuran, sektor ini menyokong pendapatan negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka (open pit mining) dapat mengubah secara total baik iklim dan tanah akibat seluruh lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Hilangnya vegetasi secara tidak langsung ikut menghilangkan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon, pemasok oksigen dan pengatur suhu. Disamping itu persoalan tambang juga mendatangkan musibah yang melilit masyarakat ke dalam kondisi sosial yang memprihatinkan terutama masyarakat adat yang semakin tergusur di tanah ulayatnya sendiri karena izin yang dikeluarkan pemerintah.

Penulis menilai setidaknya ada empat polemik yang menjadikan iklim pertambangan di Indonesia tidak kondusif. Pertama, tata kelola tambang yang amburadul. Hal ini dapat dilihat dengan penerbitan izin yang tumpang tindih dan cacat hukum. Pasca reformasi dan penerapan otonomi daerah banyak kepala daerah yang salah kaprah memahami wewenangnya dalam mengeluarkan izin pertambangan. Para Gubernur, Bupati/ Walikota merasa memiliki kewenangan penuh untuk mengganti alih fungsi hutan atau mengeluarkan izin pertambangan. Asas desentralisasi dijadikan tameng untuk memperlihatkan “kegarangan” kepala daerah dalam pemanfaatan sumber daya alam di daerahnya. Kepala daerah semakin terjerumus pada logika sesat bahwa aset kekayaan alam di daerahnya merupakan kewenangan mutlak mereka untuk mengaturnya, sehingga banyak peruntukan kawasan hutan yang tidak memandang kelestarian lingkungan dan sosial budaya masyarakat. Bermodalkan deal-deal politik dengan elit-elit lokal dan nasional mereka bahu-membahu mengeluarkan izin pemanfaatan SDA baik perkebunan, pertambangan dan izin pemanfaatan hutan lain.

Kedua, hasil tambang seringkali tidak sampai ke masyarakat, tapi ke pemerintah pusat dan pemerintahan daerah saja. Kenikmatan hasil tambang hanya dirasakan para elit-elit nasional dan lokal yang memegang kendali kekuasaan bersama dengan perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan. Sedangkan masyarakat hanya sebagai korban sekaligus penonton di negerinya. Besaran keuntungan dan pendapatan daerah dari kegiatan pertambangan tiada diketahui dan cenderung ditutup-tutupi padahal berdasarkan UU nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik memberi ruang bagi masyarakat untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.

Ketiga kurangnya perlindungan terhadap masyarakat adat. Konflik yang terjadi dengan masyarakat karena perubahan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat adat disekitar sekitar tambang semakin tergusur dan masih di bawah garis kemiskinan karena lahan yang dulunya adalah tanah ulayat atau tempat mereka bercocok tanam sudah tidak bisa digunakan lagi. Begitu juga berbagai penyakit menyerang karena pembuangan limbah yang sembarangan oleh perusahaan. Disamping itu CSR yang dilakukan perusahaan hanya janji manis dan kontrol dari pemerintah hanya sebatas retorika belaka.

Keempat paradigma sesat masyarakat komoditas. Meminjam istilah pemikir kritis Marcuse masyarakat komoditas lahir akibat persaingan bebas yang ditentukan oleh hukum dan rasionalitas pasar yang berasal dari sistem kapitalisme ekonomi di mana seluruh hidupnya dipusatkan pada usaha memperganda keuntungan ekonomi. Akibatnya, pelbagai nilai direduksikan ke dalam nilai ekonomi sedangkan aspek sosial, budaya masyarakat diabaikan. Pada hal lahan (dalam hal ini tanah ulayat) bagi masyarakat adat tidak hanya bernilai ekonomi tetapi juga bernilai sosial, kultur dan budaya. Paradigma sesat masyarakat dianggap sebagai proses ”komodifikasi”, yaitu menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas yang berfungsi mendatangkan keuntungan ekonomis, termasuk hal-hal yang bernilai secara budaya, mistik, atau transenden. Sehingga perusahaan yang melakukan pertambangan hanya memikirkan bisnis untuk memperoleh keuntungan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat di sekitar areal tambang. Kondisi ini juga diperparah dengan perilaku bejat pejabat negara baik pusat maupun daerah yang memuluskan Izin usaha tambang dengan imbalan fee yang mengalir ke kantong pengeruk uang rakyat yang telah mengeluarkan izin.

Korupsi Pertambangan
 

Seiring maraknya kegiatan pertambangan di Indonesia berbagai masalah datang silih berganti. Dugaan kasus korupsi izin pelepasan kawasan hutan yang melibatkan kepala daerah dan pejabat daerah semakin mencuat kepermukaan. Berdasarkan keterangan KPK saat ini tengah menyidik dugaan korupsi di 14 kabupaten bupati dan sejumlah pejabat di Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur Kalimantan Barat dan Provinsi Jambi.

Permasalahan izin peruntukan kawasan lahan ini khususnya untuk pertambangan dipertegas dengan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral mencatat dari 10.235 izin usaha pertambangan (IUP), baru 4.151 izin yang dinyatakan tidak bermasalah alias clean and clear. Artinya, 59 persen atau 6.084 izin tambang masih bermasalah. Khusus Provinsi Jambi memiliki potensi di bahan galian batu bara yang terdapat di tujuh kabupaten dalam Provinsi Jambi, dan terbesar terdapat di Kabupaten Bungo seluas 120.000 hektare. Enam kabupaten lainnya yakni Kabupaten Sarolangun dengan kandungan batubara 94.121 ha, Batanghari (89.315 ha), Tebo (61.229 ha), Merangin (16.577), Muarojambi (16.000 ha), dan Tanjung Jabung Barat sebanyak 13.281 ha.

Berdasarkan data perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan di Jambi terdapat 303 perusahaan yang sudah mengantongi izin usaha yaitu 225 Izin Usaha Eksplorasi dan 78 perusahaan izin Operasi Khusus (http://esdm.jambiprov.go.id tahun 2010). Akan tetapi Sebanyak 27 perusahaan pertambangan dan perkebunan di Jambi teridentifikasi bermasalah dengan izin (Tribun Jambi 25/02/2012). Dalam kegiatan tambang batu bara penulis mencatat hanya 65% perusahaan yang memiliki dan mengurus dokumen lingkungan yaitu dari 111 Perusahaan yang terdaftar pada tahun 2010 hanya 12 yang memiliki AMDAL, 19 KA ANDAL, 38 UKL-UPL, 2 perusahaan lagi Proses AMDAL dan 1 DPPL. 111 perusahaan tambang tersebar di tujuh Kabupaten dan kota di Jambi yaitu 12 di Batang Hari, 26 di Muaro Jambi, 2 di Tebo, 22 di Bungo, 24 di Sorolangun, 3 di Merangin, dan 22 di Tanjabar. Artinya ada 72 perusahan batu bara yang sudah punya dan sedang mengurus dokumen lingkungan sedangkan 39 perusahaan lainnya tidak memiliki dan mengurus dokumen lingkungan yang merupakan kewajiban perusahaan. Artinya saat ini lebih kurang 39 perusahan beroperasi tanpa ada memiliki dokumen.

Menyikapi permasalahan tambang ini KPK tim gabungan Satgas Mafia Hukum yang terdiri dari Kemenhut, KPK, Mabes Polri dan Kejaksaan Agung juga membidik kasus-kasus pelanggaran bidang kehutanan yang terjadi di Jambi. Gubernur dan 11 Bupati/ Walikota se Provinsi Jambi dikumpulkan untuk diminta memaparkan data-data perusahaan tambang dan perkebunan di wilayahnya masing-masing yang beroperasi di kawasan hutan tanpa izin (Jambi independent 23/02/2012). Semoga saja kepala daerah dan pejabat-pejabat yang terkait baik pusat dan daerah agar “dimeja-hijaukan” dan dihukum seberat beratnya sesuai dengan perbuatannya. Saya menghimbau kepada stakeholder di Indonesia khususnya di Provinsi Jambi untuk membangun konsolidasi masyarakat anti korupsi agar terus memantau perilaku bejat Pejabat negara dan perusahaan yang melakukan tindak pidana korupsi khususnya dalam pertambangan di Provinsi Jambi. Agar kedepannya polemik pertambangan bisa teratasi dan hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.   

*Dapat diakses dalam http://alamsumatera.warsi.or.id/index_show.php?id=51  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar