Kamis, 20 September 2012

Mengendus “Pemutihan” Pelanggaran Hukum[1] (Mendeteksi pasal-pasal “siluman” dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan.)



Seiring dengan upaya menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa, berbagai cara didorong oleh kelompok masyarakat sipil untuk memastikan tidak ada lagi kegiatan mengkonversi kawasan hutan sesuai dengan inisiatitif penundaan ijin baru serta konversi lahan gambut.  Pemerintahpun mencoba melakukan konsolidasi data dan informasi penguasaan kawasan serta tutupan hutan dengan membuat Peta Indikasi Penundaan Ijin Baru (PIPIB) melalui UKP4. Pembuatan PIPIB mendapatkan masukan-masukan yang sangat berarti dari sthakholder demi kepastian kawasan hutan dan lahan gambut yang harus tetap dijaga kelestariaanya. Perubahan demi perubahan PIPIB ini mulai dari perubahan pertama memupuk harapan kelompok masyarakat sipil peduli lingkungan dan pembela HAM untuk mampu memberikan perlindungan hutan serta perlindungan hak masyarakat baik adat maupun lokal.
Namun pada kenyataannya, upaya tersebut masih mendapat hambatan-hambatan yang besar bahkan dari pihak pemerintah sendiri. Hal ini terlihat pelepasan kawasan hutan dari PIPIB.  Dan puncak inkonsistensi pemerintah terjadi pada tanggal 6 Juli 2012, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (PP 60) serta  Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan (PP 61). Kedua PP ini dinilai “memutihkan” izin-izin perkebunan[3] dan pertambangan[4] di kawasan hutan yang selama ini illegal (tidak mengantongi izin pinjam pakai). Pemutihan izin perkebunan dan tambang ”ilegal” yang selama ini hanya berbekal izin kepala daerah akan membuka potensi konflik baru. Setidaknya penulis mencatat  ada beberapa persoalan pada PP 60 dan PP 61.
Pertama terkait tukar guling kawasan hutan. Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 (UU Kehutanan) merupakan dasar hukum lahirnya PP 60 dan 61 ini. Akan tetapi ada penyimpangan terutama pada PP 60 terkait land swapt atau tukar guling lahan/kawasan, dimana dalam UU Kehutanan tidak ada mengaturnya.[5]  Sehingga sangat tidak mendasar penggunaan tukar guling akan memberikan kepastian perlindungan terhadap kawasan masyarakatpun. Justru sebaliknya tukar guling ini akan menjadi terancam , karena pengusaha dengan mudah mendapatkan peluang untuk mengambil lahan dan mendapatkan alih fungsi lahan tanpa mengikuti prosedur tentang pengukuhan kawasan hutan terlebih dahulu. Karena jelas dalam UU Kehutanan disebutkan bahwa yang memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan adalah kegiatan pengukuhan kawasan sebagaimana pasal 14 dan 15.  Bukan penunjukan dan tukar guling. Apalagi pasca putusan MK Nomor: 45-PUU-IX/2011[6] yang dibacakan pada  tanggal 21 Februari 2012 telah mengokohkan bahwa penentuan kawasan hutan harus sesuai dengan pasal 15 UU Kehutaan bukan hanya sekedar penunjukan belaka. Begitu juga peran serta masyarakat dalam pemamfaatan lahan dan alih fungsi kawasan hutan juga dipertegas dalam Putusan MK Nomor: 34/PUU-IX/2011[7] dan begitu juga Putusan MK Nomor: 32/PUU-VIII/2010 mengamanatkan peran dan persetujuan masyarakat setempat terkait dengan persetujuan tambang.[8] 
Kedua Penyelamatan perkebunan besar.  Pasal 51 A dan 51 B PP No 60/2012 hanya menyebut izin ”Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah...”. artinya PP ini hanya mengatur izin usaha perkebunan pada luasan di atas 25 hektar (perkebunan sedang/besar). Sementara perkebunan kecil (di bawah 25 hektar) hanya diwajibkan mengurus Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan dari bupati/wali kota. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Yang mengganjal dibenak penulis adalah kenapa perkebunan besar diberi pemutihan, sedangkan perkebunan kecil yang notabene milik rakyat kecil tak diwadahi? Tentunya ada niat jahat dalam PP No 60 untuk memutihkan izin-izin ilegal perkebunan besar.
Ketiga pemutihan pelanggaran hukum. Dalam PP 60 dan juga PP 61 tersebut akan memutihkan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan yang berproduksi di kawasan hutan. Selain melanggar batas hutan, tak sedikit perusahaan yang melanggar tata ruang. Seharusnya pengembangan sektor industri di Area Peruntukan Lain (APL), bukan di kawasan hutan lindung, produksi dan konversi. Meski hutan konversi dapat dialihfungsikan untuk kegiatan industri, namun ada proses yang harus dilalui sebelum perusahaan yang bersangkutan dapat berproduksi di kawasan hutan konversi yang salah satunya adalah proses pelepasan kawasan. Jika ada perusahaan yang tidak mematuhi proses itu, maka dikategorikan melakukan pelanggaran hukum.
Jika kita elaborasi lebih dalam PP 60 dan 61 ini memiliki potensi untuk memberikan impunitas atas pelanggaran hukum dan  mencoba menyalahkan pemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang)[9] yang dikesankan telah mengakibatkan kerancuan hukum. Oleh karena itu untuk membenahi dan menyelaraskan penataan ruang dan ijin-ijin (ijin illegal) yang sudah terlanjur dikeluarkan ,dengan memandatkan pada kemenhut agar menata perijinan dikawasan hutan melalui kedua PP tersebut. Jika kita menilik pada UU Penataan Ruang pada Bagian Ketiga tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pasal 37 ayat (3), (4), (6), (7). Dimana ijin yang tidak berkesesuaian dengan UU dapat dicabut. Artinya jika ada ijin pemanfaatan yang tidak berkesesuaian dengan fungsi kawasan ataupun dengan UU dapat dicabut atau dibatalkan dan merupakan pelanggaran hukum. Saat ini banyak perusahan yang sudah beroperasi dan mengantongi Ijin-ijin perkebunan dan pertambangan yang terdapat dikawasan hutan tetapi belum mengantongi ijin pinjam pakai kawasan hutan. Oleh karena itu penulis mencium lahirnya PP 60 dan 61 ini sebagai hero dan memutihkan pelanggaran atau tindak pidana yang telah terjadi selama ini.[10]
Keempat lemahnya kontrol dan penegakan hukum. Jika kita lihat lahirnya PP 60 dan 61 adalah wujud ketidak mampuan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak pelanggaran hukum yang selama ini terjadi baik itu disektor kehutanan dan Lingkungan hidup.[11]  Pelanggaran hukum yang berlangsung sekian lama dan tidak adanya political will dari pemerintah menandakan ada dugaan perselingkuhan bandit-bandit berdasi (dalam hal izin perkebunan dan pertambangan) dengan pengambil kebijakan dibalik lahirnya kedua PP ini. 
Penulis melihat PP 60 dan PP 61 merupakan manuver pemerintah untuk memberikan impunitas atau pemutihan bagi perkebunan sawit yang sudah beroperasi dan mengantongi izin di kawasan hutan walaupun prosesnya cacat.[12] Seharusnya pemerintah pusat tidak menerbitkan regulasi ini, tapi melakukan pendekatan dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah yang ada, salah satunya soal tata batasan kawasan hutan negara. Tidak jelasnya tata batas kawasan hutan negara, mengakibatkan maraknya ilegalitas dalam penggunaan wilayah hutan. Pemerintah daerah adalah pihak yang paling berwenang dalam menerbitkan izin perkebunan dan pertambangan apalagi sejak diterbitkannya UU Otonomi Daerah (Otda), walaupun tidak terlepas dari peran pemerintah pusat suntuk koordinasi. Sayangnya, kewenangan yang ada di tingkat Pemda di sektor kehutanan itu tidak jelas.  Hal itu berpengaruh terhadap berbagai izin yang diterbitkan Pemda.
Pemerintah, sebenarnya telah menerbitkan aturan mengenai Penundaan Ijin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut (moratorium) berdasarkan Inpres No. 10 Tahun 2011.  Tetapi kehadiran PP No. 60 Tahun 2012 dan PP No. 61 Tahun 2012 tidak sejalan dengan Inpres dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait penyelamatan hutan. Jadi tidaklah tepat apabila Peraturan Pemerintah justru membenarkan ijin yang tidak berkesesuaian tersebut.  Dan apabila terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang maka pihak yang melakukan penyimpangan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara prinsip antara PP No. 60 dan PP 61 adalah sama hanya  subyek hukumnya saja yang berbeda yaitu usaha Perkebunan dan usaha Pertambangan, Tetapi aroma dan niat jahat yang ada dalam PP tersebut sama-sama meligitimasi pelanggaran UU Kehutanan dan UU Penataan Ruang. Secara Yuridis bahwa Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 terutama dalam pasal 51 A dan pasal 51 B dan PP 61 dan Pasal 25 A PP 60 bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya.
Oleh karena itu kita harus mendorong pemerintah untuk segera:
1.      Melakukan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan pasal 15 UU Kehutanaan dan sebagaimana telah diperkuat oleh Putusan MK Nomor 45/PUU-II/2011 yaitu melakukan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat.
2.      Melakukan review terhadap berbagai ijin-ijin serta kebijakan yang cenderung merugikan negara.
3.      Menindak tegas pelanggaran hukum yang terjadi baik itu tindak pidana kehutanan, Lingkungan dan juga KKN.
4.      Membatalkan dan Mencabut kembali Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta  Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Jika pemerintah tidak mencabut dapat melaukan Judicial Review ke Mahkamah Agung karena PP ini bertentangan dengan UU.

Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
            Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
            Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
            Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 45-PUU-IX/2011pengujian Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
            Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-VIII/2010 pengujian Undang-undang Pertambangan Minerba   
            Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011Pengujian Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
            Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta
            Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan.   
            Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan  Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
            Peraturan Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan


[1]               Tulisan mengkaji regulasi yang tidak partisipatif yang cenderung memihak perusahaan besar. Lahirnya PP 60 dan 61 ini wujud legislasi darurat yang terjadi di Indonesia dimana kedua PP ini melegalkan tindakan yang selama ini illegal. Pemutihan pelanggaran hukum dalam PP ini terkhusus pada izin perkebunan dan Pertambangan yang masuk kawasan hutan tetapi tidak mengantongi izin pinjam pakai.
[2]               Penulis adalah peneliti hukum dan analisis kebijakan KKI Warsi.
[3]               Lihat PP 60 pasal 51A ayat (1) dan (2) mengatakan Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004  areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6  (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini  wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 51A ini terganbar jelas bahwa ada niat jahat pemerintah untuk melegalkan perbuatan illegal yang selama ini terjadih. Dalam pasal ini tergambar bahwa banyak izin usaha yang tidak sesuai dengan aturan. Yang menjadih pertanyaan kenapa banyak perusahan memperoleh izin usaha dan tetap beroperasi?. Besar dugaan bahwa dalam proses perizinan dan pengawasannya ada potensi korupsi. Karena tidak adanya political will atau ada perselingkuhan antara pengambil kebijakan dengan pemegang izin usaha memunculkan regulasi bari (PP 60) ini sebagai legalitas untuk “memutihkan” pelanggran yang terjadih selama ini. Aroma ini juga di usung oleh PP 61 sebagai rekanya PP 60 untuk mengusun misi pemutihan Pelanggaran izin usaha Perkebunan dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahan besar.   
[4]               Lihat PP 61 tahun 2012 Pasal 25A ayat (1) dan (2)  mengatakan (1) Kegiatan usaha Pertambangan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan  Rencana Tata Ruang  Wilayah Provinsi yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang  Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41  Tahun 1999 tentang Kehutanan  sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004  areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan izin pinjam pakai  kawasan hutan kepada Menteri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak pemenuhan  kewajiban dinyatakan lengkap dan benar. Tergambar jelas bahwa PP 61 ini membawa aroma yang serupa untuk melindungi izin usaha dalam hal ini Pertambangan illegal yang selama ini telah beroperasi dan memperoleh izin.
[5]               Lihat lebih jelas PP 60 Pasal 51B ayat (1), (2) dan (3) mengatakan (1) Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan  oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan  sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004  areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan kepadaMenteri.(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyediakan lahan penggantidalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)disetujui.(3) Dalam hal pemohon telah menyediakan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan.
[6]               Seluruh kawasan hutan yang ada sebelum Putusan MK 45/PUU-IX/2011 adalah kawasan hutan yang sah. Tapi pada kenyataannya ± 89%  atau 121,74 juta Ha diantranya merupakan kawasan yang secara subtantif inkonstitutional.  Kawasan ini berpotensi akan dimamfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk dialihfungsikan kawasan hutan menjadi nonhutan. Begitu juga potensi konflik tenurial dengan masyarakat yang berdiam didalam dan sekitarnnya. Ada terdapat  ± 31.957 Desa yang berada didalam dan disekitar kawasan hutan jika ini tidak diselesaikan maka konflik yang akan terjadi seperti halnya bom waktu yang akan meledak.
[7]               Putusan Judicial Riview pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan yang dimohonkan oleh Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad seorang Pengusaha Jambi. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat (hak komunal/ hak pertuanan), padahal seharusnya juga memperhatikan hak hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dalam pertimbangannya MK membenarkan substansi dalil permohonan pemohon. MK memandang bisa saja dalam wilayah tertentu terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah (hak atas tanah dalam UUPA). Hak-hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma a quo; begitu juga mahkamah lebih lanjut mengatakan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 32/PUU-VIII/ 2010 Pengujian UU Minerba, bertanggal 4 Juni 2012, bahwa kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Oleh karena itu MK menyatakan bahwa  Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”;
[8]               Putusan MK No. 32/PUU-VIII/2010 adalah Pengujian UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba yang diajukan oleh 5 LSM yaitu WALHI dan PBHI, Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Koalisi untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Solidaritas Perempuan (SP) dan 16 orang masyarakat. Dalam putusannya  MK menyatakan bahwa Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “memperhatikan pendapat…masyarakat…”tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”; Artinya pasal 10 huruf b ini mengamanatkan kepada pemberi izin (pemerintah) dalam proses perizinan tambang wajib atau harus melibatkan masyarakat.

[9]               Begitu juga terkait dengan RTRWP yang diamanatkan dalam UU 26 tahun 2007  perlu diketahui bahwa sampai saat ini banyak daerah baik itu provinsi dan kabupaten yang belum selesai menyusun RTRWP sesuai dengan amanat UU 26 tahun 2007. Padahal sejak UU dikeluarkan telah memberikan waktu tiga tahun untuk RTRWP kabupaten/kota (2009) dan tiga tahun untuk RTRWP Provinsi (2010). Berdasarkan catatan penulis pada februari 2012 dari 33 provinsi hanya 12 Provinsi yang baru menyelesaikan RTRWPnya sedangkan Kabupaten/kota baru 93 dari 491 yang ada di Indonesia. 
[10] Permasalah izin peruntukan kawasan dan lahan ini khususnya untuk pertambangan dipertegas dengan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral mencatat dari 10.235 izin usaha pertambangan (IUP), baru 4.151 izin yang dinyatakan tidak bermasalah alias clean and clear. Artinya, 59 persen atau 6.084 izin tambang masih bermasalah.  Khusus Provinsi Jambi Berdasarkan data DPRD Provinsi Jambi tahun 2012 terdapat 449 Izin Pertambangan. Izin eksplorasi sebanyak 344 izin atau seluas 727.844 Ha. Sisanya 105 izin seluas 97.388 Ha izin eksploitasi.  Total izin pertambangan sebenarnya mencapai 1,1 juta Ha dari jumlah itu 825.232 Ha masih aktif. Sebanyak 349.905 Ha berada di kawasan di 233 titik kawasan hutan baik HP dan HL maupun HPT. (Jambi Independent 29 Februari 2012). Dan ada beberapa perusahan yang belum mengantongi izin pinjam pakai kepada Menhut terkait izin yang berada di kawasan hutan.  
[11]             Khusus untuk dokumen lingkungan perusahan tambang batu bara di Jambi, pada tahun 2010  ada 111 Perusahaan yang terdaftar  dan hanya 12 yang memiliki AMDAL, 19 KA ANDAL, 38 UKL-UPL, 2 perusahaan lagi Proses AMDAL dan 1 DPPL. Artinya ada 72 perusahan batu bara yang sudah punya dan sedang mengurus dokumen lingkungan (65%) sedangkan 39 perusahaan lainnya tidak memiliki dan mengurus dokumen lingkungan yang merupakan kewajiban perusahan. Padahal baik perusahan yang sedang mengurus  dokumen lingkungan dan tidak memiliki dokumen lingkungan sudah mengantongi izin.   
[12]             Proses cacat yang dimaksud adalah tidak adanya izin pinjam pakai atau pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu begitu jugu dalam pengurusan dokumen lingkungan yang tidak sesuai dengan aturan sedangkan perusahan yang bersangkutan sudah beroperasi dan mendapt legalitas perizinan dari kepala daerah (pemerintah). Hal ini tentu menjadi tanda tanya kenapa izin yang dikeluarkan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Besar dugaan adanya praktik korupsi dalam pengurusan izin begitu juga ketika perusahan beroperasi sarat dengan pemberian fee kepada oknum-oknum tertentu. 


 Oleh: Ilham Kurniawan Dartias,[2]

Senin, 10 September 2012

Jubir Koruptor*




Maraknya akademisi yang menjadi saksi ahli koruptor menyentuh rasa keadilan masyarakat. Dengan berkedok memberikan keterangan ahli pernyataan yang keluar justru meringankan koruptor. Entah apa yang ada dalam benak ahli (akademisi) ini untuk memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor. Tindakan ini bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Seharusnya sang ahli benar-benar memberikan keterangan sesuai dengan hati nurani dengan mengedepankan kebenaran bukan memberikan keterangan untuk membenarkan tindakan koruptor bukanlan suatu tindak pidana korupsi.

Urgensi Keterangan Ahli

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berkaitan dengan alat bukti. Salah satunya ada keterangan ahli. Pengertian umum dari keterangan ahli dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 menyebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan ahli secara prinsip dibutuhkan dalam sebagai salah satu proses dalam hukum acara pidana agar lebih terangnya duduk perkara tindak pidana yang terjadi. Adanya kejanggalan atau keraguan dari hakim atau para pihak terhadap suatu perkara yang terjadi menjadikan keterangan ahli menjadi salah satu jalan untuk menerangkan supaya kasus yang kabur menjadi terang dan jelas. Tentunya keterangan yang diberikan saksi ahli sesuai dengan keahlian yang dimilikinya berdasarkan prinsip, keadilan, akuntabilitas dan semangat penegakan hukum. Bukan keterangan yang sesuai dengan pesanan dari pihak yang berpekara (Baca: Koruptor), agar sang koruptor terlepas dari jerat hukum tetapi mencari titik terang kasus yang sedang terjadi.

Jika pendapat atau keterangan yang diberikan dihargai dengan rupiah tentunya ini sangat miris. Apalagi ini dilakukan oleh akademisi yang notabene mendidik mahasiswa hukum untuk menegakan hukum dan mencari keadilan substantif. Deal-deal keterangan ahli dengan koruptor tak ubahnya “penjualan harga diri” karena ilmu yang didapat bukan untuk menegakan hukum tapi demi kenikmatan dan materi semata. Tak hayal pendapat ahli dapat disesuaikan dengan besaran pendapatan yang diterimanya dari koruptor. Sang ahli tak ubahnya sebagai “juru bicara” koruptor yang berlindung dibalik jubah agung akademisi atau keahlian yang dimilikinya.

Etika Penegakan Hukum

Maraknya akademisi yang memberikan keterangan ahli terhadap kasus korupsi menjadi perbincangan dan kecuman dari para penggiat anti korupsi. Disatu sisi sang ahli berbicara peran dari akademisi dalam menerapkan hukum akan tetapi kenyataanya cenderung keterangan ahli membebaskan koruptor. Inikan yang dinamakan menegakan hukum?. Bagaimana kita akan memberangus korupsi jika sang ahli berperan sebagai juri bicara koruptor.

Sang ahli selalu berkelit bahwa apa yang dilakukan atau keterangan ahli yang diberikan menurut keilmuan dan hati nuraninya, akan tetapi berbagai pihak menilai keterangan yang di berikan dipersidangan cenderung di akal-akali agar sang jurangan (baca: koruptor) terbebaskan dari tuntutan hukum.
Hal ini sesuai dengan teori plurarisme hukum yang dikemukakan John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism).

Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.

Teori plurarisme hukum ini cenderung  dimamfaatkan oleh penguasa, pengusaha atau kaum intelek untuk memilih (mengakali) hukum yang menguntungkan bagi mereka. Misalnya dalam kasus Azhar Latief, mereka memakai Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum dimana direksi boleh memakai 75 persen dari pendapatan direksi satu tahun. Akan tetapi sang ahli tidak mengindahkan unsur tindak pidana korupsi yang sudah terpenuhi berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat huruf (b) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perilaku sang ahli menjadi juru bicara koruptor sungguh jauh dari etika akademik dan penegakan hukum. Sang ahli sudah menjual harga akademiknya demi kepuasan jurangan (koruptor). Padahal masyarakat mengidamkan nuansa keadilan dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Jika perilaku abmoral ini terus berlanjut tentunya pemberantasan korupsi hanya angin-anginan saja.
Ilham Kurniawan Dartias
Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar

*Tulisan ini dimuat pada koran Padang Ekspres, http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1159

Menunggu Rektor Dari Mentri (Noda Hitam Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010 Pe­ngang­katan Dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur Pada Per­gu­ruan Tinggi)


   
Pemilhan rektor Universitas Andalas (Unand) telah memasuki tahap akhir. Rabu 12 Oktober 2011 akan diumumkan siapa rektor yang layak memimpin Unand empat (4) tahun kedepan. Terlepas dari besarnya pengaruh Mendiknas dalam menentukan orang nomor satu di Unand, kita  mampu menampung aspirasi rakyat Unand tidak hanya dosen dan karyawan saja tapi juga aspirasi dari mahasiswa. Walaupun proses pemilihan rektor tidak ada melibatkan mahasiwa sama sekali tetapi mahasiwa hanya bisa berharap rektor yang terpilih nantiknya merupakan yang berkualitas, dekat dengan seluruh rakyat Unand dan tidak ada tersangkut masalah hukum. Kedepan, rektor harapan kita ini dapat menyelasaikan kisruh yang ada di Unand seperti korupsi bus kampus, Dana Pengembangan Institusi (DPI) dan juga korupsi lahan konservasi di Mentawai.  

Formalitas Penjaringan

Sebelumnya proses penjaringan calon rektor ditataran dosen dan karyawan cukup alot. Sembilan calon yang lolos verifikasi akan dipilih oleh dosen dan karyawan. Nantiknya akan diambil lima besar untuk tahap selanjutnya akan dipilih oleh anggota senat. Pemilihan di tingkat dosen dan karyawan bukanlah hasil mutlak karena ketika di tataran senat bisa jadi pemenang di tingkat dosen dan karyawan tidak diminati oleh senat yang berjumlah 162 ini. Sebut saja Novesar Jamarun yang meraih suara terbanyak di tingkat dosen dan karyawan justru tidak lolos tiga besar ketika pemilihan di tingkat senat. Perolehan suara mayoritas di tingkat dosen terabaikan ketika di tingkat senat memilih calon yang lain. Alhasil pemilhan ditingkat dosen hanya batu loncatan padahal sangat demokratis ketika calon yang meraih suara terbanyak di tingkat dosen dan karyawan sebagai pertimbangan untuk menjadi rektor.

Setelah pemilihan di senat selesai dan menjaring tiga orang calon maka hasil pemilihan senat ini akan dikirim ke Mendiknas untuk tahap selanjutnya. Pada pemilihan di senat Werry Darta Taifur  unggul dari kandidat lainnya dengan perolehan 42 suara (27,63%), diikutti Edison Munaf 40 suara (26,31%), Helmi 28 suara (18,42%), Novesar Jamarun 25 Suara (16,44%) dan Masrul 16 suara (10,52%). Padahal di tingkat dosen dan karyawan Werry menempati urutan ke empat sedangkan di senat Werry meraih kemenangan. Berbeda dengan Novesar Jamarun yang uggul di pemilahan dosen dan karyawan tapi tidak diminati di senat. Disini terang sudah bahwa senat memiliki superior dan bargaining yang lebih besar dari pada dosen dan karyawan. Anggota senat yang berjumlah 162 ini lebih menentukan dari pada jumlah dosen dan karyawan yang sudah memilih sebanyak 835 pemilih. Aneh memang jika kita kaji, rektor yang memimpin Universitas Andalas, dia tidak hanya sebagai ketua senat dan mengurus senat saja tetapi ada agenda yang lebih besar dimana rektor harus berkoordinasi dan berinteraksi dengan dosen dan karyawan termasuk juga mahasiswa dilingkungan Universitas Andalas.


Intervensi

Tiga nama yang dikirim ke Mendiknas merupakan tiga besar yang dipilih oleh senat Universitas Andalas. Berdasarkan Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010 tentang Pe­ngang­katan dan Pemberhentian Rektor/Ketua/Direktur Pada Per­gu­ruan Tinggi, calon rektor yang lolos di pemilihan senat selanjutnya akan dipilih oleh Mendiknas dimana Mendiknas memiliki 35% suara dan senat memiliki 65% suara. Padahal calon rektor yang lolos di senat Universitas Andalas hanya memperoleh suara paling tinggi 27,63% dari keseluruhan pemilih di senat. Artinya pemilihan oleh Mendiknas merupakan harga mutlak untuk menentukan siapa yang akan menjadi rektor. Dapat dipastikan praktek nepotisme akan menggerogoti pemilihan rektor Universitas Andalas, karena Mendiknas memiliki suara yang dapat menentukan siapa rektor yang sesuai dengan hati nuraninya bukan berdasarkan pilihan stakholder di kampus. Tentunya intervensi dalam pemilihan rektor tidak dapat di elakan. Orang yang dekat dengan Mendiknas tentunya akan sangat mudah menduduki kursi nomor satu di Universitas Andalas walaupun di penjaringan di tingkat dosen, karyawan dan senat dia tidak memperoleh suara terbanyak.

Implementasi Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010 merupakan langkah mundur dalam mewujudkan demokratisasi di kampus. Justru Permendikans ini berdampak negatif karena mengabaikan aspirasi kampus. Selain itu, peraturan tersebut justru mematikan demokrasi di kampus. Calon yang potensial, juga akan takut untuk maju sebagai rektor, karena akan kalah dengan calon yang punya kedekatan dengan menteri walaupun pemilihan di tingkat senat, dosen dan karyawan memperoleh suara terbanyak.

Penerapan Permendiknas Nomor 24 Tahun 201 ini sudah menelan korban setelah salah satu kandidat rektor  yang terpilih di Senat UNS memperoleh suara 55% yaitu Prof M Furqon Hidayatullah. Sedangkan 45%, terbagi ke sembilan kandidat lainnya. Namun adanya Permendiknas tersebut, dia dikalahkan dan tidak dipilih oleh Mendiknas. Hal ini karena kurangnya kedekatan M. Furgon Hidayatulllah dengan Mendiknas sehinga yang terpilih adalah kandidat yang dekat dengan Mendiknas. Ini sudah sangat jelas bahwa Permendiknas 24/2010, sangatlah bertentangan dengan semangat demokrasi dikampus dan pemilihan rektor sarat dengan intervensi dan campur tangan Mendiknas. Sangat disayangkan suara mayoritas masyarakat kampus dikebiri oleh Mendiknas. Tak hayal lagi nepotisme dalam pemilihan rektor tak kan terelakan.
Begitu juga pemilihan rektor Unand adanya indikasi nepotisme, karena akan ada lobi dan deal-deal dengan Mendiknas siapa yang akan dipilih nantikya. Intervensi yang besar ini akan mencoreng nuansa keadilan dan demokrasi di kampus. Bisa jadi rektor yang dipilih tidak aspirasi masyarakat kampus tapi pilihan atau yang dekat dengan Mendiknas seperti yang terjadi di UNS.

Kedepanya pemerintah harus merevisi Permendiknas Nomor 24 Tahun 2010 ini karena bertentangan dengan semangat demokrasi. Disamping itu dalam pemilihan rektor harus ada pelibatan mahasiswa. Artinya mahasiswa ikut andil dalam proses pemilihan rektor, bukan sebagai pemilih tapi sebagai kesatuan dari kampus (baca : Unand) yang memberikan sumbangsih seperti itu melakukan track rekor calon rektor, tracking rektor kerjasama dengan masyarakat atau LSM dan membuat mimbar bebas bedah visi dan misi calon rektor. Begitu juga penegasan komitmen rektor terpilih untuk memajukan kampus dan menuntaskan setiap permasalah yang ada dikampus. 

Ilham Kurniawan Dartias
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fak. Hukum Unand

Anomali Kenaikan BBM *

  
Regulasi SBY menaikan harga BBM menimbulkan protes keras dari masyarakat terutama golongan menengah kebawah. Kebijakan pahit ini diambil menyusul kenaikan harga minyak mentah dunia. Bukannya mencari solusi tapi SBY malah mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan polemik dan gejolak serta penderitaan ditengah masyarakat. Ketidaknormalan kenaikan BBM tak terlepas dari ketidakmampuan Pemerintah dalam mengelola dan memamfaatkan SDA yang ada. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi, akan tetapi lumbung minyak di tanah air ini banyak dikelola oleh perusahaan asing. Pertamina sebagai jargon BUMN dalam pengelolaan minyak bumi hanya sebagai pajangan dan Pemerintah lebih bernafsu memberikan izin pengelolaan kepada perusahaan asing. Kondisi ini jelas berseberangan dengan konsep welfarestate (negara kesejahteraan). Jadi wajar penolakan di berbagai daerah bukti peringatan keberlangsungan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Demontrasi dan kecaman menjelang kenaikan harga BBM wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang tidak populis.  

Anomali
Dalam KBBI kata “anomali” berarti ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan. Terkait kebijakan pemerintah menaikan harga BBM penulis  melihat adanya ketidaknormalan dalam mengeluarkan kebijakan a quo. Setidaknya ada empat (4)  ketidaknormalan seputar kebijakan yang tidak populis yang hanya berfikir instan tanpa melihat penderitaan yang akan dialami oleh masyarakat. Pertama, jika kenaikan harga minyak dunia menjadi alasan pemerintah tidak sanggup membayar subsidi BBM yang telah dicanangkan APBN merupakan suatu pemikiran sesat. Apabila harga BBM tidak dinaikan sebenarnya dana subsidi yang ada di APBN tidak akan jebol karena pendapatan negara dari sektor minyak dan gas (migas), seperti pajak penghasilan (PPh) migas dan penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) minyak bumi masih mencukupi. Ditambah dengan penerimaan lain seperti pajak perdagangan internasional sebesar Rp 4 triliun dan hasil penghematan anggaran kementerian/lembaga sebesar Rp 18 triliun dan penerimaan lainnya (kompas.com).  Jika penerimaan negara benar-benar masuk ke kas negara tanpa “dibelokan” ke kas pejabat dan elit-elit politik, sudah lebih dari cukup untuk membiayai subsidi BBM sehingga kenaikan harga BBM tidak perlu terjadi.  

Kedua kekeliruan penghitungan subsidi BBM. Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) ditemukan ketidakwajaran dalam perhitungan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah sebagai basic argument untuk menaikkan harga BBM. Berdasarkan harga patokan MOPS (Mean Oil Platt Singapore) yang didapat dari publikasi harga rerata tahun sebelumnya, jika harga BBM premium dan solar tidak naik (tetap Rp 4.500 per liter), total beban subsidi BBM dan LPG adalah sebesar Rp 148,034. Akan tetapi penghitungan pemerintah cenderung naik sehingga ada alasan untuk menaikan harga BMM yaitu beban subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 178 triliun. Artinya ada selisih Rp 30 triliun dari asumsi pemerintah. Begitu juga jika BBM premium dan solar dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liter, total subsidi pemerintah hanya sebesar Rp 68,104 triliun. Sementara pemerintah mengatakan (RAPBN Perubahan 2012) beban subsidi menjadi Rp 111,74 triliun. Menjadi tanda tanya bagi masyarakat adalah dengan parameter asumsi dan metode yang sama kenapa hasil perhitungannya berbeda? Mungkin ada udang dibalik batu terkait ketidakwajaran kebijakan menaikan harga BBM.

Ketiga kenaikan harga BBM justru semakin mensengsarakan rakyat. Belajar dari kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008 justru menimbulkan polemik dan kesengsaraan dalam masyarakat. Akan tetapi Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan hal yang kontaradiktif dengan kondisi yang dialami masyarakat bahwa harga kebutuhan pokok stabil bahkan beberapa bahan pokok mengalami penurunan terutama beras, gula naik sedikit begitu pula dengan minyak goring dan harga-harga lainya masih dalam batas wajar (republika.co.id 28/3/2012). Aneh bin ajaib, pernyataan ini sungguh jauh dari normal dan hanya mementinkan kepentingan pejabat saja tanpa melihat rakyatnya menjerit akibat kebijakan sesat ini. Kenaikan BBM juga akan meningkatkan laju inflasi. Berdasarkan keterangan  Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Djamal bahwa Kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.500 per liter bakal menyumbang inflasi hingga 3%. Penulis memandang kenaikan harga BBM justru berdampak pada peningkatan harga-harga sehingga mendorong laju inflasi pada level yang cukup tinggi yang dapat memicu gejolak sosial di masyarakat serta meningkatkan jumlah masyarakat miskin akibat daya beli masyarakat makin merosot.

Jumlah masyarakat miskin yang diakui pemerintah per maret 2011 sebanyak 30,2 juta jiwa, jika kita menggunakan data penerima Raskin berjumlah diatas 70 juta apalagi kita gunakan data Worl Bank masih diatas 100 juta. Berkaitan dengan program instan pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) hanya sebagai “pelepas dahaga sesat” karena nilai, cakupan dan masa pemberiannya sangat terbatas sehingga tidak dapat meredam dampak kenaikan harga BBM. Belajar dari kisruh Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pernah direalisasikan SBY disamping menimbulkan chaos ditengah-tengah masyarakat juga tidak dapat mengurangi angka kemiskinan dan beban hidup masyarakat. Contoh saja kenaikan harga BBM tahun 2005 mengakibatkan menambah 16% orang miskin. Jika regulasi ini tetap dimuluskan maka kejadian serupa akan terjadi dan angka kemiskinan semakin melonjak.

Keempat kenaikan harga BBM akan menguntungkan perusahaan asing. Dalam pradigma neoliberalisme, subsidi BBM harus segera dihapuskan karena akan menjadi beban negara. Pada pertemuan anggota G20 di Gyeongju, Korea Selatan terus mendorong negara-negara anggota untuk menghilangkan subsidi karena dinilai tidak efisien. Langkah-langkah neoliberalisme ini seakan-akan di patuhi oleh Pemerintah untuk membukan “kran” seluas-luasnya untuk perusahan asing. Sebut saja UU 22 Tahun 2001 Tentang Migas, UU 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan kebijakan lainya. Begitu juga pengelolaan SDA yang diprioritaskan kepada perusahaan asing. Regulasi kenaikan harga BBM ini tentunya akan dinikmati oleh perusahaan asing. 

Solusi

Penulis mencoba “meramu” berbagai polemik seputar kenaikan harga BBM dan mengelaborasi lebih jauh untuk mencari titik taut yang dapat dijadikan solusi dalam pengelolaan minyak bumi demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pertama memperbaiki fasilitas transportasi umum. Mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan kendaraan pribadi dalam melaksanakan aktivitasnya. Hal ini tak pelak mengakibatkan konsumsi BBM melonjak. Pengurangan penggunaan kendaraan pribadi akan mengurangi konsumsi BBM secara signifikan. Namun, sayangnya hingga saat ini tidak ada transportasi umum yang cukup nyaman sehingga masyarakat beralih ke kendaraan pribadi. Mudahnya memperoleh kendaraan dan pajak barah mewah yang murah menjadikan para pejabat atau masyarakat menengah ke atas untuk memiliki kendaraan pribadi. Perlunya pengaturan kendaraan pribadi seperti di Jepang dapat mengurangi pemakaian BBM dan sarana angkutan umum dapat menjadi pilihan masyarakat.

Kedua Pemerintah harus melakukan efisiensi pada berbagai lini/pos pengguna APBN terutama biaya operasional dan belanja negara serta sarana prasarana pejabat yang dinilai terlalu mewah.

Ketiga menekan penguasaan migas oleh asing dan mengembalikannya ke dalam pengelolaan negara sesuai dengan amanatkan pasal 3 ayat (3) UUD 1945. Saat ini pihak asing sudah mengendalikan produksi dan penjualan minyak dari hulu hingga hilir, setidaknya 89% migas dikuasai oleh asing (Tribun Jabar, 24/3/2012). Kondisi ini diperparah dengan izin pengelolaan sumur-sumur minyak seperti  Blok cepu yang dikendalikan oleh Exxon Mobil selama 30 tahun kedepan. Begitu juga sumur minyak yang tersebar di tanah air hampir semuanya dikendalikan oleh asing. Walupun dulu mantan Dirut Pertamina Wydia Purnama pernah menentang kepemilikan asing dan mengatakan pertamina sanggup untuk mengelolanya namun naluri pemerintah untuk menggadaikan asset negara ini pada asing semakin kuat alhasil Wydia Purnama “disingkirkan” dari posisinya karena dinilai tidak mendukung kebijakan pemerintah.

Jika minyak bumi dikelola oleh BUMN maka keuntungan akan lebih dirasakan oleh masyarakat. Pengelolaan yang dominan oleh asing menandakan negara gagal dalam memamfaatkan SDA yang ada. Kenaikan harga BMM jelas tidak mensejahterakan rakyat, seharusnya pemerintah memikirkan solusi cerdas seperti negara penghasil minyak lainnya yang mengelola minyaknya dengan baik dan menjualnya lebih murah di dalam negeri. Sebut saja harga bensin di Arab Saudi  Rp 1.068,Bahrain Rp 2.403, Kuwait Rp 1.689, Iran Rp 979, Mesir Rp 2.848, Nigeria Rp 890, Qatar Rp. 1.958, Turmekistan Rp 750, bahkan Venezuela menjual hanya Rp 495. Bayangkan negara penghasil minyak sendiri tapi harga BBM melambung tidak sesuai dengan ekonomi masyarakat.

Keempat hal penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengoptimalkan upaya pemberantasan KKN. Praktek KKN sudah menjadi penyakit yang akut. Survei TII tahun 2011 menempatkan Indonesia negara terkorup ke 4 di dunia. Sungguh prestasi yang menyakitkan, oleh karena itu sudah saatnya hukuman mati dan pemiskinan bagi koruptor tanpa tanpa tebang pilih. Jika KKN di negeri yang kaya akan SDA ini teratasi penulis yakin masyakat akan sejahtera dan tidak akan ada gelombang penolakan terhadap kebijakan pemerintah.

Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
*Tulisan ini dimuat di Koran Harian Padang Ekspres

Quo Vadis Pulau Berhala?*




Pasca keluarnya Putusan MA No. 49 P/HUM/2011 yang menganulir Permendagri No. 44/2011 terkait kepemilikan Pulau Berhala merupakan pukulan telak bagi Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Jambi. Judicial Riview (uji materil) Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 yang dimohonkan Pemprov Kepri membuahkan hasil yang menggembirakan bagi masyarakat Kepri dan pil pahit bagi masyarakat Jambi. Konflik penguasaan Pulau Berhala yang sudah berlangsung sejak 1982 silam, hampir bermuara pada penetapan secara yuridis siapa sebenarnya yang berhak atas Pulau Berhala. Sebelum Kepri menjadi provinsi tersendiri, pulau tersebut dipertahankan oleh Pemprov Riau dan Pemprov Jambi. Namun, setelah terjadi pemekaran, sengketa beralih ke Pemprov Kepri dengan Pemprov Jambi. Lahirnya putusan MA dalam perkara a quo menjadikan kepemilikan Pulau Berhala semakin jauh dalam genggaman Pemprov Jambi dan terbuka lebar bagi Pemprov  Kepri.

Keberadaan Pulau Berhala

Sebelum keluar putusan MA, Pulau Berhala masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Berdasarkan Pasal 2 Permendagri Nomor 44 Tahun 2011, Pulau Berhala terletak di bagian Utara Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi pada posisi 0º 51’ 34” Lintang Selatan (LS) dan 104º 24’ 18” Bujur Timur (BT). Kemudian, dalam Pasal 3 dinyatakan secara eksplisit Pulau Berhala masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Keberadaan Pulau Berhala dalam administrasi Provinsi Jambi juga dipertegas oleh pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, bahwa dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau mengecualikan Pulau Berhala masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Kepulauan Riau.

Keberadaan Pulau Berhala masuk wilayah administratif Jambi juga tergambar pada Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi menyebutkan bahwa batas Kabupaten Tanjung Jabung Timur  sebelah utara dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan dengan Kecamatan Kumpeh, Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi dan Propinsi Sumatera Selatan dan dsebelah barat dengan Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dan Kecamatan Sakernan, Kabupaten Muaro Jambi. Sebelah utara Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi inilah posisi Pulau Berhala yang notabene masuk dalam wilayah Provinsi Jambi.

Penguasaan Pulau Berhala secara efektif oleh sebagian besar masyarakat Bedu dan Nipah Panjang merupakan alasan sosiologis bahwa Pulau Berhala adalah wilayah Provinsi Jambi. Secara geografis letak Pulau Berhala dekat dengan Kecamatan Nipah Panjang dan Kecamatan Sadu. Sejak puluhan tahun lalu, setiap liburan lebaran dan liburan besar besar lainnya masyarakat Nipah Panjang dan Sadu selalu berkunjung ke Pulau Berhala untuk berwisata (Haluan Kepri 18/02/2012).

Pertentangan Yuridis

Dikabulkannya Judicial Review Permendagri nomor 44 tahun 2011 menyisakan misteri yang harus diungkap kepermukaan, agar status dan konflik kepemilikan pulau berhala menjadi terang. Berbagai berita di media nasional dan lokal baik di Jambi dan Kepri saling mengklim terkait kepemilikan dan status pulau berhala pasca putusan MA. Sebut saja pemberitaan yang mengatakan bahwa Pulau Berhala yang selama ini disengketakan dua provinsi bertetangga, Kepulauan Riau (Kepri) dan Jambi, akhirnya dinyatakan sebagai milik Provinsi Kepri. Walaupun Mahkamah Agung mengabulkan gugatan judicial review Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 bukan berarti Pulau Berhala langsung menjadi milik Pemrov Kepri. Apa lagi dalam putusannya, ternyata MA bukannya membatalkan Permendagri Nomor 44 tahun 2011 secara keseluruhan, hanya membatalkan beberapa poin yang termaktub di dalam Permendagri tersebut  (Jambi Independent 23/02/2012).

Ada hal misterius yang hingga kini belum jelas adalah Undang-undang apa yang dilanggar oleh Permendagri Nomor 44 Tahun 2011. MA seharusnya menjelaskan UU apa yang dilanggar karena permohonan judicial review menunjukkan adanya peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Begitu juga perkataan aneh yang dilontarkan Ampuan Situmeang Tim Hukum Pemprov Kepri bahwa Permendagri Nomor 44/2011 menyalahi prosedur hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang 31 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lingga. Yang menjadi pertanyaan, apakah UU yang menjadi batu ukur Judicial review dalam perkara a quo sudah tepat? Hal ini harus dipertegas karena dasar hukum (legal standing) Pulau berhala masuk Provinsi Jambi juga berdasarkan UU 54 Tahun 1999 yang sudah lebih dahulu lahir dari pada UU pembentukan Provinsi Kepri dan UU pembentukan Kabupaten Lingga.

Jika MA hanya melihat Permendagri ini bertentangan dengan UU 31 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lingga, bagaimana dengan Undang-undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi sebagai dasar lahirnya Permendagri ini. Jika Permendagri dibatalkan karena UU 31 tahun 2003 ini tentunya MA hanya memandang satu aturan saja, padahal UU 54 Tahun 1999 juga menyangkut wilayah Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi yang lebih dahulu ditetapkan oleh Legislator di Senayan.

Judicial Riview ke MK

Keberhasilan Pemprov Kepri dalam memperjuangkan Pulau Berhala patut di acungkan jempol. Mulai dari pembentukan tim hukum Pulau Berhala untuk menganalisis peraturan perundangan, inventarisasi bukti-bukti yang menguatkan kepemilikan Pulau Berhala seperti sejarah Pulau Berhala, dokumen zaman kolonial Belanda, penjajahan Jepang, zaman kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru dengan menelusurinya pada Arsip Nasional. Berbeda dengan Pemprov. Jambi yang terkesan lembek dalam menyikapi kasus a quo. Lemahnya syahwat Pemprov Jambi mengakibatkan bargaining Jambi untuk memiliki Pulau Berhala semakin jauh.

Akan tetapi ditengah pesimisme perjuangan Pulau Berhala, penulis optimis masih ada jalur hukum yang bisa ditempuh. Pemprov Jambi bisa mengajukan permohonan Judicial Riview UU 31 Tahun 2003 tentang pembentukan Kabupaten Lingga ke Mahkamah Konstitusi. Pemprov Jambi atau masyarakat Jambi (masyarakat Pulau Berhala) mendalilkan bahwa UU 31 Tahun 2003 ini bertentangan dengan UUD 1945 terutama terkait penetapan daerah/wilayah provinsi atau kabupaten sebagaimana termaktub dalam pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menyatakan “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.  
Begitu juga Pemprov Jambi segera mendesak Mendagri agar duduk “semeja” dengan Pemprov Kepri untuk mencari win win solution terkait kepemilikan Pulau Berhala. Jangan kita disibukan dengan persoalaan siapa yang paling berhak dan pantas memiliki Pulau Berhala. Alangkah baiknya kita membicarakan bagaimana pengaturan, mengelola dan membangun Pulau berhala yang melibatkan stakeholder baik itu pemprov Jambi, Pemprov Kepri, masyarakat sipil, karena pulau berhala masih dalam wilayah Republik Indonesia. sudah saatnya stakeholder memikirkan jalan terbaik, mau dibawa kemana (quo vadis) Pulau Berhala, agar konflik yang sudah berlangsung hampir 30 tahun tidak hanya menyisakan kemudaratan tapi mulai mengahasilkan  mamfaat dengan pengelolan Pulau Berhala secara serius.  

Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
Dimuat pada koran jambi independent