Minggu, 14 Oktober 2012

Pendidikan (Anti) Korupsi*



Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
 
Wacana untuk memasukkan pen­didikan antikorupsi di lembaga pen­didikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi yang dilontarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diacungkan jempol. Untuk perguruan tinggi, pendidikan anti korupsi diusulkan untuk masuk dalam mata kuliah. Sedangkan di tingkat sekolah, diusulkan masuk ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pan­casila dan Kewar­ga­ne­garaan (PPKn) (kompas,20/06/2012). Ide memasukkan pendidikan anti korupsi ini tidak terlepas dari korupsi yang sudah masif di negara ini.  Diharapkan generasi muda yang telah dididik untuk tidak melakukan praktik korupsi jika mereka telah dewasa atau menjadi pejabat dan aparat penegak hukum nantinya. Ini menandakan bahwa KPK benar-benar serius dalam memberantas korupsi, tidak hanya penegakan hukum juga pem­bentukan moral serta pola pikir masyarakat terutama generasi muda calon pemimpin bangsa terkait bahaya laten ko­rupsi. Langkah ini me­rupakan upaya preventif (pencegahan) disamping upa­ya represif (penindakan) yang dilakukan KPK dalam memberantas virus korupsi di Indonesia.
 
Korupsi Itu Busuk
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti busuk; palsu; suap. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pela­yanan kesehatan yang tidak memadai. Korupsi di Indonesia sudah membudaya dan semua pihak yang terkait dengan kasus korupsi seakan menutup mata dan lepas tangan seolah-olah tanpa terjadi apa-apa. Tindakan korupsi mulai dari yang paling besar sampai kepada yang paling kecil, mulai dari pejabat negara, pengu­saha sampai dengan pegawai kecil seperti pada kepala desa, kepala sekolah dan pegawai rendahan. Begitu juga dalam proses penyuapan dari ribuan rupiah yang biasa kita lihat di tempat umum sampai pada kasus penyuapan atau meng­ge­lapkan uang negara triliunan rupiah.
 
Dalam kehidupan sehari-hari pe­ngertian korupsi dapat menjadi lebih luas. Perilaku seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up, memberi atau me­nerima hadiah sebagai pelicin dan men­janjikan jabatan tertentu merupakan cikal bakal lahirnya korupsi.  Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan cen­derung sudah membudaya. Jika diper­hatikan, hampir disemua aspek kehi­dupan bangsa ini terlibat korupsi. Dari lembaga pendidikan pelayanan publik sampai lembaga kerohanian (keagamaan) sekalipun ditemukan perilaku korupsi. Di lingkungan sekolah sangat banyak dite­mui praktik-praktik korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada meng­gelapkan uang sekolah pembangunan sekolah yang bernilai puluhan juta rupiah. Jadi dapat ditarik benang merah bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain (negara).
 
Perilaku korupsi yang terjadi di segala lini kehidupan bangsa membawa dampak yang besar bagi kemajuan dan kese­jah­teran rakyat. Penegakan hukum (law enforcement ) yang lemah, tebang pilih dan penyalahgunaan kekuasaan dengan melakukan legalisasi pengerukan uang rakyat menjadikan korupsi sebagai tontonan sehari-hari rakyat Indonesia. Kebiasaan busuk ini berpotensi mela­hirkan apatisme masyarakat terhadap tindakan korupsi. Masyarakat telah jenuh dan terbiasa dengan kasus-kasus korupsi yang mencuat kepermukaan. Tidak ada sanksi moral dan sosial terhadap para koruptor. Bahkan, secara tak langsung budaya korupsi telah merajalela ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada setiap aspek kehidupan, selalu ditemui budaya korupsi yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan lumrah setiap orang.
 
Maka dari itu perlu upaya untuk menyadarkan masyarakat bahwa uang yang dikorupsi oleh para koruptor meru­pakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan ke­se­jahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air dan lain-lain. Masyarakat harus mengetahui kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi seperti pendidikan menjadi mahal, begitu juga dengan pelayanan ke­sehatan, pe­layanan umum, bahan pokok menjadi mahal, transportasi menjadi tidak aman, rusaknya in­frastruktur dan yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka pe­ngang­guran sehingga berkolerasi me­nambah angka kri­mi­nalitas. Mari kita la­ku­kan kon­so­li­dasi masyarakat anti korupsi yang peduli terhadap pe­nyakit korupsi yang menggerogoti segala lini kehidupan bangsa. Mari kita satukan persepsi bahwa korupsi itu adalah pem­busukan dan penghancuran bangsa.
 
Korupsi Pendidikan
 
Wacana memasukkan pendidikan anti korupsi merupakan respons terhadap rusaknya moral bangsa yang gemar menghisap uang rakyat. Memasuki 14 tahun masa reformasi, korupsi di Indonesia bukannya berkurang, tetapi justru semakin menjadi-jadi. Korupsi bukan saja melibatkan pejabat di tingkat pusat tetapi hingga daerah baik dari legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Dalam dunia pen­didikan pun tidak dapat terhindar dari noda hitam korupsi. Berdasarkan catatan ICW dalam rentang waktu 1999-2011 terdapat 233 kasus korupsi dalam dunia pendidikan. Terdapat 87 kasus korupsi DAK dengan  kerugian negara mencapai Rp 138,2 miliar. Sedangkan kasus korupsi BOS ada  44 kasus dengan total kerugian negara Rp 10,5 miliar. Kasus belum dicairkan dana anggaran BOS tahun 2011 senilai 23 miliar di Mimika.
 
Pada perguruan tinggi tidak kalah hebatnya, BPK menemukan adanya korupsi yang melibatkan 16 perguruan tinggi negeri untuk tahun anggaran 2010/2011 yang melibatkan politisi partai berkuasa. Terdapat Rp 600 miliar pe­ngadaan sarana dan prasarana PTN yang diduga menjadi ladang bagi para politisi. Berdasarkan data KPK ke-16 PTN itu adalah Universitas Sumatera Utara dengan nilai proyek Rp 30 miliar, Universitas Brawijaya Rp 30 miliar, Universitas Udayana Rp 30 miliar, Universitas Jambi Rp 30 miliar, Universitas Negeri Jakarta Rp 45 miliar, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Rp 45 miliar, Universitas Jenderal Soedirman Rp 30 miliar, Universitas Sriwijaya Rp 75 miliar, Universitas Tadulako Rp 30 miliar, Universitas Nusa Cendana Rp 20 miliar, Universitas Pattimura Rp 35 miliar, Universitas Negeri Papua Rp 30 miliar, Universitas Sebelas Maret (UNS) Rp 40 miliar, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Rp 50 miliar, Universitas Negeri Malang Rp 40 miliar, dan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebesar Rp 40 miliar (kompas 3/5/2012). Begitu juga di Universitas Andalas juga terendus sepak terjang Politisi Demokrat Angelina Sondakh dan M. Nazzarudin dalam proyek Gedung Fakultas Farmasi di Universitas Andalas Padang.
 
Menurut penulis penerapan pen­didikan anti korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi belum menjawab pemberantasan korupsi di Indonesia jika sistem bernegara, penegakan hukum yang amburadul tidak diperbaiki. Meminjam pernyataan Lawrence M. Friedman bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua kom­ponen dalam sistem hukum. Sistem hukum dalam pandang Friedman terdiri atas tiga komponen yaitu struktur hukum (legal structure) yang berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, substansi hukum (legal substance) merupakan aturan perundang-undangan dan budaya hukum ( legal culture) mencakup nilai-nilai, perilaku, pola pikir dan kesadaran hukum. Jika ketiga kom­ponen itu berjalan maka akan terwujud law enforcement.
 
Penulis memandang bahwa ide pen­didikan anti korupsi ini baru pada tahap pemberian pemahaman, pola pikir dan kesadaran hukum (legal culture). Oleh karena itu harus dibarengi dengan per­baikan substansi hukum terutama struk­tur hukum atau lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim. Karena sindrom korupsi sudah merajarela baik di lembaga penegak hukum maupun lembaga pendidikan.
 
Begitu juga pendidikan antikorupsi tidak hanya diberikan kepada siswa sekolah dan mahasiswa saja tetapi juga kepada karyawan, tenaga pendidik, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim). Salah satu caranya adalah ketika pen­didikan atau Latihan Pra Jabatan (LPJ) dimasukkan materi antikorupsi dan membangun komitmen pemberantasan korupsi. Jangan kita hanya mengajar siswa atau mahasiswa pendidikan anti korupsi sedangkan di lingkungan pendi­dikan dan aparat penegak hukum sendiri bersemayan bandit-bandit koruptor yang berlindung di balik jubah agung pendidikan dan atribut yang dimilikinya. Jika ini dibiarkan sama halnya dengan memberikan “pendidikan korupsi” ke­pada masyarakat.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar