Keluarnya putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang pengujian pasal 36 Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), membawa angin segar
dalam penegakan hukum terhadap kepala daerah yang bermasalah. Dalam putusannya
MK membatalkan pasal 36 ayat (1) yang menyatakan bahwa tindakan penyelidikan
dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan
tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik dan pasal 36 ayat (2) yang
mengatakan bahwa dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat
60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses
penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Sebelum judicial review UU a quo dikabulkan, kepala daerah masih memiliki amunisi untuk tidak
diperiksa oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) karena harus
terlebih dahulu mengantongi izin dari presiden.
Akan tetapi,
terhadap tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
pada pasal 36 ayat (3) UU Pemda, tetap konstitusional. Artinya penahanan kepala
daerah masih memerlukan persetujuan tertulis dari presiden. Akan tetapi MK memandang
waktu 60 hari tidak eektif, efisien dan memperlambat proses hukum, maka MK
memotong waktu balas jawab presiden menjadi 30 hari sejak dimohonkan. Diharapkan
izin penahanan ini tidak menjadi sandungan dalam upaya penegakan hukum.
Dengan
lahirnya putusan MK ini diharapkan dapat meningkatkan penegakan hukum terhadap kepala
daerah yang bermasalah, karena kenyataanya surat sakti presiden cenderung
menjadi sandungan bagi aparat penegak hukum dalam menguak kasus tindak pidana
terutama kasus korupsi yang melilit kepala daerah.
Tren korupsi
Tindak
pidana korupsi di Indonesia semakin meluas dan menyentuh seluruh
lapisan masyarakat, pemerintahan pusat maupun daerah. Akutnya penyakit korupsi
di Indonesia tergambar dari hasil survey dalam 10 tahun yang dilakukan oleh
Transparency International (Tl). Berdasarkan survey persepsi masyarakat
intemasional menempatkan Indonesia dalam kelompok negara-negara terkorup di
dunia. Dari Corruption Perception Index (CPl) untuk 10 (terbersih) hingga 0
(terkorup), Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010 selalu di bawah angka 3 atau
masih tergolong negara paling korup. Pada tahun 2010 dengan CPI senilai 2,8
Indonesia berada di posisi 110 dari 178 jumlah negara. Kondisi ini berbanding
lurus dengan survey nasional yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober
2010 dari 1.824 responden di 33 provinsi, sebanyak 21,9 persen menyatakan
kondisi korupsi Indonesia sangat tinggi dan 47,2 persen Iainnya menyatakan
tinggi. Hanya 14,6 persen menyatakan korupsi di Indonesia masuk kategori sedang
dan hanya 4,7 persen yang menyatakan rendah dan 0,4 persen menyebutkan sangat
rendah. Artinya perspektif masyarakat internasional dan nasional menunjukkan
bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih
tinggi dan sangat tinggi.
Bahaya laten
korupsi di daerah tidak kalah hebatnya terutama yang melibatkan kepala daerah. Berdasarkan
data Kemendagri sejak tahun 2004-2012 terdapat 277 kepala daerah yang
berhadapan dengan hukum dimana 21 orang sebagai saksi, 172 tersangka dan 4
terdakwa. Kasus yang melilit kepala daerah pada umumnya adalah penyalahgunaan APBD, pengadaan barang dan
jasa, perizinan, penyuapan, dan gratifikasi (kompas.com).
No Izin Presiden
Pemberantasan
korupsi di Indonesia harus dengan upaya yang luar biasa dan dukungan atau
dorongan banyak pihak termasuk melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu
cara adalah menghapus kebijakan atau aturan yang dinilai menghambat pencapaian
atau diskriminasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keberadaan Pasal 36
UU Pemda yang intinya mengharuskan adanya persetujuan tertulis atau ijin dari
Presiden jika penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan akan melakukan pemeriksaan
terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dalam perkara tindak pidana
termasuk tindak pidana korupsi merupakan wujud regulasi yang jauh dari semangat
pemberantasan korupsi dan mendobrak asas equality
before the law (persamaan dihadapan hukum).
Dibatalkannya
pasal 36 ayat (1) dan (2) ini menandakan izin presiden dalam pemeriksaan kepala
daerah bertentangan dengan amanah UUD 1945 dan menimbulkan diskriminasi hukum
sehingga terhambatnya proses hukum terhadap kepala daerah. Hal ini senada pertimbangan
MK bahwa persetujuan tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses
penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur
dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemda menurut MK akan menghambat proses
penyelidikan, karena Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan
persetujuan tersebut. Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya
penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan
penyelidikan yang dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan.
Lebih jauh
MK mengatakan persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan
terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak
memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara
secara berbeda di hadapan hukum. Terhadap adagium yang menyatakan bahwa
terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap
sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut MK pejabat negara dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya
memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat
negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum, terlepas dari
jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan Hukum. Oleh
karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi
proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan, karena
esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah sebagai pemberitahuan karena
Presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah.
Menurut
penulis dibatalkannya pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda dikarenakan beberapan
alasan. Pertama, proses penyidikan menjadi
terhambat karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan. Pada kenyataanya banyak izin
yang diminta kepada presiden tidak ada kejelasan sehingga penanganan perkaranya
menjadi tidak jelas dan mandek. Berdasarkan keterangan Kepala Pusat Penerangan
Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Noor Rachmad pada 8 April 2011, permohonan ijin
pemeriksaan terhadap 61 kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono selama 2005-2011, diduga masih tertahan di Sekretariat
Kabinet (Detik.com, 9 April 2011). Sampai saat ini belum ada penjelasan atau
data resmi dari Sekretaris Kabinet atau Pemerintah tentang perincian jumlah
seluruh permohonan ijin pemeriksaan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah
yang diajukan oleh pihak Kejaksaan atau Kepolisian dan jumlah permohonan ijin
yang belum dapat persetujuan dari Presiden.
Kedua
bertentangan dengan prinsip peradilan yang independen, persamaan kedudukan di
dalam hukum dan menimbulkan perlakukan diskriminatif, serta jauh dari asas
peradilan yang cepat sebagimana termaktub dalam
UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan
ketentuan pada butir 3a penjelasan umum KUHAP yang berbunyi, “Perlakuan yang
sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan
perlakuan dan peraturan perundangundangan Iainnya. Keramahan regulasi dan
pengistimewaan bagi kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana melalui
kebijakan atau izin dari Presiden tidak sejalan dengan prinsip equality before the law dan melemahkan
penegakan hukum (law of enforcement).
Dapat ditarik benang merah bahwa mengguritanya praktik korupsi karena hukum dan
penegak hukum di negeri ini sangat ramah kepada para pelaku korupsi terutama
pejabat negara baik pusat maupun daerah.
Ketiga,
terhambatnya proses pemeriksaan bagi pejabat negara, memengaruhi proses
penyidikan terhadap tersangka Iainnya dalam perkara yang melibatkan pejabat
negara, sehingga penyidikannya menjadi lamban dan terkesan macet. Keempat, dengan rentang waktu yang cukup
lama sampai keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas menghirup udara
segar, sehingga dikhawatirkan melarikan diri; menghilangkan/merusak barang
bukti, mengganti atau mengubah alat bukti surat, dapat mengulangi tindak pidana
korupsi, dapat memengaruhi para saksi, dan memindahtangankan kekayaan hasil korupsi
kepada orang lain.
Kelima keberadaan
surat izin presiden selama ini menimbulkan ketidak jelasan karena antara aparat
penegak hukum dengan presiden (sekretaris kabinet) tidak ada kejelasan apakah
sudah dimohonkan atau sudah ada balasannya dari presiden. Ketidak efisien dan
efektifnya izin ini menimbulkan ketidak pastian hukum. Keenam
keberadaan izin presiden ini menjauhkan dari pemberantasan tindak pidana
korupsi dan komitmen bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Begitu juga
diskriminasi ini menciptakan inkonsistensi dalam penegakan hukum.
Dibatalkannya
pasal 36 UU Pemda ini menjadi momentum bagi aparat penegak hukum (kepolisisan
dan Kejaksaan) untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang
diduga melakukan tindak pidana karena surat sakti dari presiden yang sering
dijadikan benteng oleh kepala daerah sudah dirobohkan oleh MK.
Ilham Kurniawan Dartias (Peserta PKPA Jambi dan Staf Hukum KKI Warsi)
*Dimuat pada Harian Jambi Independent
Tidak ada komentar:
Posting Komentar