Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
Wacana untuk memasukkan pendidikan antikorupsi di lembaga pendidikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi yang dilontarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diacungkan jempol. Untuk perguruan tinggi, pendidikan anti korupsi diusulkan untuk masuk dalam mata kuliah. Sedangkan di tingkat sekolah, diusulkan masuk ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) (kompas,20/06/2012). Ide memasukkan pendidikan anti korupsi ini tidak terlepas dari korupsi yang sudah masif di negara ini. Diharapkan generasi muda yang telah dididik untuk tidak melakukan praktik korupsi jika mereka telah dewasa atau menjadi pejabat dan aparat penegak hukum nantinya. Ini menandakan bahwa KPK benar-benar serius dalam memberantas korupsi, tidak hanya penegakan hukum juga pembentukan moral serta pola pikir masyarakat terutama generasi muda calon pemimpin bangsa terkait bahaya laten korupsi. Langkah ini merupakan upaya preventif (pencegahan) disamping upaya represif (penindakan) yang dilakukan KPK dalam memberantas virus korupsi di Indonesia.
Korupsi Itu Busuk
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi berarti busuk; palsu; suap. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Korupsi di Indonesia sudah membudaya dan semua pihak yang terkait dengan kasus korupsi seakan menutup mata dan lepas tangan seolah-olah tanpa terjadi apa-apa. Tindakan korupsi mulai dari yang paling besar sampai kepada yang paling kecil, mulai dari pejabat negara, pengusaha sampai dengan pegawai kecil seperti pada kepala desa, kepala sekolah dan pegawai rendahan. Begitu juga dalam proses penyuapan dari ribuan rupiah yang biasa kita lihat di tempat umum sampai pada kasus penyuapan atau menggelapkan uang negara triliunan rupiah.
Dalam kehidupan sehari-hari pengertian korupsi dapat menjadi lebih luas. Perilaku seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up, memberi atau menerima hadiah sebagai pelicin dan menjanjikan jabatan tertentu merupakan cikal bakal lahirnya korupsi. Kasus-kasus korupsi seperti ini sangat banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung sudah membudaya. Jika diperhatikan, hampir disemua aspek kehidupan bangsa ini terlibat korupsi. Dari lembaga pendidikan pelayanan publik sampai lembaga kerohanian (keagamaan) sekalipun ditemukan perilaku korupsi. Di lingkungan sekolah sangat banyak ditemui praktik-praktik korupsi, mulai dari yang paling sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang sampai pada menggelapkan uang sekolah pembangunan sekolah yang bernilai puluhan juta rupiah. Jadi dapat ditarik benang merah bahwa tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang menyimpang dan dapat merugikan orang lain (negara).
Perilaku korupsi yang terjadi di segala lini kehidupan bangsa membawa dampak yang besar bagi kemajuan dan kesejahteran rakyat. Penegakan hukum (law enforcement ) yang lemah, tebang pilih dan penyalahgunaan kekuasaan dengan melakukan legalisasi pengerukan uang rakyat menjadikan korupsi sebagai tontonan sehari-hari rakyat Indonesia. Kebiasaan busuk ini berpotensi melahirkan apatisme masyarakat terhadap tindakan korupsi. Masyarakat telah jenuh dan terbiasa dengan kasus-kasus korupsi yang mencuat kepermukaan. Tidak ada sanksi moral dan sosial terhadap para koruptor. Bahkan, secara tak langsung budaya korupsi telah merajalela ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada setiap aspek kehidupan, selalu ditemui budaya korupsi yang telah mengakar dan menjadi kebiasaan lumrah setiap orang.
Maka dari itu perlu upaya untuk menyadarkan masyarakat bahwa uang yang dikorupsi oleh para koruptor merupakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air dan lain-lain. Masyarakat harus mengetahui kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi seperti pendidikan menjadi mahal, begitu juga dengan pelayanan kesehatan, pelayanan umum, bahan pokok menjadi mahal, transportasi menjadi tidak aman, rusaknya infrastruktur dan yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka pengangguran sehingga berkolerasi menambah angka kriminalitas. Mari kita lakukan konsolidasi masyarakat anti korupsi yang peduli terhadap penyakit korupsi yang menggerogoti segala lini kehidupan bangsa. Mari kita satukan persepsi bahwa korupsi itu adalah pembusukan dan penghancuran bangsa.
Korupsi Pendidikan
Wacana memasukkan pendidikan anti korupsi merupakan respons terhadap rusaknya moral bangsa yang gemar menghisap uang rakyat. Memasuki 14 tahun masa reformasi, korupsi di Indonesia bukannya berkurang, tetapi justru semakin menjadi-jadi. Korupsi bukan saja melibatkan pejabat di tingkat pusat tetapi hingga daerah baik dari legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Dalam dunia pendidikan pun tidak dapat terhindar dari noda hitam korupsi. Berdasarkan catatan ICW dalam rentang waktu 1999-2011 terdapat 233 kasus korupsi dalam dunia pendidikan. Terdapat 87 kasus korupsi DAK dengan kerugian negara mencapai Rp 138,2 miliar. Sedangkan kasus korupsi BOS ada 44 kasus dengan total kerugian negara Rp 10,5 miliar. Kasus belum dicairkan dana anggaran BOS tahun 2011 senilai 23 miliar di Mimika.
Pada perguruan tinggi tidak kalah hebatnya, BPK menemukan adanya korupsi yang melibatkan 16 perguruan tinggi negeri untuk tahun anggaran 2010/2011 yang melibatkan politisi partai berkuasa. Terdapat Rp 600 miliar pengadaan sarana dan prasarana PTN yang diduga menjadi ladang bagi para politisi. Berdasarkan data KPK ke-16 PTN itu adalah Universitas Sumatera Utara dengan nilai proyek Rp 30 miliar, Universitas Brawijaya Rp 30 miliar, Universitas Udayana Rp 30 miliar, Universitas Jambi Rp 30 miliar, Universitas Negeri Jakarta Rp 45 miliar, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Rp 45 miliar, Universitas Jenderal Soedirman Rp 30 miliar, Universitas Sriwijaya Rp 75 miliar, Universitas Tadulako Rp 30 miliar, Universitas Nusa Cendana Rp 20 miliar, Universitas Pattimura Rp 35 miliar, Universitas Negeri Papua Rp 30 miliar, Universitas Sebelas Maret (UNS) Rp 40 miliar, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Rp 50 miliar, Universitas Negeri Malang Rp 40 miliar, dan Institut Pertanian Bogor (IPB) sebesar Rp 40 miliar (kompas 3/5/2012). Begitu juga di Universitas Andalas juga terendus sepak terjang Politisi Demokrat Angelina Sondakh dan M. Nazzarudin dalam proyek Gedung Fakultas Farmasi di Universitas Andalas Padang.
Menurut penulis penerapan pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi belum menjawab pemberantasan korupsi di Indonesia jika sistem bernegara, penegakan hukum yang amburadul tidak diperbaiki. Meminjam pernyataan Lawrence M. Friedman bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu mensyaratkan berfungsinya semua komponen dalam sistem hukum. Sistem hukum dalam pandang Friedman terdiri atas tiga komponen yaitu struktur hukum (legal structure) yang berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, substansi hukum (legal substance) merupakan aturan perundang-undangan dan budaya hukum ( legal culture) mencakup nilai-nilai, perilaku, pola pikir dan kesadaran hukum. Jika ketiga komponen itu berjalan maka akan terwujud law enforcement.
Penulis memandang bahwa ide pendidikan anti korupsi ini baru pada tahap pemberian pemahaman, pola pikir dan kesadaran hukum (legal culture). Oleh karena itu harus dibarengi dengan perbaikan substansi hukum terutama struktur hukum atau lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim. Karena sindrom korupsi sudah merajarela baik di lembaga penegak hukum maupun lembaga pendidikan.
Begitu juga pendidikan antikorupsi tidak hanya diberikan kepada siswa sekolah dan mahasiswa saja tetapi juga kepada karyawan, tenaga pendidik, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim). Salah satu caranya adalah ketika pendidikan atau Latihan Pra Jabatan (LPJ) dimasukkan materi antikorupsi dan membangun komitmen pemberantasan korupsi. Jangan kita hanya mengajar siswa atau mahasiswa pendidikan anti korupsi sedangkan di lingkungan pendidikan dan aparat penegak hukum sendiri bersemayan bandit-bandit koruptor yang berlindung di balik jubah agung pendidikan dan atribut yang dimilikinya. Jika ini dibiarkan sama halnya dengan memberikan “pendidikan korupsi” kepada masyarakat.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar