Minggu, 14 Oktober 2012

Ahli Koruptor *



Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Peneliti Pusako FH Unand dan Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar
 

Vonis bebas koruptor di Pengadilan Tipikor daerah menyayat hati para pegiat hukum dan pejuang antikorupsi. Berdasarkan catatan ICW, ada 40 terdakwa koruptor yang dibebaskan di Pengadilan Tipikor daerah (kompas.com). Bebasnya koruptor tidak terlepas dari peran kaum intelektual yang ”melacurkan” gelar akademiknya (guru besar). Sungguh mengerikan jika pemberantasan korupsi yang ditopang dengan semangat moral justru diamputasi dan menjadi ladang uang sang intelektual. Permainan rupiah ini menjadikan guru besar sebagai tunggangan koruptor yang dapat dipesan agar memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor.

Kasus pembebasan beberapa koruptor, seperti yang terjadi di Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Selatan dan Padang adalah contoh kasus dari pelayanan ”jasa” yang diberikan para intelek kampus, sehingga para pengerat uang rakyat bisa bebas. Berkat analisis yang seolah-olah ilmiah, sehingga banyak kasus korupsi yang terang benderang bisa dimanipulasi, dipelintir bahkan ”dihapuskan” dari ranah tuntutan hukum. Wajar apabila kini muncul sarkasme publik terkait moral dan kredibilitas kampus dalam memberangus masalah korupsi di negeri ini pantas untuk dipertanyakan.
Korupsi Intelektual
Keterlibatan sang ahli dari kalangan intelektual kampus membawa warna tersendiri dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Kampus sebagai sarang untuk mencetak dan bersemayamnya para intelektual seharusnya memiliki political will dalam membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia sedang diselimuti virus korupsi yang sangat akut hingga merusak tatanan sosial dan sendi-sendi kehidupan bangsa.
Korupsi seperti racun yang merusak moral pejabat negara baik di pusat maupun daerah, para elite politik serta aparat penegak hukum. Dewasa ini, virus korupsi sudah merambah ke dalam dunia pendidikan, hal ini terbukti dengan adanya indikasi pejabat kampus yang terlibat dalam praktik korupsi. Contoh saja Rektor Universitas Indonesia yang baru-baru ini dilaporkan ke aparat penegak hukum karena kasus korupsi. Begitu juga di Universitas Andalas sederet kasus korupsi mengapung tak tentu arah dan tujuan. Sebut saja indikasi korupsi bus kampus Unand, korupsi Mentawai dan mungkin ada kasus korupsi yang belum terkuak ke permukaan.
Korupsi di kampus tidak hanya merambah terhadap pengadaan barang atau proyek yang ada di kampus, tetapi juga melibatkan para intelektual atau akademisi kampus, khususnya fakultas hukum yang merekayasa dan memainkan peran sebagai hero-nya para koruptor. Ilmu hukum yang dianugerahkan kepada sang akademisi hanya untaian kata indah, tapi minim realisasi dan jauh dari rasa keadilan. Apalagi, akademisi sudah menyandang title guru besar, tetapi masih saja memanipulasi keahliannya untuk kepentingan juragan yang mengucurkan rupiah ke kantong sang guru besar. Jelas guru besar tak sebesar hati yang dimilikinya. Rupiah mengalahkan nilai-nilai moral dan etika penegakan hukum serta rasa keadilan dalam masyarakat.  
Akademisi yang memberikan keterangan ahli di pengadilan memang secara hukum positif tidak ada pertentangan. Pasal 184 KUHAP mengakomodir keberadaan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti yang diakui. Pasal 1 butir 28 KUHAP memberikan pengertian umum keterangan ahli yaitu keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan ahli secara prinsip dibutuhkan dalam persidangan sebagai salah satu proses dalam hukum acara pidana agar lebih terangnya duduk perkara tindak pidana yang terjadi. Jika ditemukan adanya kejanggalan atau keraguan dari hakim terhadap suatu perkara yang terjadi, menjadikan keterangan ahli sebagai salah satu jalan untuk menerangkan agar kasus yang kabur menjadi terang dan jelas. Tentunya keterangan yang diberikan saksi ahli sesuai dengan keahlian yang dimilikinya berdasarkan prinsip, keadilan, akuntabilitas, dan semangat penegakan hukum. Bukan keterangan yang sesuai dengan pesanan dari pihak yang berpekara (baca: koruptor) agar sang koruptor terlepas dari jerat hukum, tetapi mencari titik terang kasus yang sedang terjadi.
Obyektivitas Ahli
Berbicara tentang obyektivitas keterangan yang diberikan sang ahli bermakna bahwa keterangan yang diberikan berasal dari kejujuran kepada diri sendiri, kebenaran dan kepada ilmu pengetahuan. Obyektivitas ahli merupakan poin penting karena pendapat ahli idealnya tidak memihak kepada salah satu pihak selain pada kebenaran yang diyakini ahli. Bagi ilmu pengetahuan, keterangan ahli merupakan suatu hal yang netral sehingga dianggap sebagai sesuatu yang benar. Dalam KUHP dan KUHAP memang tidak menentukan secara eksplisit bagaimana seharusnya sikap ahli ketika diminta memberikan keterangan. Begitu juga hukum positif di negeri ini tidak ada memberikan sanksi jika ahli memberikan keterangan yang tidak obyektif. Belum pernah seorang ahli yang dipandang tidak obyektif lantas mendapat sanksi kode etik dari organisasi profesi yang bersangkutan.
Ukuran obyektivitas yang bersifat relatif inilah yang membuka ruang jual beli intelektualitas sang ahli. Politik dagang sapi ini berkaitan dengan moralitas ahli dan tanggung jawabnya kepada ilmu pengetahuan, kebenaran dan sosial masyarakat. Akan tetapi, dari segi moral dan etika penegakan hukum, tindakan yang dilakukan harus menjurus pada panggilan hati untuk menegakan kebenaran, bukan mencari pembenaran yang nyata sudah salah dan tidak patut dibenarkan. Jangan akademisi apalagi sudah menjadi guru besar di lingkungan kampus menjadi robot yang remote control-nya dipegang dan dikendalikan oleh koruptor sehinga bisa diperintah sesuai dengan keinginan para penggerat uang rakyat. (*)


x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar