Oleh:
Desriandi, Ilham Kurniawan dan Iqbal Solihin
Kusut masai konflik agraria yang sedang terjadi di tiga desa
pada daerah administrasi Kecamatan Bhatin III Ulu yaitu Desa Aur Cino,
Desa Senamat Hulu, dan Desa Laman Panjang dengan PT. Malaka Agro Perkasa
(PT MAP) belum menemukan titik terang dan penyelesaian yang
menguntungkan bagi masyarakat. Semangat kapitalisme yang menggebu-gebu
PT MAP terlihat sejak dikeluarkannya SK Menhut Nomor : SK.
570/MENHUT-II/2009 tertinggal 28 September 2009, sebagai legitimasi PT.
MAP untuk menggarap lahan seluas 24.485 Ha. Walaupun di dalam areal
Izin a quo terdapat lahan yang sudah dikelola seperti kebun, tanaman dan
sawah serta ladang, tetapi PT. MAP tidak peduli dan tetap bersikukuh
bahwa areal yang sudah diberi izin oleh pemerintah sebagai hak mutlak
dalam mengelola lahan tanpa harus memperhatikan keadaan masyarakat
sekitar. Walhasil banyak lahan yang sudah dikuasai dan dikelola
masyarakat sebelum masuknya PT MAP menjadi santapan empuk buldoser yang
digunakan untuk melakukan land clearing yang di klaim masuk areal
IUPHHK-HTI PT. MAP. Kenyataan dilapangan sampai saat ini, patok real
areal kerja PT MAP tidak jelas lokasi dan batasnya hanya dituangkan
dalam peta saja.
Kusut Masai
Konflik yang berlarut-larut sejak dikeluarkannya IUPHHK-HTI PT MAP pada 28 September 2009 mulai melibatkan penguasa di Bungo, wakil rakyat dan juga SKPD terkait untuk duduk bersama mencari win-win solution. Permasalahan ini menjadi serius karena usaha dan niat baik masyarakat datang ke kantor DPRD dan Bupati Bungo sejak Tanggal 19 September 2011 sampai dengan pertemuan terakhir 29 Mei 2012 belum membuahkan hasil yang menguntungkan masyarakat.
Dari hasil beberapa pertemuan ini telah melahirkan komitmen baik bagi pemerintah daerah, masyarakat dan PT MAP untuk menyelesaikan konflik tenurial ini. Pemerintah daerah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kabupaten Bungo yang diketuai oleh Sekda dan terdiri dari unsur-unsur DPRD, Pemkab Bungo dan unsur masyarakat untuk memfasilitasi penyelesaian konflik masyarakat dan PT MAP. Akan tetapi sampai saat ini belum ada kejelasan penyelesaian konflik lahan tersebut dan kinerja TPF pun masih diragukan keberpihakannnya kepada masyarakat. Padahal Pada 3 November 2011, Tim Khusus Melakukan survey/tinjauan lapangan terkait perusakan lahan masyarakat ditemukan lahan yang sudah menjadi wilayah kelola masyarakat masuk ke dalam wilayah perizinan PT MAP dan ada tanaman Masyarakat yang sudah digusur oleh PT MAP.
Walaupun pertemuan antara PT MAP dengan masyarakat yang difasilitasi
oleh TPF sudah berkali-kali diadakan tetapi PT MAP tetap melakukan
pengingkaran kesepakatan yang telah dibuat (wanprestasi) dan hanya
mengobral janji-janji manis. Walaupun pada pertemuan terakhir di kantor
bupati pada tanggal 29 Mei 2012 telah tercapai satu kesepakatan bahwa
lahan masyarakat yang diserobot oleh PT MAP akan diganti dan besaran
ganti rugi diserahkan kepada pemilik lahan untuk merundingkan dengan PT
MAP. Akan tetapi kejelasan penyelesaian ganti rugi kerusakan lahan belum
juga tuntas. Sedangkan kesepakatan untuk melakukan skema PHBM dan HTI
PT MAP dengan konsep kemitraan mengalami kebuntuan karena PT MAP tetap
ngotot menentukan besaran luas areal kemitraan untuk masyarakat 5%
sedangkan masyarakat menuntut 40%. Interval yang cukup jauh ini
menandakan bahwa pihak PT. MAP tidak ada memikirkan kesejahteraan
masyarakat dan mencari-cari alasan atau dasar hukum yang kabur terkait
dengan luas areal kemitraan untuk masyarakat.
Logika Sesat Kemitraan
Adapun dua poin penting yang dituntut Masyarakat Batin III Ulu yaitu ganti rugi lahan/tanaman masyarakat yang telah digusur oleh PT MAP dan lahan berupa sesap, merupakan kawasan yang pernah digunakan masyarakat sebagai tempat menanam padi ladang. Menurut hukum adat Bathin III Ulu, lahan yang sudah digunakan sebagai tempat berladang ini diakui sebagai milik orang yang berladang tersebut. Mengenai ganti rugi perusahan tidak ada kejelasan berapa besarannya dan terkait pola kemitraan PT MAP hanya mengatakan akan memberikan 5 % dari areal yang ada untuk dikelola berdasarkan pola kemitraan dengan berdalih bahwa ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengelaborasi kewajiban PT MAP baik dalam SK Menhut a quo dan dielaborasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga penulis akan mencoba meluruskan logika sesat PT MAP terkait pola kemitraan yang ditawarkan oleh PT MAP sebesar 5%.
Pertama pada konsideran mengingat SK Menhut terkait pemberian IUPHHK-HTI PT MAP ini mencantumkan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 sebagaimana direvisi menjadi PP 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Manfaat Hutan, sebagai dasar hukum kewajiban yang harus dilakukan, begitu juga dalam PP tersebut juga mengatur tentang kemitraan. Terkait dengan kewajiban dapat kita lihat pada poin menetapkan keempat yang harus dipenuhi dari huruf a-v. Adapun pokok perdebatan atau kengototan PT MAP terdapat pada huruf r menyatakan bahwa PT MAP menyediakan areal paling tinggi 5 % dari luas areal sebagai ruang tanaman kehidupan bagi areal kemitraan dengan masyarakat setempat dan penjelasannya mengatakan bahwa menyediakan areal paling banyak 5% (lima perseratus) dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar areal IUPHHK HTI, untuk ikut aktif dalam pembangunan HTI.
Menurut penulis muatan yang dicantumkan pada huruf r SK tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh PT MAP sebagaimana diamanahkan dalam PP Nomor 6 tahun 2007 pasal 75 ayat (1) huruf i. Patut diketahui bahwa regulasi yang dinyatakan pada pasal 75 ayat (1) huruf i PP 6 tahun 2007 tersebut sudah direvisi menjadi PP 3 Tahun 2008, dimana pada pasal 75 ayat (1) huruf I mengalami perubahan menjadi menyediakan areal sesuai dengan rencana dalam RKT sebagai ruang tanaman kehidupan bagi areal kemitraan dengan masyarakat setempat. Artinya kewajiban yang dimuat dalam SK Menhut terutama pasal 75 ayat (1) huruf I tersebut tidak lagi berlaku dan harus mengacu kepada PP 3 Tahun 2008 sebagai revisi dari PP 6 Tahun 2007. Apalagi SK tersebut dikeluarkan pada 28 september 2009 setelah revisi PP 6 tahun 2007 selesai dilakukan. Dapat dikatakan SK a quo cacat secara hukum karena tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan terbaru yang berlaku saat itu (hukum positif).
Kedua terkait dengan pola kemitraan diatur tersendiri pada pasal 99 ayat (1) sampai (5) PP 6 Tahun 2007 sebagaimana direvisi PP 3 tahun 2008. Artinya konsep dan pedoman pola kemitraan harus berangkat dari pasal 99 tersebut bukan pada pasal 75 yang notabene memuat kewajiban suatu perusahaan pemegang IUPHHK HTI (PT MAP). Oleh karena itu penulis mengelaborasi lebih dalam perbedaan antara pengaturan pada pasal 75 yang berisi kewajiban dengan pasal 99 sebagai konsep dasar kemitraan. Kemitraan dalam Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua tahun 1994 adalah kemitraan berasal dari kata mitra yaitu (1) teman sahabat (2) kawan kerja; pasangan kerja; rekan.
Pada pasal 99 ayat (1) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilaksanakan melalui kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf c, dalam hal kawasan hutan yang bersangkutan telah diberikan izin pemanfaatan hutan; atau kawasan hutan yang bersangkutan telah diberikan hak pengelolaan hutan kepada badan usaha milik negara (BUMN) bidang kehutanan. Pada penjelasan ayat (1) PP tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama antara masyarakat setempat dan pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Artinya prinsip utama dari kemitraan adalah kerjasama dan kesepakatan bukan penentuan sebagaimana terdapat dalam pasal 75 ayat (1) huruf I PP 6 tahun 2007 yang digetol-getolkan oleh PT MAP sebagai dasar hukum. Apalagi pasal tersebut sudah direvisi dan angka 5 % sudah dihilangkan sebagaimana terdapat dalam PP 3 tahun 2008. Jadi perlu ditegaskan bahwa keberadaan pasal 75 merupakan kewajiban PT. MAP yang harus dilaksanakan jika tidak dilaksanakan sesuai dengan pasal 129 huruf c menyatakan bahwa pemegang IUPHHK pada HTI atau pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a, huruf d, huruf h, huruf i, huruf k, atau ayat (3) huruf c.
Ketiga pada pasal 99 ayat (2) PP 6 tahun 2007 mengatur bagaimana peran dari pemerintah dalam memfasilitasi pola kemitraan tersebut yaitu Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, wajib memfasilitasi terbentuknya kemitraan antara masyarakat setempat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan. Pada penjelasan ayat (2) menjelaskan bahwa termasuk dalam pemberian fasilitasi, antara lain, adalah membantu menyelesaikan konflik dan membentuk kemitraan. Bukan hanya penentuan sepihak luas areal yang dimasukkan dalam skema kemitraan. Pentingnya pelibatan pemerintah sebagai kewajiban pokok pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat.
Keempat pada pasal 99 ayat (3) PP 6 tahun 2007 menyatakan bahwa Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan dengan masyarakat setempat. Kelima pada pasal 99 ayat (4) PP 6 tahun 2007 Pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan tidak mengubah kewenangan dari pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan kepada masyarakat setempat.
Kelima pasal 99 ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. Sampai saat ini Permenhut terkait pengaturan kemitraan belum ada dan masih dalam pembahasan di kementrian kehutanan. Sebagaimana draf permenhut yang juga menggagas pengaturan tentang kemitraan mencantumkan minimal 25% areal kemitraan yang dikelola masyarakat. Menurut penulis luasan minimal 25% masih rendah dan harus ditingkatkan lagi jika pemerintah benar-benar ingin mensejahterakan masyarakat dimana pelibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat diperlukan. Berkaitan dengan angka 5% yang tetap dikukuhkan oleh PT MAP jelas suatu kesesatan berpikir dan hanya mementingkan kepentingan perusahan jauh dari mensejahterakan masyarakat.
Benang Merah
Logika Sesat Kemitraan
Adapun dua poin penting yang dituntut Masyarakat Batin III Ulu yaitu ganti rugi lahan/tanaman masyarakat yang telah digusur oleh PT MAP dan lahan berupa sesap, merupakan kawasan yang pernah digunakan masyarakat sebagai tempat menanam padi ladang. Menurut hukum adat Bathin III Ulu, lahan yang sudah digunakan sebagai tempat berladang ini diakui sebagai milik orang yang berladang tersebut. Mengenai ganti rugi perusahan tidak ada kejelasan berapa besarannya dan terkait pola kemitraan PT MAP hanya mengatakan akan memberikan 5 % dari areal yang ada untuk dikelola berdasarkan pola kemitraan dengan berdalih bahwa ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Oleh karena itu penulis mencoba untuk mengelaborasi kewajiban PT MAP baik dalam SK Menhut a quo dan dielaborasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu juga penulis akan mencoba meluruskan logika sesat PT MAP terkait pola kemitraan yang ditawarkan oleh PT MAP sebesar 5%.
Pertama pada konsideran mengingat SK Menhut terkait pemberian IUPHHK-HTI PT MAP ini mencantumkan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 sebagaimana direvisi menjadi PP 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Manfaat Hutan, sebagai dasar hukum kewajiban yang harus dilakukan, begitu juga dalam PP tersebut juga mengatur tentang kemitraan. Terkait dengan kewajiban dapat kita lihat pada poin menetapkan keempat yang harus dipenuhi dari huruf a-v. Adapun pokok perdebatan atau kengototan PT MAP terdapat pada huruf r menyatakan bahwa PT MAP menyediakan areal paling tinggi 5 % dari luas areal sebagai ruang tanaman kehidupan bagi areal kemitraan dengan masyarakat setempat dan penjelasannya mengatakan bahwa menyediakan areal paling banyak 5% (lima perseratus) dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar areal IUPHHK HTI, untuk ikut aktif dalam pembangunan HTI.
Menurut penulis muatan yang dicantumkan pada huruf r SK tersebut merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh PT MAP sebagaimana diamanahkan dalam PP Nomor 6 tahun 2007 pasal 75 ayat (1) huruf i. Patut diketahui bahwa regulasi yang dinyatakan pada pasal 75 ayat (1) huruf i PP 6 tahun 2007 tersebut sudah direvisi menjadi PP 3 Tahun 2008, dimana pada pasal 75 ayat (1) huruf I mengalami perubahan menjadi menyediakan areal sesuai dengan rencana dalam RKT sebagai ruang tanaman kehidupan bagi areal kemitraan dengan masyarakat setempat. Artinya kewajiban yang dimuat dalam SK Menhut terutama pasal 75 ayat (1) huruf I tersebut tidak lagi berlaku dan harus mengacu kepada PP 3 Tahun 2008 sebagai revisi dari PP 6 Tahun 2007. Apalagi SK tersebut dikeluarkan pada 28 september 2009 setelah revisi PP 6 tahun 2007 selesai dilakukan. Dapat dikatakan SK a quo cacat secara hukum karena tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan terbaru yang berlaku saat itu (hukum positif).
Kedua terkait dengan pola kemitraan diatur tersendiri pada pasal 99 ayat (1) sampai (5) PP 6 Tahun 2007 sebagaimana direvisi PP 3 tahun 2008. Artinya konsep dan pedoman pola kemitraan harus berangkat dari pasal 99 tersebut bukan pada pasal 75 yang notabene memuat kewajiban suatu perusahaan pemegang IUPHHK HTI (PT MAP). Oleh karena itu penulis mengelaborasi lebih dalam perbedaan antara pengaturan pada pasal 75 yang berisi kewajiban dengan pasal 99 sebagai konsep dasar kemitraan. Kemitraan dalam Kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) edisi kedua tahun 1994 adalah kemitraan berasal dari kata mitra yaitu (1) teman sahabat (2) kawan kerja; pasangan kerja; rekan.
Pada pasal 99 ayat (1) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilaksanakan melalui kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 huruf c, dalam hal kawasan hutan yang bersangkutan telah diberikan izin pemanfaatan hutan; atau kawasan hutan yang bersangkutan telah diberikan hak pengelolaan hutan kepada badan usaha milik negara (BUMN) bidang kehutanan. Pada penjelasan ayat (1) PP tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kemitraan adalah kerjasama antara masyarakat setempat dan pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan. Artinya prinsip utama dari kemitraan adalah kerjasama dan kesepakatan bukan penentuan sebagaimana terdapat dalam pasal 75 ayat (1) huruf I PP 6 tahun 2007 yang digetol-getolkan oleh PT MAP sebagai dasar hukum. Apalagi pasal tersebut sudah direvisi dan angka 5 % sudah dihilangkan sebagaimana terdapat dalam PP 3 tahun 2008. Jadi perlu ditegaskan bahwa keberadaan pasal 75 merupakan kewajiban PT. MAP yang harus dilaksanakan jika tidak dilaksanakan sesuai dengan pasal 129 huruf c menyatakan bahwa pemegang IUPHHK pada HTI atau pada HTR dalam hutan tanaman pada hutan produksi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a, huruf d, huruf h, huruf i, huruf k, atau ayat (3) huruf c.
Ketiga pada pasal 99 ayat (2) PP 6 tahun 2007 mengatur bagaimana peran dari pemerintah dalam memfasilitasi pola kemitraan tersebut yaitu Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya, wajib memfasilitasi terbentuknya kemitraan antara masyarakat setempat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan. Pada penjelasan ayat (2) menjelaskan bahwa termasuk dalam pemberian fasilitasi, antara lain, adalah membantu menyelesaikan konflik dan membentuk kemitraan. Bukan hanya penentuan sepihak luas areal yang dimasukkan dalam skema kemitraan. Pentingnya pelibatan pemerintah sebagai kewajiban pokok pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat.
Keempat pada pasal 99 ayat (3) PP 6 tahun 2007 menyatakan bahwa Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan dengan masyarakat setempat. Kelima pada pasal 99 ayat (4) PP 6 tahun 2007 Pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan tidak mengubah kewenangan dari pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan kepada masyarakat setempat.
Kelima pasal 99 ayat (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri. Sampai saat ini Permenhut terkait pengaturan kemitraan belum ada dan masih dalam pembahasan di kementrian kehutanan. Sebagaimana draf permenhut yang juga menggagas pengaturan tentang kemitraan mencantumkan minimal 25% areal kemitraan yang dikelola masyarakat. Menurut penulis luasan minimal 25% masih rendah dan harus ditingkatkan lagi jika pemerintah benar-benar ingin mensejahterakan masyarakat dimana pelibatan aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan sangat diperlukan. Berkaitan dengan angka 5% yang tetap dikukuhkan oleh PT MAP jelas suatu kesesatan berpikir dan hanya mementingkan kepentingan perusahan jauh dari mensejahterakan masyarakat.
Benang Merah
Berdasarkan pendalaman yang penulis lakukan dalam mengadvokasi
konflik agraria masyarakat Batin III Hulu dengan PT MAP terdapat catatan
penting yang harus dikemukakan. Pertama telah terjadi berkali-kali
wanprestasi (pelanggaran, pengingkaran) kesepakatan yang telah dibuat
(kesepakatan 25 oktober, 8 desember 2011 dan 14 mei 2012) yang
ditandatangani oleh Ketua DPRD, SKPD terkait, PT MAP, Camat Batin III
Hulu, Perangkat Desa dan masyarakat. Kedua tim Pencari Fakta yang
dibentuk oleh Pemerintahan Daerah Bungo belum melakukan tugasnya dengan
maksimal terkait penyelesaian konflik tersebut dan cenderung
mengulur-ulur waktu agar konflik ini mengapung tidak tentu arah
penyelesaiannya. Ada dugaan/indikasi keterlibatan atau negosiasi liar di
belakang meja antara pejabat teras di Bungo dengan pihak Perusahaan.
Ketiga landasan dan dasar hukum yang dilontarkan oleh PT MAP, juga Sekda
Bungo pada Hearing pada tanggal 14 Mei 2012 di Aula Bupati Bungo,
terkait luas areal pola kemitraan untuk masyarakat maksimal 5% tidak
berlandaskan hukum dan memakai logika yang sesat dan menyesatkan. Kelima
pengaturan kemitraan terdapat dalam pasal 99 PP 6 Tahun 2007 sebagai
mana direvisi menjadi PP 3 Tahun 2008 dimana inti dari kemitraan adalah
kerjasama atau kesepakatan masyarakat (Batin III Hulu) dengan Pemegang
IUPHHK- HTI (PT MAP) bukan penentuan sepihak dari PT MAP. Begitu juga
pemerintah daerah (menhut, gubenur dan bupati) wajib memfasilitasi
kemitraan tersebut. Begitu juga berdasarkan pasal 129 PP 6 tahun 2007
sebagaimana diubah menjadi PP 3 tahun 2008 menyatakan Sanksi
administratif berupa penghentian sementara pelayanan administrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf a PP Nomor 6 Tahun
2007.
Oleh karena itu sudah saatnya Pemerintah terkait untuk benar-benar memperjuangkan hak-hak masyarakat Batin III Hulu untuk mengelolaan lahan yang merupakan tanah masyarakat. Begitu juga pihak perusahaan untuk legowo dalam melakukan ganti rugi tanaman dan perkebunan yang sudah dirusak dan dengan hati lapang bekerjasama dengan masyarakat dalam mengelola Lahan HTI dengan skema kemitraan dengan prinsip kesepakatan dan kerjasama yang diperuntukkan terutama bagi kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu sudah saatnya Pemerintah terkait untuk benar-benar memperjuangkan hak-hak masyarakat Batin III Hulu untuk mengelolaan lahan yang merupakan tanah masyarakat. Begitu juga pihak perusahaan untuk legowo dalam melakukan ganti rugi tanaman dan perkebunan yang sudah dirusak dan dengan hati lapang bekerjasama dengan masyarakat dalam mengelola Lahan HTI dengan skema kemitraan dengan prinsip kesepakatan dan kerjasama yang diperuntukkan terutama bagi kesejahteraan masyarakat.
Dapat diakses dalam http://warsi.or.id/alamsumatera/index_show.php?id=70
Tidak ada komentar:
Posting Komentar