Selasa, 16 Oktober 2012

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT MELALUI SKEMA HUTAN DESA


Oleh :
Ilham Kurniawan Dartias 
(Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi)

PENDAHULUAN
Perubahan paradigma dalam hal pengelolaan hutan yang semula top-down menjadi bottom-up dan juga perubahan pola pendekatan konservatif menjadi partisipatif telah menjadi bentuk baru kebijakan pemerintah dalam konteks pengelolaan hutan. Ini tidak terlepas dari peralihan orde baru ke orde reformasi, yang kemudian ikut mempengaruhi politik hukum pemerintah terkait pengelolaan hutan, sebagai imbas dari buruknya konsep pengelolaan hutan di zaman orde baru .

Konsep partisipasi masyarakat sendiri sudah dimulai dengan munculnya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat oleh Perum Perhutani. Namun hal tersebut terbatas pada daerah areal kerja Perhutani yang pada umunya di Pulau Jawa. Kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat tersebut tidak terlepas dari meningkatnya laju deforestasi di indonesia setiap tahun. Banyak faktor yang memicu terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, diantaranya adalah kondisi sosial/kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan yang relatif masih rendah, masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan, konflik tenurial yangsering berujung pada penyerobotan lahan, serta tidak seimbangnya supply dan demand kayu yang berpengaruh terhadap perkembangan industri perkayuan nasional.[1]
Seiring perjalanan waktu, konsep Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat oleh Perhutani yang dijalankan oleh Perhutani sejak 2001 berdasarkan pada keputusan Dewan Pegawas No 136/Kpts/DIR/2001 mulai diadopsi kedalam beberapa bentuk, dengan munculnya istilah PSHBM, PDMH. Rekomendasi Lokakarya Nasional yang diselenggarakan oleh CIFOR (2002) mengungkapkan refleksi dari peserta lokakarya bahwa pengelolaan hutan yang berbasis kepada sektor perindustrian skala besar tidak berhasil baik.[2] Prinsip dasar pengelolaan hutan sepanjang tiga dasa warsa berbasis pada negara (State Based Forest Management –SBFM) terbukti telah menimbulkan berbagai krisis di bidang kehutanan yang akhirnya justeru mengancam kelestarian sumberdaya hutan.[3] Hal tersebut justru memarjinalkan masyarakat dan mendorong munculnya perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang lebih menitik beratkan pada paradigma pengelolaan hutan oleh masyarakat. Prinsip dasar tersebut seringkali disebut dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat  atau biasa disebut sebagai Civil Based Forest Management (CBFM).[4]
Salah satu tujuan CBFM adalah untuk mendorong tumbuhnya pembangunan hutan yang lestari serta terwujudnya kesejahteraan masyarakat desa sekitar hutan merupakan sasaran yang dicapai secara bersama-sama dengan Mengolah lahan beserta unsur lingkungan hayati dan nir-hayati lainnya bertujuan menjaga eksistensi dan meningkatkan taraf kehidupan pribadi, keluarga dan komunitasnya. Upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat seperti demikian disebut sebagai memberdayakan masyarakat.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat tersebut bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai tujuan. Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat untuk membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan (Kartasasmita G.,1995). Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah makin bertambah lemah oleh karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi dalam hal ini dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Dengan dibukanya ruang bagi pemberdayaan masyarakat dalam mengelola kehutanan sebagaimana sinyalemen UU Kehutanan khususnya pada penjelasan pasal 5 UU 41/1999 tentang Kehutanan, hutan desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak  yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan desa. Lebih lanjut PP No. 6 Tahun 2007 menjabarkan peluang pemamfaatan Sumber daya hutan oleh masyarakat pada Pasal 83 ayat (1) mengatakan:
“Untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, dilakukan pemberdayaan masyarakat setempat, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya”
Pada PP tersebut juga diatur tentang bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat setempat tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 84: 
Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 ayat (1) dapat dilakukan melalui :
a. hutan desa;
b. hutan kemasyarakatan; atau
c. kemitraan.
Berikut akan dijelaskan proses pengelolaan Hutan Desa sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku:

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT MELALUI SKEMA HUTAN DESA

Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak.[5] Dalam konteks Hak Menguasai Negara (HMN), negara berhak untuk menentukan peruntukan dan pemberian izin atas pengelolaan SDA termasuk juga hutan. Dalam konsep Social forestry  yang mengusung pola pengelolaan hutan yang partisipatif, pemerintah berupaya untuk mengakomodasi keterlibatan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan. Sehingga terdapat beberapa kebijakan pemerintah serta prosedur yang harus dilalui dalam penetapan areal kerja Hutan Desa.

Areal kerja Hutan Desa yang terletak di wilayah Desa merupakan Hutan negara yang berada diwilayah desa, disebut hutan negara karena desa didefinisakan sebagai kesatuan masyarakat hukum.[6] Dalam konsep hak atas tanah, tidak terdapat suatu apapun hak-hak yang dimiliki oleh suatu kesatuan masyarakat hukum. Hal ini disebabkan, dalam hukum positif menurut azaz legalitas (kepastian hukum) perlu dilakukan suatu bentuk pengukuhan dan pembuktian sehingga suatu individu atau kelompok dapat dijadikan sebagai subjek hukum agar dapat melakukan perbuatan hukum.[7]   

Hutan Desa yang dimaksud dapat diberikan kepada hutan lindung dan hutan produksi.[8] Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan desa dilakukan dengan memberikan hak pengelolaan kepada lembaga desa, meliputi:[9]
a)     Kegiatan tata areal
b)    Penyusunan rencana pengelolaan areal
c)     Pemanfaatan hutan serta rehabilitasi
d)    Perlindungan hutan desa.
Pemanfaatan hutan desa  di Hutan Lindung dan Hutan Produksi antara lain:[10]
a.      Hutan Lindung ; meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayu.
b.      Hutan Produksi ; meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
1.     Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Dan Hak Pengelolaan Hutan Desa.
A.     Tata Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa
a.       Kepala Desa mengajukan usulan Hutan Desa kepada Bupati berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan menurut Pasal 4 ayat (2) tentang Hutan Desa atas rekomendasi KPH dan kepala dinas yang berkaitan dengan kehutanan.
b.      Dengan adanya Permenhut nomor P.53/Menhut-II/ 2011 Tentang perubahan Kedua Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, yang juga dengan sendirinya menghapus berlakunya Pasal 6 Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2010 Tentang Perubahan Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, sehingga proses tata cara permohonan yang harus dilalui pada Pasal 6, menjadi:
1)     UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja hutan desa dan memfasilitasi pembentukan lembaga desa, untuk membuat permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD) kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
2)     Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan tersebut, masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan desa kepada Bupati/Walikota.
3)     Permohonan diajukan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota , dengan melampirkan :
a.       Sketsa lokasi areal yang dimohon;
b.      Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
c.       Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
4)     Berdasarkan permohonan masyarakat setempat dan atau hasil penentuan calon areal kerja hutan desa, maka Bupati/Walikota mengajukan usulan penetapan areal kerja hutan desa kepada Menteri.
5)     Usulan Bupati/Walikota dilengkapi dengan :
a.       Peta digital lokasi calon areal kerja hutan kemasyarakatan dengan skala paling kecil 1:50.000;
b.      Deskripsi wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial ekonomi, dan potensi kawasan;
c.       Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
d.      Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
6)     Dalam proses pengusulan areal kerja hutan desa, Gubernur atau Bupati/Walikota memfasilitasi pembentukan dan penguatan lembaga desa setempat.
c.       Dengan terdapatnya perubahan pada Pasal 7 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008 oleh P.14/Menhut-II/2010, maka landasan hukum dalam melaksanakan perintah pasal 7 tersebut tidak lagi mengacu pada Pasal 7 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010, sebab ketentuan pasal 7 dihapus dengan sendirinya. Bupati berdasarkan hal tersebut mengajukan usulan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa kepada Menteri, dengan proses:
1)     Terhadap usulan Bupati/Walikota tersebut, dilakukan verifikasi oleh Tim Verifikasi yang dibentuk oleh Menteri.
2)     Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait lingkup Kementerian Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
3)     Verifikasi dilakukan dengan melakukan pencermatan terhadap hal-hal, antara lain kepastian bebas hak/ izin, serta kesesuaian dengan fungsi kawasan.
d.      Setelah diverifikasi, Menhut menerima keseluruhan, menerima sebagian atau menolak usulan penetapan areal kerja hutan desa yang diusulkan oleh Bupati. Hal ini dapat dilihat dalam bunyi pasal 8 ayat (1) Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010, selanjutnya diperjelas pada ayat (2) sampai ayat (4) dengan proses:
1)     Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang ditolak, Tim Verifikasi atas nama Menteri menyampaikan pemberitahuan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur setempat.
2)     Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang diterima, Menteri menetapkan areal kerja hutan desa.
3)     Penetapan areal kerja hutan desa disampaikan kepada Gubernur dan Bupati/Walikota setempat.
e.       Terhadap usulan penetapan areal kerja Hutan Desa yang diterima maka Kemenhut mengeluarkan SK Menhut tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa. Selanjutnya Bupati melakukan sosialisasi kepada desa-desa yang telah ditetapkan sebagai hutan desa sebagaimana ditegaskan pasal 12 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010  yaitu:.
1)     Terhadap areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan oleh Menteri, Bupati/Walikota mensosialisasikan kepada Kepala Desa yang wilayah administrasinya ditetapkan sebagai areal kerja Hutan Desa.
2)     Kepala Desa mensosialisasikan kepada masyarakat desa tentang penetapan areal kerja hutan desa.
3)     Berdasarkan sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Desa membentuk Lembaga Desa yang mengelola hutan desa yang dituangkan dalam Peraturan Desa.
B.     Tata Cara Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa
a.       Pengaturan mengenai persyaratan yang harus dimuat dalam pengajuan permohonan hak pengelolaan hutan desa oleh lembaga sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 13 ayat (1) dan (2) Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, yaitu:
1)     Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga Desa        kepada Gubernur melalui Bupati/walikota dengan melampirkan persyaratan:  peraturan desa tentang penetapan lembaga desa;
a.      Surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah administrasi desa yang bersangkutan yang diketahui camat;
b.      Luas areal kerja yang dimohon
c.       Rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa.
2)     Bupati/Walikota meneruskan permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa kepada Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa Lembaga Desa telah:
a. Mendapatkan fasilitasi;
b. Siap mengelola hutan desa; dan
c. Ditetapkan areal kerja oleh Menteri.
Dalam hal telah mendapatkan fasilitasi. Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten wajib untuk memberikan fasilitasi terhadap lembaga desa dalam hal pengelolaan hutan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (3).
b.      Pada Pasal 14 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, diatur mengenai proses verifikasi yang menurut ayat (5) Pasal 14 tersebut diatur dalam peraturan gubernur tentang pedoman verifikasi. Setelah mengajukan permohonan kepada Gubernur melalui Bupati, verifikasi yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2) paling sedikit dilakukan terhadap: keabsahana lembaga desa, pernyataan kepala desa, kesesuaian areal kerja dan kesesuaian rencana. Hasil verifikasi yang tidak memenuhi syarat, gubernur akan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon.
c.       Setelah hak pengelolaan Hutan Desa diberikan dalam bentuk Surat keputusan yang berupa Surat keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa , Gubernur dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada bupati/ Walikota.[11]

2.     Pengelolaan Hutan Desa
Setelah memperoleh Surat keputusan pemberian hak pengelolaan hutan desa,  lembaga desa  atau kelompok pengelolaan hutan desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. beberapa kewajiban tersebut dinyatakan dalam Pasal 34 Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008 tentang kewajiban  pemegang hak pengelolaan hutan desa, yaitu:
a.      melaksanakan penataan batas hak pengelolaan hutan desa
b.      menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama jangka waktu berlakunya hak pengelolaan hutan desa
c.       melakukan perlindungan hutan
d.      melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa
e.      melaksanakan pengkayaan tanaman areal kerja hutan desa
izin Pengelolaan hutan desa yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan hutan desa ialah selama 35 tahun yang kemudian dituangkan dalam Rencana Kerja Hutan Desa dan izin pengelolaan hutan desa selama 35 tahun tersebut dapat dilakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali.
Dalam melaksanakan pengelolaan Hutan Desa, lembaga desa sebagai pemegang hak pengelolaan hutan desa, sebagaimana yang ditegaskan pasal 34 tersebut bahwa lembaga desa memiliki kewajiban untuk menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa. Rencana kerja hak pengelolaan hutan desa dimaksudkan sebagai acuan bagi pemegang hak dalam pengelolaan hutan desa dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan serta menjadi alat pengendalian dalam pengambilan kebijakan oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Rencana kerja hak pengelola hutan desa tersebut terdiri dari:[12]
a)     Rencana Kerja Hutan Desa
b)     Rencana Kerja Tahunan Hutan Desa
a)    Rencana Kerja Hutan Desa
Rencana Kerja Hutan Desa merupakan rencana pengelolaan hutan desa selama jangka waktu pemberian hak 35 tahun yang menjamin berlangsungnya kelestarian fungsi hutan secara ekonomi, ekologi, sosial dan budaya setempat.[13] Rencana Kerja Hutan Desa atau disingkat RKHD disusun oleh lembaga desa secara musyawarah selanjutnya disahkan oleh Gubernur dan Gubernur dapat mendelegasikan kepada Kepala Dinas Provinsi yang mengurus persoalan dibidang kehutanan. Setelah RKHD disahkan oleh Gubernur selanjutnya lembaga desa menyampaikan RKHD tersebut kepada kepada menteri kehutanan. Ada beberapa aspek yang termasuk didalam RKHD, yaitu:[14]
a.       Kelola kawasan
b.      Kelola kelembagaan
c.       Kelola usaha
d.      Kelola sumberdaya manusia.
b)    Rencana Tahunan Hutan Desa
Rencana Tahunan Hutan Desa atau disingkat dengan RTHD merupakan penjabaran lebih rinci dari RKHD yang memuat kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dan target-target yang akan dicapai dalam jangka waktu 1 (satu) tahun ke depan.[15] RTHD disahkan oleh Bupati/Walikota dan dapat didelegasikan kepada Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di Kabupaten/kota. Selanjutnya Lembaga Desa menyampaikan RTHD yang telah disahkan Gubernur kepada Menteri dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
3.     Pemanfaatan Hutan Oleh Kelompok Pengelola Hutan Desa 
1)    Pemanfaatan Kawasan
a)    Pemanfaatan kawasan di Hutan Lindung
Pemanfaatan kawasan di hutan lindung menurut  Pasal 24 PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, yang juga dijabarkan dalam Pasal 24 Permenhut No. P.49/menhut-II/ 2008 Tentang Hutan Desa, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, kegiatan usaha yang  dapat dilakukan pada hutan lindung ialah:
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa liar;
f. rehabilitasi satwa; atau budidaya hijauan makanan ternak.
Selanjutnya pada pasal 24 ayat (2) memuat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam kegiatan usaha pemanfaatan kawasan di hutan lindung, yaitu:
a. tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. pengolahan tanah terbatas;
c. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
d. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau
e. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
Sebagaimana perintah Pasal 24 ayat (3) yang menyatakan bahwa kegiatana usaha pemanfaatan kawasan dihutan lindung selanjutnya diatur dalam peraturan menteri, namun dalam rentang waktu antara tahun 2007-2011 tidak diketemukan peraturan menteri kehutanan terkait dengan perintah pasal tersebut kecuali pada Permenhut tentang Hutan Desa yang menyatakan apa yang telah disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
b)   Pemanfaatan Kawasan di Hutan Produksi
Menurut Pasal 32 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 27 Permenhut No. P.49/menhut-II/ 2008 Tentang Hutan Desa, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, kegiatan usaha yang  dapat dilakukan pada Hutan Produksi ialah:
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa; dan
f. budidaya sarang burung walet
sebagaimana pada ayat (2) ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam Pemanfaatan kawasan di hutan produksi, yaitu:
a. luas areal pengolahan dibatasi;
b. tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
c. tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan
d. tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam
sama halnya dengan ketentuan mengenai pemanfaatan kawasan di hutan produksi, selama kurun waktu yang sebagaimana dinyatakan sebelumnya tidak diketemukan pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana tata cara permohonan serta hal-hal lain menyangkut pemanfaatan kawasan.
2)    Pemanfaatan Jasa Lingkungan
a)    Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Hutan Lindung
Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan dalam Pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung sebagaimana bunyi Pasal 25 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007, hal tersebut juga diamini dalam Pasal yang sama pada Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008, yang terdiri dari:
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; atau
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pasal 25 ayat (2) mengatur beberapa ketentuan yang harus dipatuhi dalam hal pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung, yaitu:
a. mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. mengubah bentang alam; dan
c. merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan.
b)    Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Hutan produksi
Menurut Pasal 33 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007   kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan jasa lingkungan di Hutan Produksi adalah:
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan
f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Ketentuan dalam pemanfaatan Jasa lingkungan pada baik itu pada Hutan Produksi sebagaimana dinyatakan pada ayat (2) pada umumnya memiliki kesamaan dengan ketentuan dalam pemanfaatan kawasan di Hutan Produksi.
3)    Usaha pemanfaatan Hasil hutan Kayu
Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan pada Hutan Produksi setelah mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Izin pemanfaatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan atau biasa disingkat IUPHHK dapat diberikan pada hutan alam maupun hutan tanaman.  Adapun beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh lembaga pengelola hutan desa untuk mengajukan permohonan IUPHHK, yaitu:[16]
a.       Foto copy peraturan desa tentang penetapan lembaga desa;
b.      Fotocopy Surat Keputusan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa yang terkait;
c.       Fotocopy Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa;
d.      Rencana Kerja Hutan Desa yang sudah disahkan; dan
e.       Akta penetapan Lembaga Desa sebagai Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Terhadap persyaratan pada huruf d mengenai pengajuan akta penetapan lembaga desa sebagai badan usaha milik desa, hal tersebut sudah merupakan syarat yang umum dalam permohonan IUPHHK, baik itu pada Hutan Alam maupun pada Hutan Tanaman, bahwa pengajuan permohonan IUPHHK hanya dapat dilakukan oleh: Perorangan, Koperasi, Badan Usaha Milik negara dan Badan Usaha Milik Swasta. Hal ini sesuai dengan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri  Kehutanan Nomor 20/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan produksi dan Pasal 4 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 19/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi.
Persyaratan yang diajukan dalam permohonan IUPHHK di Hutan desa, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan persyaratan yang diajukan dalam permohonan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman, namun sebagai tambahan, bahwa didalam persyaratan yang dimuat pada permohonan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman, dicantumkan kewajiban kepemilikan NPWP (nomor pokok wajib pajak).
Terkait dengan adanya rekomendasi gubernur dalam tata cara permohonan IUPHHK baik itu pada Hutan alam maupun hutan tanaman, hal tersebut merupakan bagian dari penerapan asas good governace, hal tersebut didasarkan pada hasil kajian analisis fungsi kawasan hutan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala BalaiPemantapan Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan. Analisis fungsi kawasan itu sendiri, menurut Pasal 3 Ayat (3) peraturan menteri kehutanan nomor 63/Menhut-II/2008 tentang tata cara pemberian rekomendasi Gubernur dalam rangka permohonan atau perpanjangan IUPHHK Hutan alam atau hutan tanaman, adalah: berisi fungsi kawasan hutan sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi dan data lain yang tersedia antara lain tata batas, uraian penutupan vegetasi, penggunaan, pemanfaatan,perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yang dituangkan dalam data numerik dan spasial.
4)    Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, hanya dapat dilakukan pada hutan produksi, yaitu pada hutan alam dan hutan tanaman. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, adalah;
1.      Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan alam, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 29 P.49/menhut-II/2008 tentang Hutan Desa ialah:
a.       rotan, sagu, nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
b.      getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
2.      Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan Tanaman, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 30 P.49/menhut-II/2008 tentang Hutan Desa.[17]

MASUKAN TERKAIT HUTAN LINDUNG BUJANG RABA
Terkait dengan Hutan Desa yang diusulkan di desa Senamat Ulu terdapat Kawasan Hutan Lindung, seluas 13. 529 Ha berdasarkan SK Menhut Nomor 739/Menhut-II/2009 tertanggal 19 Oktober 2009. Terdapat benturan masyarakat dengan hutan lindung ini biasanya berputar pada masalah sesap mereka yang berada dalam kawasan hutan. Ketidak jelasan batas dan fungsi hutan lindung cukup menjadi persoalan di tengah masyarakat  dan ini perlu ditindak lanjuti lebih lanjut dalam bentuk penjelasan batas dan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan HL sebagai pelindung ekossitim yang ada. Oleh karena itu untuk menimbulkan polemik dalam masyarakat KKI Warsi mendampingi masyarakat untuk mengajukan usulan pengelolaan HL ini melalui skema Hutan Desa. Jika Sk Menhut tentang hutan lindung hanya melalui SK penunjukan kedepannya agar dilanjukan pada proses pengukuhan kawasan sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan 15 UU Kehutanan. Begitu juga penentuan kawasan hutan pasca putusan MK NOMOR 45/PUU-IX/2011 terkait pengujian pasal 1 ayat (3) UU Kehutanan yang dibacakan pada 21 Februari 2012.



[1]  Ismatul hakim, Dkk,  Orientasi Makro Kebijakan Social Forestry Di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Bogor, 2010, Hal 1.
[2]  Ibid, hal 2.
[3] R. Oszaer, Pembangunan Hutan Berbasis Ekosistim Dan Masyarakat,  Pelatihan Penanaman Hutan di Maluku & Maluku Utara – Ambon, 12 – 13 Desember
[4] Ibid.
[5]  Lihat ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Permenhut Nomor: P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa
[6] Sebagaimana definisi desa menurut pasal 1 angka 6  permenhut nomor. P.49/menhut-II/2008 tentang hutan desa yang menyatakan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[7]  Kita dapat melihat pada  definis hutan negara pada UU No. 41 tahun 1999 sebagai hutan yang berada diatas tanah yang tidak dibebani hak tas tanah.
[8]  Lihat Pasal 85 PP No.6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan.
[9]  Ibid, Pasal 87 ayat (2).
[10]  Ibid, ayat (3).
[11] Lihat Pasal 15 Permenhut Nomor: P.49/Menhut-II/2008 Tentang Hutan Desa
[12] Ibid, Pasal 35 ayat (2)
[13] Ibid, Pasal 37
[14] Ibid, Pasal 38
[15] Ibid, Pasal 41
[16] Ibid, Pasal 19
[17]  Kegiatan usaha yang dapat dilakukan pada hutan tanaman, merupakan kegiatan usaha yang juga dapat dilakukan pada hutan alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar