Selasa, 16 Oktober 2012

Jubir Koruptor

Ilham Kurniawan Dartias
Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar


Maraknya akademisi yang menjadi saksi ahli koruptor menyentuh rasa keadilan masyarakat. Dengan berkedok memberikan keterangan ahli pernyataan yang keluar justru meringankan koruptor. Entah apa yang ada dalam benak ahli (akademisi) ini untuk memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor. Tindakan ini bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Seharusnya sang ahli benar-benar memberikan keterangan sesuai dengan hati nurani dengan mengedepankan kebenaran bukan memberikan keterangan untuk membenarkan tindakan koruptor bukanlan suatu tindak pidana korupsi.

Urgensi Saksi Ahli

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berkaitan dengan alat bukti. Salah satunya ada keterangan ahli. Pengertian umum dari keterangan ahli dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 menyebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Menyoal Revisi UU MK*

Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand

Sudah hampir delapan (8) tahun sejak berdirinya, MK telah menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan (justisiabellen).
Keputusan-keputusan MK tidak hanya menjadi perhatian publik tetapi juga akademisi dan peneliti hukum memberikan apresiasi karena Putusan MK yang tidak hanya berdasarkan pada hukum positif saja tapi MK menyelami lebih dalam lagi keadilan yang ada dalam masyarakat.

Banyak kejutan-kejutan lain dalam konsep berhukum Indonesia melalui putusan-putusan MK yang membuat publik berpikir masih terdapat harapan dalam memperjuangkan keadilan. Pada kenyataannya, MK tidak hanya berani dalam memutus fakta-fakta hukum yang ada, namun lebih jauh dari itu MK juga melakukan pembenahan yang berani dalam bentuk-bentuk putusannya.

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT MELALUI SKEMA HUTAN DESA


Oleh :
Ilham Kurniawan Dartias 
(Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi)

PENDAHULUAN
Perubahan paradigma dalam hal pengelolaan hutan yang semula top-down menjadi bottom-up dan juga perubahan pola pendekatan konservatif menjadi partisipatif telah menjadi bentuk baru kebijakan pemerintah dalam konteks pengelolaan hutan. Ini tidak terlepas dari peralihan orde baru ke orde reformasi, yang kemudian ikut mempengaruhi politik hukum pemerintah terkait pengelolaan hutan, sebagai imbas dari buruknya konsep pengelolaan hutan di zaman orde baru .

Minggu, 14 Oktober 2012

Selamatkan APBD! *


Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Korupsi bagaikan tumor ganas yang telah menyebar ke sendi-sendi dan mendarah daging dalam ke­hidu­pan bangsa. Penyakit ini sudah sangat akut terutama korupsi yang berjangkit di pejabat negara baik pusat maupun daerah. Berdasarkan survey inter­na­sional tahun 2012 yang dirilis sebuah lembaga independenTransparency International, dari 146 negara, tercatat Indonesia sebagai negara kelima ter­ko­rup di dunia. Sedangkan secara nasio­nal berdasarkan data PPATK me­nem­pat­kan Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah terkorup dan seluruh provinsi melakukan praktik kotor penghisapan APBD. Suatu prestasi yang beriringan prestasi korupsi negara ini secara internasional masuk kategori lima besar dan dalam level nasional seluruh pemerintah daerah pelakukan praktik korupsi.    

APBD Ladang Basah

Pascareformasi terjadi perubahan sistem pemerintahan yang awalnya (baca: Orde Baru) bersifat sentralistik mulai bergeser menjadi desentralistik. Hal ini tampak jelas dengan lahirnya UU 22 tahun 1999 dan UU 12 Tahun 2008 sebagaimana revisi kedua UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang notabene memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola potensi yang ada di daerahnya. Akan tetapi kondisi ini justru dijadikan celah oleh beberapa kepala daerah dan elite-elite lokal untuk memainkan perannya sebagai penghisap uang rakyat. Niat jahat dan pradigma sesat ini berujung pada semakin meningkatnya kepala daerah dan elite-elite lokal yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan catatan Ke­men­dagri terdapat 173 kepala daerah ter­sangkut kasus korupsi dengan status mulai dari saksi, tersangka, terdakwa hing­ga terpidana sejak tahun 2004-2012.

Ahli Koruptor *



Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Peneliti Pusako FH Unand dan Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar
 

Vonis bebas koruptor di Pengadilan Tipikor daerah menyayat hati para pegiat hukum dan pejuang antikorupsi. Berdasarkan catatan ICW, ada 40 terdakwa koruptor yang dibebaskan di Pengadilan Tipikor daerah (kompas.com). Bebasnya koruptor tidak terlepas dari peran kaum intelektual yang ”melacurkan” gelar akademiknya (guru besar). Sungguh mengerikan jika pemberantasan korupsi yang ditopang dengan semangat moral justru diamputasi dan menjadi ladang uang sang intelektual. Permainan rupiah ini menjadikan guru besar sebagai tunggangan koruptor yang dapat dipesan agar memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor.

Pendidikan (Anti) Korupsi*



Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
 
Wacana untuk memasukkan pen­didikan antikorupsi di lembaga pen­didikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi yang dilontarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diacungkan jempol. Untuk perguruan tinggi, pendidikan anti korupsi diusulkan untuk masuk dalam mata kuliah. Sedangkan di tingkat sekolah, diusulkan masuk ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pan­casila dan Kewar­ga­ne­garaan (PPKn) (kompas,20/06/2012). Ide memasukkan pendidikan anti korupsi ini tidak terlepas dari korupsi yang sudah masif di negara ini.  Diharapkan generasi muda yang telah dididik untuk tidak melakukan praktik korupsi jika mereka telah dewasa atau menjadi pejabat dan aparat penegak hukum nantinya. Ini menandakan bahwa KPK benar-benar serius dalam memberantas korupsi, tidak hanya penegakan hukum juga pem­bentukan moral serta pola pikir masyarakat terutama generasi muda calon pemimpin bangsa terkait bahaya laten ko­rupsi. Langkah ini me­rupakan upaya preventif (pencegahan) disamping upa­ya represif (penindakan) yang dilakukan KPK dalam memberantas virus korupsi di Indonesia.

No Izin Presiden Pemeriksaan Kepala Daerah*


  

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang pengujian pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), membawa angin segar dalam penegakan hukum terhadap kepala daerah yang bermasalah. Dalam putusannya MK membatalkan pasal 36 ayat (1) yang menyatakan bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah  dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik dan pasal 36 ayat (2) yang mengatakan bahwa dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Sebelum judicial review UU a quo dikabulkan, kepala daerah masih memiliki amunisi untuk tidak diperiksa oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) karena harus terlebih dahulu mengantongi izin dari presiden.

Akan tetapi, terhadap tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan pada pasal 36 ayat (3) UU Pemda, tetap konstitusional. Artinya penahanan kepala daerah masih memerlukan persetujuan tertulis dari presiden. Akan tetapi MK memandang waktu 60 hari tidak eektif, efisien dan memperlambat proses hukum, maka MK memotong waktu balas jawab presiden menjadi 30 hari sejak dimohonkan. Diharapkan izin penahanan ini tidak menjadi sandungan dalam upaya penegakan hukum.

Dengan lahirnya putusan MK ini diharapkan dapat meningkatkan penegakan hukum terhadap kepala daerah yang bermasalah, karena kenyataanya surat sakti presiden cenderung menjadi sandungan bagi aparat penegak hukum dalam menguak kasus tindak pidana terutama kasus korupsi yang melilit kepala daerah.

Tren korupsi

Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin meluas dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, pemerintahan pusat maupun daerah. Akutnya penyakit korupsi di Indonesia tergambar dari hasil survey dalam 10 tahun yang dilakukan oleh Transparency International (Tl). Berdasarkan survey persepsi masyarakat intemasional menempatkan Indonesia dalam kelompok negara-negara terkorup di dunia. Dari Corruption Perception Index (CPl) untuk 10 (terbersih) hingga 0 (terkorup), Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010 selalu di bawah angka 3 atau masih tergolong negara paling korup. Pada tahun 2010 dengan CPI senilai 2,8 Indonesia berada di posisi 110 dari 178 jumlah negara. Kondisi ini berbanding lurus dengan survey nasional yang dilakukan oleh  Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2010 dari 1.824 responden di 33 provinsi, sebanyak 21,9 persen menyatakan kondisi korupsi Indonesia sangat tinggi dan 47,2 persen Iainnya menyatakan tinggi. Hanya 14,6 persen menyatakan korupsi di Indonesia masuk kategori sedang dan hanya 4,7 persen yang menyatakan rendah dan 0,4 persen menyebutkan sangat rendah. Artinya perspektif masyarakat internasional dan nasional menunjukkan bahwa  tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan sangat tinggi.
Bahaya laten korupsi di daerah tidak kalah hebatnya terutama yang melibatkan kepala daerah. Berdasarkan data Kemendagri sejak tahun 2004-2012 terdapat 277 kepala daerah yang berhadapan dengan hukum dimana 21 orang sebagai saksi, 172 tersangka dan 4 terdakwa. Kasus yang melilit kepala daerah pada umumnya adalah penyalahgunaan APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan, penyuapan, dan gratifikasi  (kompas.com)

No Izin Presiden

Pemberantasan korupsi di Indonesia harus dengan upaya yang luar biasa dan dukungan atau dorongan banyak pihak termasuk melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu cara adalah menghapus kebijakan atau aturan yang dinilai menghambat pencapaian atau diskriminasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keberadaan Pasal 36 UU Pemda yang intinya mengharuskan adanya persetujuan tertulis atau ijin dari Presiden jika penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan akan melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dalam perkara tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi merupakan wujud regulasi yang jauh dari semangat pemberantasan korupsi dan mendobrak asas equality before the law (persamaan dihadapan hukum).

Dibatalkannya pasal 36 ayat (1) dan (2) ini menandakan izin presiden dalam pemeriksaan kepala daerah bertentangan dengan amanah UUD 1945 dan menimbulkan diskriminasi hukum sehingga terhambatnya proses hukum terhadap kepala daerah. Hal ini senada pertimbangan MK bahwa persetujuan tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemda menurut MK akan menghambat proses penyelidikan, karena Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut. Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan.

Lebih jauh MK mengatakan persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum. Terhadap adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut MK pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan Hukum. Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan, karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah sebagai pemberitahuan karena Presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah.
Menurut penulis dibatalkannya pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda dikarenakan beberapan alasan. Pertama, proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan. Pada kenyataanya banyak izin yang diminta kepada presiden tidak ada kejelasan sehingga penanganan perkaranya menjadi tidak jelas dan mandek. Berdasarkan keterangan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Noor Rachmad pada 8 April 2011, permohonan ijin pemeriksaan terhadap 61 kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 2005-2011, diduga masih tertahan di Sekretariat Kabinet (Detik.com, 9 April 2011). Sampai saat ini belum ada penjelasan atau data resmi dari Sekretaris Kabinet atau Pemerintah tentang perincian jumlah seluruh permohonan ijin pemeriksaan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diajukan oleh pihak Kejaksaan atau Kepolisian dan jumlah permohonan ijin yang belum dapat persetujuan dari Presiden.

Kedua bertentangan dengan prinsip peradilan yang independen, persamaan kedudukan di dalam hukum dan menimbulkan perlakukan diskriminatif, serta jauh dari asas peradilan yang cepat sebagimana termaktub dalam  UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ketentuan pada butir 3a penjelasan umum KUHAP yang berbunyi, “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan dan peraturan perundangundangan Iainnya. Keramahan regulasi dan pengistimewaan bagi kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana melalui kebijakan atau izin dari Presiden tidak sejalan dengan prinsip equality before the law dan melemahkan penegakan hukum (law of enforcement). Dapat ditarik benang merah bahwa mengguritanya praktik korupsi karena hukum dan penegak hukum di negeri ini sangat ramah kepada para pelaku korupsi terutama pejabat negara baik pusat maupun daerah.

Ketiga, terhambatnya proses pemeriksaan bagi pejabat negara, memengaruhi proses penyidikan terhadap tersangka Iainnya dalam perkara yang melibatkan pejabat negara, sehingga penyidikannya menjadi lamban dan terkesan macet. Keempat, dengan rentang waktu yang cukup lama sampai keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas menghirup udara segar, sehingga dikhawatirkan melarikan diri; menghilangkan/merusak barang bukti, mengganti atau mengubah alat bukti surat, dapat mengulangi tindak pidana korupsi, dapat memengaruhi para saksi, dan memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada orang lain.
Kelima keberadaan surat izin presiden selama ini menimbulkan ketidak jelasan karena antara aparat penegak hukum dengan presiden (sekretaris kabinet) tidak ada kejelasan apakah sudah dimohonkan atau sudah ada balasannya dari presiden. Ketidak efisien dan efektifnya izin ini menimbulkan ketidak pastian hukum.  Keenam keberadaan izin presiden ini menjauhkan dari pemberantasan tindak pidana korupsi dan komitmen bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Begitu juga diskriminasi ini menciptakan inkonsistensi dalam penegakan hukum.

Dibatalkannya pasal 36 UU Pemda ini menjadi momentum bagi aparat penegak hukum (kepolisisan dan Kejaksaan) untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana karena surat sakti dari presiden yang sering dijadikan benteng oleh kepala daerah sudah dirobohkan oleh MK.

Ilham Kurniawan Dartias (Peserta PKPA Jambi dan Staf Hukum KKI Warsi)
*Dimuat pada Harian Jambi Independent