Regulasi SBY menaikan harga BBM menimbulkan
protes keras dari masyarakat terutama golongan menengah kebawah. Kebijakan
pahit ini diambil menyusul kenaikan harga minyak mentah dunia. Bukannya mencari
solusi tapi SBY malah mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan polemik dan
gejolak serta penderitaan ditengah masyarakat. Ketidaknormalan kenaikan BBM tak
terlepas dari ketidakmampuan Pemerintah dalam mengelola dan memamfaatkan SDA
yang ada. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi, akan
tetapi lumbung minyak di tanah air ini banyak dikelola oleh perusahaan asing.
Pertamina sebagai jargon BUMN dalam pengelolaan minyak bumi hanya sebagai
pajangan dan Pemerintah lebih bernafsu memberikan izin pengelolaan kepada
perusahaan asing. Kondisi ini jelas berseberangan dengan konsep welfarestate (negara kesejahteraan).
Jadi wajar penolakan di berbagai daerah bukti peringatan keberlangsungan Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II. Demontrasi dan kecaman menjelang kenaikan harga BBM
wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang tidak populis.
Anomali
Dalam KBBI kata “anomali” berarti ketidaknormalan;
penyimpangan dari normal; kelainan. Terkait kebijakan pemerintah menaikan harga
BBM penulis melihat adanya
ketidaknormalan dalam mengeluarkan kebijakan a quo. Setidaknya ada empat (4)
ketidaknormalan seputar kebijakan yang tidak populis yang hanya berfikir instan tanpa melihat penderitaan yang
akan dialami oleh masyarakat. Pertama,
jika kenaikan harga minyak dunia menjadi alasan pemerintah tidak sanggup
membayar subsidi BBM yang telah dicanangkan APBN merupakan suatu pemikiran
sesat. Apabila harga BBM tidak dinaikan sebenarnya dana subsidi yang ada di APBN
tidak akan jebol karena pendapatan negara dari sektor
minyak dan gas (migas), seperti pajak penghasilan (PPh) migas dan penerimaan
negara dari sumber daya alam (SDA) minyak bumi masih mencukupi. Ditambah dengan penerimaan lain
seperti pajak perdagangan internasional sebesar Rp 4 triliun dan hasil
penghematan anggaran kementerian/lembaga sebesar Rp 18 triliun dan penerimaan
lainnya (kompas.com). Jika penerimaan negara benar-benar masuk ke
kas negara tanpa “dibelokan” ke kas pejabat dan elit-elit politik, sudah lebih
dari cukup untuk membiayai subsidi BBM sehingga kenaikan harga BBM tidak perlu
terjadi.
Kedua kekeliruan penghitungan subsidi BBM. Berdasarkan
kajian Indonesia
Corruption Watch (ICW) ditemukan ketidakwajaran dalam perhitungan subsidi BBM
yang dilakukan pemerintah sebagai basic
argument untuk menaikkan harga BBM. Berdasarkan harga patokan MOPS (Mean Oil Platt Singapore) yang didapat
dari publikasi harga rerata tahun sebelumnya, jika harga BBM premium dan solar
tidak naik (tetap Rp 4.500 per liter), total beban subsidi BBM dan LPG adalah
sebesar Rp 148,034. Akan tetapi penghitungan pemerintah cenderung naik sehingga
ada alasan untuk menaikan harga BMM yaitu beban subsidi BBM dan LPG mencapai Rp
178 triliun. Artinya ada selisih Rp 30 triliun dari asumsi
pemerintah. Begitu juga jika BBM premium dan solar dinaikkan menjadi Rp 6.000
per liter, total subsidi pemerintah hanya sebesar Rp 68,104 triliun. Sementara
pemerintah mengatakan (RAPBN Perubahan 2012) beban subsidi menjadi Rp 111,74
triliun. Menjadi tanda tanya bagi masyarakat adalah dengan parameter asumsi dan
metode yang sama kenapa hasil perhitungannya berbeda? Mungkin ada udang dibalik
batu terkait ketidakwajaran kebijakan menaikan harga BBM.
Ketiga kenaikan harga BBM
justru semakin mensengsarakan rakyat. Belajar dari kenaikan BBM tahun 2005 dan
2008 justru menimbulkan polemik dan kesengsaraan dalam masyarakat. Akan tetapi Menteri
Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan hal yang kontaradiktif dengan kondisi
yang dialami masyarakat bahwa harga kebutuhan pokok stabil bahkan beberapa
bahan pokok mengalami penurunan terutama beras, gula naik sedikit begitu pula
dengan minyak goring dan harga-harga lainya masih dalam batas wajar (republika.co.id 28/3/2012). Aneh bin
ajaib, pernyataan ini sungguh jauh dari normal dan hanya mementinkan
kepentingan pejabat saja tanpa melihat rakyatnya menjerit akibat kebijakan
sesat ini. Kenaikan BBM juga akan meningkatkan laju inflasi. Berdasarkan
keterangan Deputi Bidang Statistik,
Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Djamal bahwa Kenaikan
harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.500 per liter bakal menyumbang inflasi hingga
3%. Penulis memandang kenaikan harga BBM justru
berdampak pada peningkatan harga-harga sehingga mendorong laju inflasi pada
level yang cukup tinggi yang dapat memicu gejolak sosial di masyarakat serta
meningkatkan jumlah masyarakat miskin akibat daya beli masyarakat makin
merosot.
Jumlah masyarakat miskin yang diakui
pemerintah per maret 2011 sebanyak 30,2 juta jiwa, jika kita menggunakan data
penerima Raskin berjumlah diatas 70 juta apalagi kita gunakan data Worl Bank
masih diatas 100 juta. Berkaitan dengan program instan pemerintah dalam bentuk
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) hanya sebagai “pelepas dahaga
sesat” karena nilai, cakupan dan masa pemberiannya sangat terbatas sehingga
tidak dapat meredam dampak kenaikan harga BBM. Belajar dari kisruh Bantuan Langsung
Tunai (BLT) yang pernah direalisasikan SBY disamping menimbulkan chaos ditengah-tengah masyarakat juga
tidak dapat mengurangi angka kemiskinan dan beban hidup masyarakat. Contoh saja
kenaikan harga BBM tahun 2005 mengakibatkan menambah 16% orang miskin. Jika
regulasi ini tetap dimuluskan maka kejadian serupa akan terjadi dan angka kemiskinan
semakin melonjak.
Keempat kenaikan
harga BBM akan menguntungkan perusahaan asing. Dalam pradigma neoliberalisme,
subsidi BBM harus segera dihapuskan karena akan menjadi beban negara. Pada
pertemuan anggota G20 di Gyeongju, Korea Selatan terus mendorong negara-negara
anggota untuk menghilangkan subsidi karena dinilai tidak efisien.
Langkah-langkah neoliberalisme ini seakan-akan di patuhi oleh Pemerintah untuk
membukan “kran” seluas-luasnya untuk perusahan asing. Sebut saja UU 22 Tahun
2001 Tentang Migas, UU 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan kebijakan
lainya. Begitu juga pengelolaan SDA yang diprioritaskan kepada perusahaan
asing. Regulasi kenaikan harga BBM ini tentunya akan dinikmati oleh perusahaan
asing.
Solusi
Penulis mencoba “meramu” berbagai
polemik seputar kenaikan harga BBM dan mengelaborasi lebih jauh untuk mencari
titik taut yang dapat dijadikan solusi dalam pengelolaan minyak bumi demi
terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pertama
memperbaiki fasilitas transportasi umum. Mayoritas masyarakat Indonesia
menggunakan kendaraan pribadi dalam melaksanakan aktivitasnya. Hal ini tak
pelak mengakibatkan konsumsi BBM melonjak. Pengurangan penggunaan kendaraan
pribadi akan mengurangi konsumsi BBM secara signifikan. Namun, sayangnya hingga
saat ini tidak ada transportasi umum yang cukup nyaman sehingga masyarakat
beralih ke kendaraan pribadi. Mudahnya memperoleh kendaraan dan pajak barah
mewah yang murah menjadikan para pejabat atau masyarakat menengah ke atas untuk
memiliki kendaraan pribadi. Perlunya pengaturan kendaraan pribadi seperti di
Jepang dapat mengurangi pemakaian BBM dan sarana angkutan umum dapat menjadi
pilihan masyarakat.
Kedua
Pemerintah harus melakukan efisiensi pada berbagai lini/pos pengguna APBN
terutama biaya operasional dan belanja negara serta sarana prasarana pejabat
yang dinilai terlalu mewah.
Ketiga menekan
penguasaan migas oleh asing dan mengembalikannya ke dalam pengelolaan negara
sesuai dengan amanatkan pasal 3 ayat (3) UUD 1945. Saat ini pihak asing sudah mengendalikan produksi dan penjualan minyak dari
hulu hingga hilir, setidaknya 89% migas dikuasai
oleh asing (Tribun Jabar, 24/3/2012). Kondisi ini diperparah dengan izin pengelolaan sumur-sumur minyak
seperti Blok cepu yang dikendalikan oleh Exxon Mobil selama 30 tahun
kedepan. Begitu juga sumur minyak yang tersebar di tanah air hampir semuanya
dikendalikan oleh asing. Walupun dulu mantan Dirut Pertamina Wydia Purnama
pernah menentang kepemilikan asing dan mengatakan pertamina sanggup untuk
mengelolanya namun naluri pemerintah untuk menggadaikan asset negara ini pada
asing semakin kuat alhasil Wydia Purnama “disingkirkan” dari posisinya karena
dinilai tidak mendukung kebijakan pemerintah.
Jika minyak bumi dikelola oleh BUMN maka keuntungan akan lebih
dirasakan oleh masyarakat. Pengelolaan yang dominan oleh asing menandakan
negara gagal dalam memamfaatkan SDA yang ada. Kenaikan harga BMM jelas tidak
mensejahterakan rakyat, seharusnya pemerintah memikirkan solusi cerdas seperti
negara penghasil minyak lainnya yang mengelola minyaknya dengan baik dan
menjualnya lebih murah di dalam negeri. Sebut saja harga bensin di Arab
Saudi Rp 1.068,Bahrain Rp 2.403, Kuwait Rp 1.689, Iran Rp 979, Mesir Rp
2.848, Nigeria Rp 890, Qatar Rp. 1.958, Turmekistan Rp 750, bahkan Venezuela menjual
hanya Rp 495. Bayangkan negara penghasil minyak sendiri tapi harga BBM
melambung tidak sesuai dengan ekonomi masyarakat.
Keempat hal penting
yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengoptimalkan upaya pemberantasan KKN.
Praktek KKN sudah menjadi penyakit yang akut. Survei TII tahun 2011 menempatkan
Indonesia negara terkorup ke 4 di dunia. Sungguh prestasi yang menyakitkan,
oleh karena itu sudah saatnya hukuman mati dan pemiskinan bagi koruptor tanpa
tanpa tebang pilih. Jika KKN di negeri yang kaya akan SDA ini teratasi penulis
yakin masyakat akan sejahtera dan tidak akan ada gelombang penolakan terhadap
kebijakan pemerintah.
Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
*Tulisan ini dimuat di Koran Harian Padang Ekspres
Tidak ada komentar:
Posting Komentar