Selasa, 16 Oktober 2012

Menyoal Revisi UU MK*

Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand

Sudah hampir delapan (8) tahun sejak berdirinya, MK telah menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan (justisiabellen).
Keputusan-keputusan MK tidak hanya menjadi perhatian publik tetapi juga akademisi dan peneliti hukum memberikan apresiasi karena Putusan MK yang tidak hanya berdasarkan pada hukum positif saja tapi MK menyelami lebih dalam lagi keadilan yang ada dalam masyarakat.

Banyak kejutan-kejutan lain dalam konsep berhukum Indonesia melalui putusan-putusan MK yang membuat publik berpikir masih terdapat harapan dalam memperjuangkan keadilan. Pada kenyataannya, MK tidak hanya berani dalam memutus fakta-fakta hukum yang ada, namun lebih jauh dari itu MK juga melakukan pembenahan yang berani dalam bentuk-bentuk putusannya.

Disetujuinya revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) di Pleno DPR mengundang kiritik dan kecaman terhadap legislator di Senayan. Revisi yang dilakukan DPR bertujuan untuk menguatkan keberadaan MK sebagai Lembaga negara yang menjaga dan menafsifkan konstitusi (the Guardian and Interpreter of constitution) justru sebaliknya.

Pelemahan MK
Ada beberapa poin dalam revisi UU MK yang menggelitik para pencari keadilan bahwa terdapat upaya pelemahan MK.
Pertama dalam revisi UU MK tidak diperkenankannya MK memutus perkara yang melebihi dari permohonan pemohon atau yang bersifat Ultra Petita. Persoalan ultra petita menjadi pembicaraan hangat. Selama ini MK sudah ada mengeluarkan beberapa putusan yang bersifat ultra petita.
Putusan Ultra petita lahir karena pasal yang dimohonkan oleh pemohon dalam judicial review berhubungan dengan pasal-pasal lain yang bersifat pokok. Walupun pemohon tidak memohonkan pasal yang terkait dengan pasal yang dimohonkannya. Artinya MK tidak diperkenankan memutus lebih dari yang dimohonkan pemohon. Legislator memandang Ultra petita ini sangat berbahaya dan melebihi kewenangan MK karena melebihi atau tidak sesuai dengan apa yang di mohonkan. DPR memandang bahwa hakim konstitusi hanya memutus perkara sesuai dengan apa yang dimohonkan. MK dijadikan sebagai corongnya UU (bouche de la loi) semata bukan sebagai pejuang keadilan bukan sebagai (Bouche de la justice). Padahal seorang hakim Konstitusi tidak hanya memutus berdasarkan hukum yang tertulis saja tetapi harus menyelami hukum lebih dalam lagi dan berfikir secara progresif dalam memutus suatu perkara.

Kedua revisi UU MK juga mengakomodir persoalaan pengawasan hakim MK oleh Majelis Kohormatan Hakim (MKH). Dalam MKH disalipkan DPR sebagai salah satu komponen untuk mengawasi hakim konstitusi. Hujanan kritik terhadap DPR pun semakin tajam karena masuknya DPR dalam MKH menandakan DPR sudah lari dari ranah dan fungsi legislasi dalam sistim ketatanegaraan. DPR terlalu jauh masuk kedalan sendi-sendi dunia peradilan (yudikatif). Disamping itu DPR termasuk piahk yang berpekara di MK jika ada pengujian UU, sungguh aneh jika pihak yang berpekara menjadi pengawas hakim yang memutus perkara tersebut. Tentunya DPR akan melakukan intervensi atau gertakan terhadap MK dengan alasan kode etik sehingga melemahkan hakim MK dalam mencari keadilan. Ketakutan DPR ini karena MK cenderung membatalkan produk legislasi (UU) melalui judicial review sehingga untuk mengantisipasi sepak terjang MK, DPR melalui revisi ini berusaha untuk mengkebiri kewenangan MK.  

Ketiga MK dilarang melakukan penambahan norma dalam putusannya. Jika ada bunyi pasal dalam UU yang diuji inkonstitusional  maka MK tidak boleh membentuk norma baru atau membenahi pasal atau ayat yang berseberangan dengan konstitusi. Jika terjadi kekosongan hukum akibat pembatalan pasal yang di judicial review, MK tidak boleh mengisinya. Ini jelas jauh dari fungsi MK sebagai peradilan konstitusional (Constitutional Court) yang menjaga dan menafsirkan konstitusi. kosongan hukum dapat berakibat fatal jika dibiarkan dan tidak dibuat norma yang menagatur. Tentunya negara ini akan hancur jika tiap pasal yang diuji ke MK banyak yang dibatalkan dan tidak ada norma yang mengisi kekosongan hukum. Ini sudah lari dari semangat lahirnya MK.

Oleh karena itu sangat menarik untuk dibahas berkaitan dengan revisi UU MK agar mendapatkan solusi cerdas bagaimana format masa depan MK sebagai lembaga yang menjaga dan menafsir konstitusi (the guardian and interpreter of constitution). Jangan MK dijadikan area perpolitikan yang notabene sarat dengan kekuasaan dan keuangan saja. MK merupakan salah satu lembaga yang masih mendapat tempat di mata masyarakat. Ditengah bobroknya lembaga-lembaga negara lainnya MK hadir sebagai penyeimbangan dan perlindungan hak Konstitusional.

Sistem Hukum Amburadul
Bobroknya sistem hukum di Indonesia, diibaratkan orang sakit akibat merokok. Jika dianalogikan, orang sakit karena merokok justru tidak pernah mau mengakui jika sakitnya karena rokok. Analogi tersebut sebagai perumpamaan kepada institusi polisi, jaksa dan hakim yang tidak pernah mengakui institusinya salah. Setiap kali ada kasus, mereka selalu menunjuk itu ulah oknum. “Harusnya mereka mengakui supaya tidak mengulangi. Jangan seperti perokok yang tidak mau mengaku merokok,” (detiknews, 2010)

Serangan terhadap MK melalui produk legislasi ini sangat disayangkan dan sarat dengan politik pragmatis DPR. Wakil rakyat yang seharusnya mendengarkan aspirasi rakyat justru seperti musuh rakyat. Keterpurukan hukum ini membuat negara kita semakin jauh dari negara kesejahteraan (welfare state) karena tiga hal penting dalam sistem hukum yang dikemukan oleh Lawrence Friedman tidak berjalan dengan baik.
Pertama subtansi hukum. Revisi UU MK wujud dari kacaunya substansi (isi) hukum. Pengkebirian melalui norma yang dilakukan DPR menjadikan pencari keadilan semakin sulit untuk menemukan keadilan atau membuktikan kebenaran.

Kedua struktur hukum. Lemahnya penegakan hukum, korupsi di setiap lini kehidupan bangsa, mulai dari aparat penegak hukum, pejabat negara, dan PNS mengalami degradasi moral. Hukum hanya untaian kata dan tidak diaplikasikan sesuai dengan mestinya. Lembaga yudikatif (peradilan) dililit mafia peradilan, legislatif (DPR, DPD, DPRD) terlibat politik kotor, Eksekutif (Pemerintahan) tidak serius menjalankan pemerintahan dan banyak pejabat negara, kepala daerah yang terlilit kasus korupsi.

Ketiga budaya hukum (legal culture). Budaya taat hukum seakan jauh panggang dari api di negara kita. Adagium yang berkembang di masyakat “hukum dibuat untuk dilanggar” merupakan suatu pemikiran yang sesat. Budaya malu melanggar hukum seperti di Jepang seakan sulit ditemukan di Indonesia. Masyarakat, aparat penegak hukum, pejabat negara tidak malu melakukan perbuatan bejat (baca: asusila, korupsi, manipulasi, suap, gratifikasi dan perbuatan melawan hukum) padahal secara moral, etika dan hukum sudah melanggar. Ironis memang jika budaya taat hukum di Indonesia semakin memudar tentunya nilai-nilai hukum akan sulit diterapkan. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar