Oleh :
Ilham Kurniawan Dartias
(Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi)
PENDAHULUAN
Perubahan
paradigma dalam hal pengelolaan hutan yang semula top-down menjadi bottom-up dan
juga perubahan pola pendekatan konservatif menjadi partisipatif telah menjadi
bentuk baru kebijakan pemerintah dalam konteks pengelolaan hutan. Ini tidak
terlepas dari peralihan orde baru ke orde reformasi, yang kemudian ikut
mempengaruhi politik hukum pemerintah terkait pengelolaan hutan, sebagai imbas
dari buruknya konsep pengelolaan hutan di zaman orde baru .
Konsep
partisipasi masyarakat sendiri sudah dimulai dengan munculnya Pengelolaan Hutan
Bersama Masyarakat oleh Perum Perhutani. Namun hal tersebut terbatas pada
daerah areal kerja Perhutani yang pada umunya di Pulau Jawa. Kebijakan
pengelolaan hutan bersama masyarakat tersebut tidak terlepas dari meningkatnya
laju deforestasi di indonesia setiap tahun. Banyak faktor yang memicu terjadinya
deforestasi dan degradasi hutan, diantaranya adalah kondisi
sosial/kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan yang relatif masih
rendah, masih terbatasnya akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya
hutan, konflik tenurial yangsering berujung pada penyerobotan lahan, serta
tidak seimbangnya supply dan demand kayu yang berpengaruh
terhadap perkembangan industri perkayuan nasional.[1]
Seiring
perjalanan waktu, konsep Pengelolaan Hutan Bersama masyarakat oleh Perhutani yang
dijalankan oleh Perhutani sejak 2001 berdasarkan pada keputusan Dewan Pegawas
No 136/Kpts/DIR/2001
mulai diadopsi kedalam beberapa bentuk, dengan munculnya
istilah PSHBM, PDMH. Rekomendasi
Lokakarya Nasional yang diselenggarakan oleh CIFOR (2002) mengungkapkan
refleksi dari peserta lokakarya bahwa pengelolaan hutan yang berbasis kepada
sektor perindustrian skala besar tidak berhasil baik.[2]
Prinsip dasar pengelolaan hutan sepanjang tiga dasa warsa
berbasis pada negara (State Based Forest Management –SBFM) terbukti
telah menimbulkan berbagai krisis di bidang kehutanan yang akhirnya justeru
mengancam kelestarian sumberdaya hutan.[3]
Hal tersebut justru memarjinalkan masyarakat dan mendorong munculnya perubahan
paradigma pembangunan kehutanan yang lebih menitik beratkan pada paradigma
pengelolaan hutan oleh masyarakat. Prinsip dasar tersebut seringkali disebut
dengan pengelolaan hutan berbasis masyarakat
atau biasa disebut sebagai Civil
Based Forest Management (CBFM).[4]
Salah
satu tujuan CBFM adalah untuk mendorong tumbuhnya pembangunan hutan yang lestari serta terwujudnya kesejahteraan
masyarakat desa sekitar hutan merupakan sasaran yang dicapai secara
bersama-sama dengan Mengolah lahan beserta unsur lingkungan hayati dan
nir-hayati lainnya bertujuan menjaga eksistensi dan meningkatkan taraf kehidupan
pribadi, keluarga dan komunitasnya. Upaya untuk memampukan dan memandirikan
masyarakat seperti demikian disebut sebagai memberdayakan masyarakat.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur-unsur yang memungkinkan
masyarakat tersebut bertahan (survive) dan dalam pengertian dinamis
mengembangkan diri dan mencapai tujuan. Keberdayaan dalam konteks masyarakat
adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat untuk membangun
keberdayaan masyarakat yang bersangkutan (Kartasasmita G.,1995). Dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah makin bertambah lemah oleh karena
kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Melindungi dalam hal ini dilihat
sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta
eksploitasi yang kuat atas yang lemah.
Dengan dibukanya ruang bagi pemberdayaan masyarakat dalam mengelola kehutanan
sebagaimana sinyalemen UU Kehutanan khususnya pada
penjelasan pasal 5 UU 41/1999 tentang Kehutanan,
hutan desa adalah hutan negara yang dimanfaatkan oleh desa untuk kesejahteraan
masyarakat desa. Selanjutnya dalam PP 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang
belum dibebani izin atau hak yang
dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan desa. Lebih lanjut PP
No. 6 Tahun 2007 menjabarkan peluang pemamfaatan Sumber daya hutan oleh
masyarakat pada Pasal 83 ayat (1) mengatakan:
“Untuk
mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, dilakukan
pemberdayaan masyarakat setempat, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian
akses dalam rangka peningkatan kesejahteraannya”
Pada
PP tersebut juga diatur tentang bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat setempat
tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 84:
Pemberdayaan masyarakat setempat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 83 ayat (1) dapat dilakukan melalui :
a. hutan desa;
b. hutan kemasyarakatan; atau
c. kemitraan.
Berikut akan dijelaskan proses pengelolaan Hutan Desa sesuai
dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku:
PENGELOLAAN
HUTAN BERBASIS MASYARAKAT MELALUI SKEMA HUTAN DESA
Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan
dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani izin/hak.[5]
Dalam konteks Hak Menguasai Negara (HMN), negara berhak untuk menentukan peruntukan
dan pemberian izin atas pengelolaan SDA termasuk juga hutan. Dalam konsep Social forestry yang mengusung pola pengelolaan hutan
yang partisipatif, pemerintah berupaya untuk mengakomodasi keterlibatan
masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan. Sehingga terdapat beberapa
kebijakan pemerintah serta prosedur yang harus dilalui dalam penetapan areal
kerja Hutan Desa.
Areal kerja Hutan Desa yang terletak di wilayah Desa
merupakan Hutan negara yang berada diwilayah desa, disebut hutan negara karena
desa didefinisakan sebagai kesatuan masyarakat hukum.[6]
Dalam konsep hak atas tanah, tidak terdapat suatu apapun hak-hak yang dimiliki
oleh suatu kesatuan masyarakat hukum. Hal ini disebabkan, dalam hukum positif
menurut azaz legalitas (kepastian hukum) perlu dilakukan suatu bentuk
pengukuhan dan pembuktian sehingga suatu individu atau kelompok dapat dijadikan
sebagai subjek hukum agar dapat melakukan perbuatan hukum.[7]
Hutan Desa yang dimaksud dapat diberikan kepada hutan
lindung dan hutan produksi.[8]
Pemberdayaan masyarakat setempat melalui hutan desa dilakukan dengan memberikan
hak pengelolaan kepada lembaga desa, meliputi:[9]
a)
Kegiatan tata areal
b)
Penyusunan rencana
pengelolaan areal
c)
Pemanfaatan hutan serta
rehabilitasi
d)
Perlindungan hutan desa.
Pemanfaatan
hutan desa di Hutan Lindung dan Hutan
Produksi antara lain:[10]
a.
Hutan Lindung ; meliputi
kegiatan pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan
kayu.
b.
Hutan Produksi ; meliputi
kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
1.
Tata
Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Dan Hak Pengelolaan Hutan Desa.
A.
Tata
Cara Penetapan Areal Kerja Hutan Desa
a.
Kepala Desa
mengajukan usulan Hutan Desa kepada Bupati berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan menurut Pasal 4 ayat (2) tentang Hutan Desa atas rekomendasi KPH dan
kepala dinas yang berkaitan dengan kehutanan.
b.
Dengan adanya Permenhut nomor P.53/Menhut-II/ 2011 Tentang
perubahan Kedua Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, yang juga dengan
sendirinya menghapus berlakunya Pasal 6 Permenhut Nomor P.14/Menhut-II/2010
Tentang Perubahan Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, sehingga proses tata
cara permohonan yang harus dilalui pada Pasal 6, menjadi:
1)
UPT Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan
Sosial melakukan koordinasi dengan UPT Eselon I Kementerian Kehutanan terkait
dan Pemerintah Daerah untuk menentukan calon areal kerja hutan desa dan memfasilitasi
pembentukan lembaga desa, untuk membuat permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa
(HPHD) kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
2)
Pada areal lain di luar areal yang dicalonkan tersebut,
masyarakat setempat dapat mengajukan permohonan penetapan areal kerja hutan
desa kepada Bupati/Walikota.
3)
Permohonan diajukan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota
, dengan melampirkan :
a.
Sketsa lokasi areal yang dimohon;
b.
Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
c.
Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga
desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
4)
Berdasarkan permohonan masyarakat setempat dan atau hasil
penentuan calon areal kerja hutan desa, maka Bupati/Walikota mengajukan usulan
penetapan areal kerja hutan desa kepada Menteri.
5)
Usulan Bupati/Walikota dilengkapi dengan :
a.
Peta digital lokasi calon areal kerja hutan kemasyarakatan
dengan skala paling kecil 1:50.000;
b.
Deskripsi wilayah, antara lain keadaan fisik wilayah, sosial
ekonomi, dan potensi kawasan;
c.
Surat usulan dari Kepala Desa/Lurah; dan
d.
Nama-nama calon anggota lembaga desa atau struktur lembaga
desa jika sudah terbentuk yang diketahui oleh Camat dan Kepala Desa/Lurah.
6)
Dalam proses pengusulan areal kerja hutan desa, Gubernur
atau Bupati/Walikota memfasilitasi pembentukan dan penguatan lembaga desa
setempat.
c.
Dengan terdapatnya perubahan pada Pasal 7 Permenhut Nomor
P.49/Menhut-II/2008 oleh P.14/Menhut-II/2010, maka landasan hukum dalam
melaksanakan perintah pasal 7 tersebut tidak lagi mengacu pada Pasal 7
Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010, sebab ketentuan pasal 7 dihapus dengan
sendirinya. Bupati berdasarkan hal tersebut mengajukan usulan Penetapan Areal Kerja
Hutan Desa kepada Menteri, dengan proses:
1)
Terhadap usulan Bupati/Walikota tersebut, dilakukan
verifikasi oleh Tim Verifikasi yang dibentuk oleh Menteri.
2)
Tim verifikasi beranggotakan unsur-unsur eselon I terkait
lingkup Kementerian Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial.
3)
Verifikasi dilakukan dengan melakukan pencermatan terhadap
hal-hal, antara lain kepastian bebas hak/ izin, serta kesesuaian dengan fungsi
kawasan.
d.
Setelah
diverifikasi, Menhut menerima keseluruhan, menerima sebagian atau menolak
usulan penetapan areal kerja hutan desa yang diusulkan oleh Bupati. Hal ini
dapat dilihat dalam bunyi pasal 8 ayat (1)
Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2010, selanjutnya
diperjelas pada ayat (2) sampai ayat (4) dengan proses:
1)
Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang
ditolak, Tim Verifikasi atas nama Menteri menyampaikan pemberitahuan kepada
Bupati/Walikota dengan tembusan kepada Gubernur setempat.
2)
Terhadap usulan penetapan areal kerja hutan desa yang
diterima, Menteri menetapkan areal kerja hutan desa.
3)
Penetapan areal kerja hutan desa disampaikan kepada Gubernur
dan Bupati/Walikota setempat.
e.
Terhadap usulan
penetapan areal kerja Hutan Desa yang diterima maka Kemenhut mengeluarkan SK
Menhut tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa. Selanjutnya Bupati melakukan
sosialisasi kepada desa-desa yang telah ditetapkan sebagai hutan desa
sebagaimana ditegaskan pasal 12 Permenhut Nomor
P.49/Menhut-II/2010
yaitu:.
1)
Terhadap areal kerja hutan desa yang telah ditetapkan oleh
Menteri, Bupati/Walikota mensosialisasikan kepada Kepala Desa yang wilayah
administrasinya ditetapkan sebagai areal kerja Hutan Desa.
2)
Kepala Desa mensosialisasikan kepada masyarakat desa tentang
penetapan areal kerja hutan desa.
3)
Berdasarkan sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Desa membentuk Lembaga Desa yang mengelola hutan desa yang dituangkan dalam
Peraturan Desa.
B. Tata Cara Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa
a.
Pengaturan
mengenai persyaratan yang harus dimuat dalam pengajuan permohonan hak
pengelolaan hutan desa oleh lembaga sebagaimana yang dinyatakan pada Pasal 13
ayat (1) dan (2) Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, yaitu:
1)
Permohonan Hak Pengelolaan Hutan Desa diajukan oleh Lembaga
Desa kepada Gubernur melalui
Bupati/walikota dengan melampirkan persyaratan:
peraturan desa tentang penetapan lembaga desa;
a.
Surat pernyataan dari kepala desa yang menyatakan wilayah
administrasi desa yang bersangkutan yang diketahui camat;
b.
Luas areal kerja yang dimohon
c.
Rencana kegiatan dan bidang usaha lembaga desa.
2)
Bupati/Walikota meneruskan permohonan Hak
Pengelolaan Hutan Desa kepada Gubernur dengan melampirkan surat rekomendasi
yang menerangkan bahwa Lembaga Desa telah:
a. Mendapatkan fasilitasi;
b. Siap mengelola hutan desa; dan
c. Ditetapkan areal kerja oleh Menteri.
Dalam hal telah mendapatkan fasilitasi. Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten wajib untuk memberikan fasilitasi terhadap
lembaga desa dalam hal pengelolaan hutan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9
ayat (3).
b.
Pada Pasal 14
Permenhut Nomor P.49/Menhut-II/2008, diatur mengenai proses verifikasi yang
menurut ayat (5) Pasal 14 tersebut diatur dalam peraturan gubernur tentang
pedoman verifikasi. Setelah mengajukan permohonan kepada Gubernur melalui
Bupati, verifikasi yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2) paling
sedikit dilakukan terhadap: keabsahana lembaga desa, pernyataan kepala desa,
kesesuaian areal kerja dan kesesuaian rencana. Hasil verifikasi yang tidak
memenuhi syarat, gubernur akan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon.
c.
Setelah hak
pengelolaan Hutan Desa diberikan dalam bentuk Surat keputusan yang berupa Surat
keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa , Gubernur dapat melimpahkan
kewenangan tersebut kepada bupati/ Walikota.[11]
2.
Pengelolaan
Hutan Desa
Setelah
memperoleh Surat keputusan pemberian hak pengelolaan hutan desa, lembaga desa
atau kelompok pengelolaan hutan desa sebagai pemegang hak pengelolaan
hutan desa memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. beberapa
kewajiban tersebut dinyatakan dalam Pasal 34 Permenhut Nomor
P.49/Menhut-II/2008 tentang kewajiban
pemegang hak pengelolaan hutan desa, yaitu:
a.
melaksanakan penataan batas hak pengelolaan hutan desa
b.
menyusun rencana kerja hak pengelolaan hutan desa selama
jangka waktu berlakunya hak pengelolaan hutan desa
c.
melakukan perlindungan hutan
d.
melaksanakan rehabilitasi areal kerja hutan desa
e.
melaksanakan pengkayaan tanaman areal kerja hutan desa
izin
Pengelolaan hutan desa yang diberikan kepada pemegang hak pengelolaan hutan
desa ialah selama 35 tahun yang kemudian dituangkan dalam Rencana Kerja Hutan
Desa dan izin pengelolaan hutan desa selama 35 tahun tersebut dapat dilakukan
evaluasi setiap 5 tahun sekali.
Dalam
melaksanakan pengelolaan Hutan Desa, lembaga desa sebagai pemegang hak
pengelolaan hutan desa, sebagaimana yang ditegaskan pasal 34 tersebut bahwa
lembaga desa memiliki kewajiban untuk menyusun rencana kerja hak pengelolaan
hutan desa. Rencana kerja hak pengelolaan hutan desa dimaksudkan sebagai acuan
bagi pemegang hak dalam pengelolaan hutan desa dalam melaksanakan kegiatan
pengelolaan hutan serta menjadi alat pengendalian dalam pengambilan kebijakan
oleh pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Rencana
kerja hak pengelola hutan desa tersebut terdiri dari:[12]
a)
Rencana Kerja Hutan Desa
b)
Rencana Kerja Tahunan Hutan
Desa
a)
Rencana
Kerja Hutan Desa
Rencana Kerja Hutan Desa merupakan rencana pengelolaan hutan
desa selama jangka waktu pemberian hak 35 tahun yang menjamin berlangsungnya
kelestarian fungsi hutan secara ekonomi, ekologi, sosial dan budaya setempat.[13]
Rencana Kerja Hutan Desa atau disingkat RKHD disusun oleh lembaga desa secara
musyawarah selanjutnya disahkan oleh Gubernur dan Gubernur dapat mendelegasikan
kepada Kepala Dinas Provinsi yang mengurus persoalan dibidang kehutanan.
Setelah RKHD disahkan oleh Gubernur selanjutnya lembaga desa menyampaikan RKHD
tersebut kepada kepada menteri kehutanan. Ada beberapa aspek yang termasuk
didalam RKHD, yaitu:[14]
a.
Kelola kawasan
b.
Kelola kelembagaan
c.
Kelola usaha
d.
Kelola sumberdaya manusia.
b)
Rencana
Tahunan Hutan Desa
Rencana Tahunan Hutan Desa atau disingkat dengan RTHD
merupakan penjabaran lebih rinci dari RKHD yang memuat kegiatan-kegiatan yang
akan dilaksanakan dan target-target yang akan dicapai dalam jangka waktu 1
(satu) tahun ke depan.[15]
RTHD disahkan oleh Bupati/Walikota dan dapat didelegasikan kepada Dinas yang
diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang kehutanan di Kabupaten/kota. Selanjutnya
Lembaga Desa menyampaikan RTHD yang telah disahkan Gubernur kepada Menteri
dengan tembusan kepada Bupati/Walikota.
3.
Pemanfaatan
Hutan Oleh Kelompok Pengelola Hutan Desa
1) Pemanfaatan
Kawasan
a) Pemanfaatan kawasan di
Hutan Lindung
Pemanfaatan
kawasan di hutan lindung menurut Pasal
24 PP No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
yang juga dijabarkan dalam Pasal 24 Permenhut No. P.49/menhut-II/ 2008 Tentang
Hutan Desa, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, kegiatan usaha
yang dapat dilakukan pada hutan lindung
ialah:
a.
budidaya tanaman obat;
b.
budidaya tanaman hias;
c.
budidaya jamur;
d.
budidaya lebah;
e.
penangkaran satwa liar;
f.
rehabilitasi satwa; atau budidaya hijauan makanan ternak.
Selanjutnya pada pasal 24 ayat (2)
memuat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam kegiatan usaha
pemanfaatan kawasan di hutan lindung, yaitu:
a.
tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya;
b.
pengolahan tanah terbatas;
c.
tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
d.
tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan/atau
e.
tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
Sebagaimana
perintah Pasal 24 ayat (3) yang menyatakan bahwa kegiatana usaha pemanfaatan
kawasan dihutan lindung selanjutnya diatur dalam peraturan menteri, namun dalam
rentang waktu antara tahun 2007-2011 tidak diketemukan peraturan menteri
kehutanan terkait dengan perintah pasal tersebut kecuali pada Permenhut tentang
Hutan Desa yang menyatakan apa yang telah disebutkan dalam Pasal 24 ayat (1)
dan ayat (2)
b) Pemanfaatan
Kawasan di Hutan Produksi
Menurut Pasal 32 ayat (1) PP
No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 27 Permenhut No. P.49/menhut-II/ 2008
Tentang Hutan Desa, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan, kegiatan
usaha yang dapat dilakukan pada Hutan
Produksi ialah:
a. budidaya tanaman obat;
b. budidaya tanaman hias;
c. budidaya jamur;
d. budidaya lebah;
e. penangkaran satwa; dan
f. budidaya sarang burung walet
sebagaimana pada ayat (2) ada beberapa
ketentuan yang harus diperhatikan dalam Pemanfaatan kawasan di hutan produksi,
yaitu:
a. luas areal pengolahan dibatasi;
b. tidak menimbulkan dampak negatif
terhadap biofisik dan sosial ekonomi;
c. tidak menggunakan peralatan mekanis
dan alat berat; dan
d.
tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam
sama halnya dengan ketentuan mengenai pemanfaatan kawasan di
hutan produksi, selama kurun waktu yang sebagaimana dinyatakan sebelumnya tidak
diketemukan pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana tata cara permohonan
serta hal-hal lain menyangkut pemanfaatan kawasan.
2)
Pemanfaatan
Jasa Lingkungan
a)
Pemanfaatan
Jasa Lingkungan di Hutan Lindung
Kegiatan
Usaha yang dapat dilakukan dalam Pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung
sebagaimana bunyi Pasal 25 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007, hal tersebut juga
diamini dalam Pasal yang sama pada Permenhut No. P.49/Menhut-II/2008, yang terdiri
dari:
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan
lingkungan; atau
f.
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pasal
25 ayat (2) mengatur beberapa ketentuan yang harus dipatuhi dalam hal
pemanfaatan jasa lingkungan di hutan lindung, yaitu:
a. mengurangi, mengubah, atau
menghilangkan fungsi utamanya;
b. mengubah bentang alam; dan
c.
merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan.
b)
Pemanfaatan
Jasa Lingkungan di Hutan produksi
Menurut
Pasal 33 ayat (1) PP No. 6 Tahun 2007
kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan jasa lingkungan di
Hutan Produksi adalah:
a. pemanfaatan jasa aliran air;
b. pemanfaatan air;
c. wisata alam;
d. perlindungan keanekaragaman hayati;
e. penyelamatan dan perlindungan
lingkungan; dan
f.
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Ketentuan
dalam pemanfaatan Jasa lingkungan pada baik itu pada Hutan Produksi sebagaimana
dinyatakan pada ayat (2) pada umumnya memiliki kesamaan dengan ketentuan dalam
pemanfaatan kawasan di Hutan Produksi.
3) Usaha pemanfaatan Hasil hutan Kayu
Pemanfaatan hasil hutan kayu hanya dapat dilakukan pada
Hutan Produksi setelah mendapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu. Izin
pemanfaatan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan atau biasa disingkat IUPHHK dapat
diberikan pada hutan
alam maupun hutan tanaman. Adapun
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh lembaga pengelola hutan desa
untuk mengajukan permohonan IUPHHK, yaitu:[16]
a.
Foto copy peraturan desa tentang penetapan lembaga desa;
b.
Fotocopy Surat Keputusan Penetapan Areal Kerja Hutan Desa
yang terkait;
c.
Fotocopy Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan Hutan
Desa;
d.
Rencana Kerja Hutan Desa yang sudah disahkan; dan
e.
Akta penetapan Lembaga Desa sebagai Badan Usaha Milik Desa
(BUMDes).
Terhadap persyaratan pada huruf d mengenai pengajuan akta
penetapan lembaga desa sebagai badan usaha milik desa, hal tersebut sudah
merupakan syarat yang umum dalam permohonan IUPHHK, baik itu pada Hutan Alam
maupun pada Hutan Tanaman, bahwa pengajuan permohonan IUPHHK hanya dapat
dilakukan oleh: Perorangan, Koperasi, Badan Usaha Milik negara dan Badan Usaha
Milik Swasta. Hal ini sesuai dengan sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 4
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
20/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu Dalam Hutan Alam Pada Hutan produksi dan Pasal 4 Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 19/Menhut-II/2007 Tentang Tata Cara Permohonan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi.
Persyaratan yang diajukan dalam permohonan IUPHHK di Hutan
desa, pada dasarnya memiliki kesamaan dengan persyaratan yang diajukan dalam
permohonan IUPHHK dalam hutan alam maupun hutan tanaman, namun sebagai
tambahan, bahwa didalam persyaratan yang dimuat pada permohonan IUPHHK dalam
hutan alam maupun hutan tanaman, dicantumkan kewajiban kepemilikan NPWP (nomor
pokok wajib pajak).
Terkait dengan adanya rekomendasi gubernur dalam tata cara
permohonan IUPHHK baik itu pada Hutan alam maupun hutan tanaman, hal tersebut
merupakan bagian dari penerapan asas good
governace, hal tersebut didasarkan pada hasil kajian analisis fungsi
kawasan hutan oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi dan Kepala BalaiPemantapan
Kawasan Hutan, Badan Planologi Kehutanan. Analisis fungsi kawasan itu sendiri,
menurut Pasal 3 Ayat (3) peraturan menteri kehutanan nomor 63/Menhut-II/2008
tentang tata cara pemberian rekomendasi Gubernur dalam rangka permohonan atau
perpanjangan IUPHHK Hutan alam atau hutan tanaman, adalah: berisi fungsi kawasan hutan sebagaimana tertuang dalam Keputusan
Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi dan
data lain yang tersedia antara lain tata batas, uraian penutupan vegetasi,
penggunaan, pemanfaatan,perubahan peruntukan dan fungsi kawasan yang dituangkan
dalam data numerik dan spasial.
4) Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, hanya dapat
dilakukan pada hutan produksi, yaitu pada hutan alam dan hutan tanaman.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
adalah;
1.
Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan
alam, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 29 P.49/menhut-II/2008 tentang
Hutan Desa ialah:
a.
rotan, sagu,
nipah, bambu, yang meliputi kegiatan penanaman, pemanenan, pengayaan,
pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil;
b. getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi
kegiatan pemanenan, pengayaan, pemeliharaan, pengamanan, dan pemasaran hasil.
2.
Kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu pada hutan
Tanaman, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 30 P.49/menhut-II/2008 tentang
Hutan Desa.[17]
MASUKAN TERKAIT HUTAN LINDUNG BUJANG RABA
Terkait dengan Hutan Desa yang
diusulkan di desa Senamat Ulu terdapat Kawasan Hutan
Lindung, seluas 13. 529 Ha berdasarkan SK Menhut Nomor 739/Menhut-II/2009
tertanggal 19 Oktober 2009. Terdapat benturan masyarakat dengan hutan lindung
ini biasanya berputar pada masalah sesap
mereka yang berada dalam kawasan hutan. Ketidak jelasan batas dan fungsi hutan
lindung cukup menjadi persoalan di tengah masyarakat dan ini perlu ditindak lanjuti lebih lanjut
dalam bentuk penjelasan batas dan sosialisasi tentang pentingnya keberadaan HL
sebagai pelindung ekossitim yang ada. Oleh karena itu untuk menimbulkan polemik
dalam masyarakat KKI Warsi mendampingi masyarakat untuk mengajukan usulan
pengelolaan HL ini melalui skema Hutan Desa. Jika Sk Menhut tentang hutan
lindung hanya melalui SK penunjukan kedepannya agar dilanjukan pada proses
pengukuhan kawasan sebagaimana diatur dalam pasal 14 dan 15 UU Kehutanan.
Begitu juga penentuan kawasan hutan pasca putusan MK NOMOR 45/PUU-IX/2011 terkait pengujian pasal 1 ayat
(3) UU Kehutanan yang dibacakan pada 21 Februari 2012.
[1]
Ismatul hakim, Dkk,
Orientasi Makro Kebijakan Social Forestry Di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan
Iklim dan Kebijakan, Bogor, 2010, Hal 1.
[2] Ibid, hal 2.
[3] R. Oszaer, Pembangunan Hutan
Berbasis Ekosistim Dan Masyarakat, Pelatihan Penanaman Hutan di Maluku &
Maluku Utara – Ambon, 12 – 13 Desember
[4] Ibid.
[5] Lihat
ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 Permenhut Nomor: P.49/Menhut-II/2008 tentang
Hutan Desa
[6] Sebagaimana definisi desa menurut pasal 1
angka 6 permenhut nomor. P.49/menhut-II/2008
tentang hutan desa yang menyatakan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
[7] Kita
dapat melihat pada definis hutan negara
pada UU No. 41 tahun 1999 sebagai hutan yang berada diatas tanah yang tidak
dibebani hak tas tanah.
[8] Lihat
Pasal 85 PP No.6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan
Dan Penggunaan Kawasan Hutan.
[9] Ibid,
Pasal 87 ayat (2).
[10] Ibid, ayat (3).
[11] Lihat Pasal 15 Permenhut Nomor:
P.49/Menhut-II/2008 Tentang Hutan Desa
[12] Ibid,
Pasal 35 ayat (2)
[13] Ibid,
Pasal 37
[14] Ibid,
Pasal 38
[15] Ibid,
Pasal 41
[16] Ibid,
Pasal 19
[17]
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan pada hutan tanaman, merupakan
kegiatan usaha yang juga dapat dilakukan pada hutan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar