Minggu, 14 Oktober 2012

Selamatkan APBD! *


Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Korupsi bagaikan tumor ganas yang telah menyebar ke sendi-sendi dan mendarah daging dalam ke­hidu­pan bangsa. Penyakit ini sudah sangat akut terutama korupsi yang berjangkit di pejabat negara baik pusat maupun daerah. Berdasarkan survey inter­na­sional tahun 2012 yang dirilis sebuah lembaga independenTransparency International, dari 146 negara, tercatat Indonesia sebagai negara kelima ter­ko­rup di dunia. Sedangkan secara nasio­nal berdasarkan data PPATK me­nem­pat­kan Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah terkorup dan seluruh provinsi melakukan praktik kotor penghisapan APBD. Suatu prestasi yang beriringan prestasi korupsi negara ini secara internasional masuk kategori lima besar dan dalam level nasional seluruh pemerintah daerah pelakukan praktik korupsi.    

APBD Ladang Basah

Pascareformasi terjadi perubahan sistem pemerintahan yang awalnya (baca: Orde Baru) bersifat sentralistik mulai bergeser menjadi desentralistik. Hal ini tampak jelas dengan lahirnya UU 22 tahun 1999 dan UU 12 Tahun 2008 sebagaimana revisi kedua UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang notabene memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola potensi yang ada di daerahnya. Akan tetapi kondisi ini justru dijadikan celah oleh beberapa kepala daerah dan elite-elite lokal untuk memainkan perannya sebagai penghisap uang rakyat. Niat jahat dan pradigma sesat ini berujung pada semakin meningkatnya kepala daerah dan elite-elite lokal yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan catatan Ke­men­dagri terdapat 173 kepala daerah ter­sangkut kasus korupsi dengan status mulai dari saksi, tersangka, terdakwa hing­ga terpidana sejak tahun 2004-2012.

Berbagai praktik korupsi dilakukan di daerah mulai dari suap dalam memuluskan proyek tertentu, korupsi pengadaan barang dan jasa serta korupsi APBD untuk kepentingan individu dan golongan tertentu. De­wasa ini APBD terutama pada daerah yang memiliki PAD besar, dijadikan ladang bagi pejabat daerah untuk digarap dan disulap menjadi tabungan pribadi. Hal ini sejalan dengan temuan dan hasil analisis PPATK terkait ko­rupsi APBD yang terjadi di daerah bahwa  Provinsi DKI Jakarta berada di posisi pertama sebagai daerah dengan tingkat korupsi paling tinggi, yaitu 46,7 persen. Diikuti Jawa Barat (6 persen), Kalimantan Timur (5,7 persen), Jawa Timur (5,2 persen), Jambi (4,1 persen), Sumatera Utara (4 persen), Jawa Tengah (3,5 persen), kemudian Aceh dan Kalimantan Selatan masing-ma­sing 2,1 persen.

Sementara daerah yang paling kecil laporan tindakan korupsi adalah Ke­pu­lauan Bangka Belitung (0,1 persen), Sulawesi Barat (0,3 persen), Sulawesi Tengah (0,4 persen), Nusa Tenggara Barat dan Papua Barat (0,5 persen), Kalimantan Tengah (0,6 persen), Sumatera Barat dan Bali (0,7 persen), Nusa Tenggara Timur dan Bengkulu (0,8 persen), kemudian Sulawesi Utara (0,9 persen). Tingginya perilaku ko­ruptif ini tentunya tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi dan reformasi apalagi ibu kota negara ini menjadi pilot project lumbung dana koruptor. 

Modus Operandi

Setidaknya penulis melihat ada beberapa modus operandi korupsi APBD yang dilakukan oleh pejabat daerah yaitu, pertama manipulasi sisa anggaran. Biasanya pelaporan ang­ga­ran terjadi sebelum tanggal 18 De­sem­ber, untuk mensiasati kelebihan ang­ga­ran agar tidak dikembalikan lagi maka pejabat daerah memindahkan kelebihan anggaran tersebut ke re­ke­ning pribadi bendaharawan atau re­ke­ning lainnya. Modus seperti ini terjadi di seluruh provinsi di Indonesia seba­gai­mana diungkapkan Wakil PPATK yang sudah mengamati sejak 2011 perilaku para pejabat daerah. Artinya dalam pengelolaan APBD seluruh provinsi di Indonesia me­la­kukan praktik korupsi. Dapat di­ba­yang­kan jika seluruh alokasi APBD di­se­luruh Indonesia diusut maka kepala daerah akan berkumpul dalam rumah pro­deo.   

Kedua manipulasi anggaran. Da­lam penyusunan anggaran sengaja di glem­bu­ngkan atau diperbanyak mata ang­ga­ran agar APBD menjadi gemuk se­hingga potensi untuk dikorupsi se­ma­kin banyak. Ada beberapa pos anggaran yang sebenarnya tidak terlalu penting atau sengaja dibuat penting sehingga bisa dianggarkan dalam APBD atau dibuat mata anggaran baru. Disamping itu manipulasi anggaran dapat berupa tambahan penghasilan atau penunjang di luar ketentuan yang berlaku. Hal ini sesuai dengan hasil audit Badan Pe­meriksa Keuangan (BPK) semester 1 Ta­hun 2009, terdapat 80 daerah yang menghasilkan kerugian negara senilai Rp 117 miliar karena penambahan mata anggaran yang tidak penting.

Ketiga penerimaan fiktif. Dalam pelaksanaan APBD para pejabat daerah melakukan penerimaan dan pelaporan fiktif. Seperti pembuatan yayasan fiktif penerima dana APBD, padahal dana tersebut diserap ke kantong pribadi pejabat yang bersangkutan.

Keempat manipulasi bukti per­ja­lanan dinas. Perjalanan dinas dibuat sebanyak dan selama mungkin tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. contoh pejabat daerah yang berangkat sebanyak 5 orang selama 2 hari. Akan tetapi dalam pelaporannya dibuat se­ba­nyak 10 orang selama 5 hari. Praktik seperti ini di duga banyak dilakukan oleh pejabat daerah untuk menambah pundi keuangannya.

Kelima turut serta dalam proyek pemerintah. Jual beli kebijakan atau pengesahan APBD berujung pada politik transaksional pada pengadaan barang dan jasa (proyek pemerintah) dengan melibatkan pejabat daerah. Alokasi dana yang tidak sesuai dengan jumlah yang dicairkan begitu juga proses suap dalam menjeblosan serta persentase fee jika proyek pengadaan barang dan jasa jebol. Alhasil dana bu­kannya terserap untuk pem­bangunan tapi diserap oleh oknum-oknum di daerah.

Bersih-bersih

Temuan PPATK terkait korupsi APBD ini ditanggapi pesimis oleh beberapa kalangan baik itu aparat penegak hukum maupun pejabat dae­rah terkait validitas data yang di gunakan oleh PPATK. Penulis menilai tindakan over active ini terlalu ber­le­bihan, seharusnya pihak terkait ber­be­nah dan bersih-bersih diri serta instansi disekitarnya. Penulis melihat selama ini PPATK hadir sebagai lembaga pe­ngon­trol transaksi keuangan yang memiliki data akurat. Pada dasarnya semua transaksi keuangan terekam secara elektronik, sehingga PPATK tahu dan punya data akurat tentang berbagai penyimpangan keuangan di tubuh birokrasi atau rekening lainnya.

Begitu juga aparatur penegak hu­kum di daerah (jaksa, polisi dan hakim) juga serius menyikapi dan memandang lebih objektif permasalahan ini, se­hing­ga penegakan hukum dapat dijalankan  tanpa ada tebang pilih dan pandang bulu. Walaupun kita disuguhkan oleh berita miring terhadap beberapa aparat penegak hukum yang terjaring kasus korupsi. Sebut saja hakim tipikor semarang yang tertangkap KPK, Jaksa Urip dan Sirus Sinaga serta kasus korupsi Simulator SIM yang me­libat­kan perwira polisi. Akan tetapi kita harus optimis, bahwa masih ada ke­sem­patan untuk bertaubat dan me­ne­gakan hukum jika aparat penegak hukum cepat sadar bahwa korupsi itu adalah busuk dan dapat meng­ha­n­cur­kan bangsa. Begitu juga para pe­ngam­bil kebijakan (penguasa dan elite po­litik) serta masyarakat untuk me­ra­pat­kan barisan melawan penyakit “korupsi” ini. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar