Senin, 10 September 2012

Anomali Kenaikan BBM *

  
Regulasi SBY menaikan harga BBM menimbulkan protes keras dari masyarakat terutama golongan menengah kebawah. Kebijakan pahit ini diambil menyusul kenaikan harga minyak mentah dunia. Bukannya mencari solusi tapi SBY malah mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan polemik dan gejolak serta penderitaan ditengah masyarakat. Ketidaknormalan kenaikan BBM tak terlepas dari ketidakmampuan Pemerintah dalam mengelola dan memamfaatkan SDA yang ada. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi, akan tetapi lumbung minyak di tanah air ini banyak dikelola oleh perusahaan asing. Pertamina sebagai jargon BUMN dalam pengelolaan minyak bumi hanya sebagai pajangan dan Pemerintah lebih bernafsu memberikan izin pengelolaan kepada perusahaan asing. Kondisi ini jelas berseberangan dengan konsep welfarestate (negara kesejahteraan). Jadi wajar penolakan di berbagai daerah bukti peringatan keberlangsungan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Demontrasi dan kecaman menjelang kenaikan harga BBM wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang tidak populis.  

Anomali
Dalam KBBI kata “anomali” berarti ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan. Terkait kebijakan pemerintah menaikan harga BBM penulis  melihat adanya ketidaknormalan dalam mengeluarkan kebijakan a quo. Setidaknya ada empat (4)  ketidaknormalan seputar kebijakan yang tidak populis yang hanya berfikir instan tanpa melihat penderitaan yang akan dialami oleh masyarakat. Pertama, jika kenaikan harga minyak dunia menjadi alasan pemerintah tidak sanggup membayar subsidi BBM yang telah dicanangkan APBN merupakan suatu pemikiran sesat. Apabila harga BBM tidak dinaikan sebenarnya dana subsidi yang ada di APBN tidak akan jebol karena pendapatan negara dari sektor minyak dan gas (migas), seperti pajak penghasilan (PPh) migas dan penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) minyak bumi masih mencukupi. Ditambah dengan penerimaan lain seperti pajak perdagangan internasional sebesar Rp 4 triliun dan hasil penghematan anggaran kementerian/lembaga sebesar Rp 18 triliun dan penerimaan lainnya (kompas.com).  Jika penerimaan negara benar-benar masuk ke kas negara tanpa “dibelokan” ke kas pejabat dan elit-elit politik, sudah lebih dari cukup untuk membiayai subsidi BBM sehingga kenaikan harga BBM tidak perlu terjadi.  

Kedua kekeliruan penghitungan subsidi BBM. Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) ditemukan ketidakwajaran dalam perhitungan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah sebagai basic argument untuk menaikkan harga BBM. Berdasarkan harga patokan MOPS (Mean Oil Platt Singapore) yang didapat dari publikasi harga rerata tahun sebelumnya, jika harga BBM premium dan solar tidak naik (tetap Rp 4.500 per liter), total beban subsidi BBM dan LPG adalah sebesar Rp 148,034. Akan tetapi penghitungan pemerintah cenderung naik sehingga ada alasan untuk menaikan harga BMM yaitu beban subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 178 triliun. Artinya ada selisih Rp 30 triliun dari asumsi pemerintah. Begitu juga jika BBM premium dan solar dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liter, total subsidi pemerintah hanya sebesar Rp 68,104 triliun. Sementara pemerintah mengatakan (RAPBN Perubahan 2012) beban subsidi menjadi Rp 111,74 triliun. Menjadi tanda tanya bagi masyarakat adalah dengan parameter asumsi dan metode yang sama kenapa hasil perhitungannya berbeda? Mungkin ada udang dibalik batu terkait ketidakwajaran kebijakan menaikan harga BBM.

Ketiga kenaikan harga BBM justru semakin mensengsarakan rakyat. Belajar dari kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008 justru menimbulkan polemik dan kesengsaraan dalam masyarakat. Akan tetapi Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan hal yang kontaradiktif dengan kondisi yang dialami masyarakat bahwa harga kebutuhan pokok stabil bahkan beberapa bahan pokok mengalami penurunan terutama beras, gula naik sedikit begitu pula dengan minyak goring dan harga-harga lainya masih dalam batas wajar (republika.co.id 28/3/2012). Aneh bin ajaib, pernyataan ini sungguh jauh dari normal dan hanya mementinkan kepentingan pejabat saja tanpa melihat rakyatnya menjerit akibat kebijakan sesat ini. Kenaikan BBM juga akan meningkatkan laju inflasi. Berdasarkan keterangan  Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Djamal bahwa Kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp1.500 per liter bakal menyumbang inflasi hingga 3%. Penulis memandang kenaikan harga BBM justru berdampak pada peningkatan harga-harga sehingga mendorong laju inflasi pada level yang cukup tinggi yang dapat memicu gejolak sosial di masyarakat serta meningkatkan jumlah masyarakat miskin akibat daya beli masyarakat makin merosot.

Jumlah masyarakat miskin yang diakui pemerintah per maret 2011 sebanyak 30,2 juta jiwa, jika kita menggunakan data penerima Raskin berjumlah diatas 70 juta apalagi kita gunakan data Worl Bank masih diatas 100 juta. Berkaitan dengan program instan pemerintah dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) hanya sebagai “pelepas dahaga sesat” karena nilai, cakupan dan masa pemberiannya sangat terbatas sehingga tidak dapat meredam dampak kenaikan harga BBM. Belajar dari kisruh Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang pernah direalisasikan SBY disamping menimbulkan chaos ditengah-tengah masyarakat juga tidak dapat mengurangi angka kemiskinan dan beban hidup masyarakat. Contoh saja kenaikan harga BBM tahun 2005 mengakibatkan menambah 16% orang miskin. Jika regulasi ini tetap dimuluskan maka kejadian serupa akan terjadi dan angka kemiskinan semakin melonjak.

Keempat kenaikan harga BBM akan menguntungkan perusahaan asing. Dalam pradigma neoliberalisme, subsidi BBM harus segera dihapuskan karena akan menjadi beban negara. Pada pertemuan anggota G20 di Gyeongju, Korea Selatan terus mendorong negara-negara anggota untuk menghilangkan subsidi karena dinilai tidak efisien. Langkah-langkah neoliberalisme ini seakan-akan di patuhi oleh Pemerintah untuk membukan “kran” seluas-luasnya untuk perusahan asing. Sebut saja UU 22 Tahun 2001 Tentang Migas, UU 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan kebijakan lainya. Begitu juga pengelolaan SDA yang diprioritaskan kepada perusahaan asing. Regulasi kenaikan harga BBM ini tentunya akan dinikmati oleh perusahaan asing. 

Solusi

Penulis mencoba “meramu” berbagai polemik seputar kenaikan harga BBM dan mengelaborasi lebih jauh untuk mencari titik taut yang dapat dijadikan solusi dalam pengelolaan minyak bumi demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pertama memperbaiki fasilitas transportasi umum. Mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan kendaraan pribadi dalam melaksanakan aktivitasnya. Hal ini tak pelak mengakibatkan konsumsi BBM melonjak. Pengurangan penggunaan kendaraan pribadi akan mengurangi konsumsi BBM secara signifikan. Namun, sayangnya hingga saat ini tidak ada transportasi umum yang cukup nyaman sehingga masyarakat beralih ke kendaraan pribadi. Mudahnya memperoleh kendaraan dan pajak barah mewah yang murah menjadikan para pejabat atau masyarakat menengah ke atas untuk memiliki kendaraan pribadi. Perlunya pengaturan kendaraan pribadi seperti di Jepang dapat mengurangi pemakaian BBM dan sarana angkutan umum dapat menjadi pilihan masyarakat.

Kedua Pemerintah harus melakukan efisiensi pada berbagai lini/pos pengguna APBN terutama biaya operasional dan belanja negara serta sarana prasarana pejabat yang dinilai terlalu mewah.

Ketiga menekan penguasaan migas oleh asing dan mengembalikannya ke dalam pengelolaan negara sesuai dengan amanatkan pasal 3 ayat (3) UUD 1945. Saat ini pihak asing sudah mengendalikan produksi dan penjualan minyak dari hulu hingga hilir, setidaknya 89% migas dikuasai oleh asing (Tribun Jabar, 24/3/2012). Kondisi ini diperparah dengan izin pengelolaan sumur-sumur minyak seperti  Blok cepu yang dikendalikan oleh Exxon Mobil selama 30 tahun kedepan. Begitu juga sumur minyak yang tersebar di tanah air hampir semuanya dikendalikan oleh asing. Walupun dulu mantan Dirut Pertamina Wydia Purnama pernah menentang kepemilikan asing dan mengatakan pertamina sanggup untuk mengelolanya namun naluri pemerintah untuk menggadaikan asset negara ini pada asing semakin kuat alhasil Wydia Purnama “disingkirkan” dari posisinya karena dinilai tidak mendukung kebijakan pemerintah.

Jika minyak bumi dikelola oleh BUMN maka keuntungan akan lebih dirasakan oleh masyarakat. Pengelolaan yang dominan oleh asing menandakan negara gagal dalam memamfaatkan SDA yang ada. Kenaikan harga BMM jelas tidak mensejahterakan rakyat, seharusnya pemerintah memikirkan solusi cerdas seperti negara penghasil minyak lainnya yang mengelola minyaknya dengan baik dan menjualnya lebih murah di dalam negeri. Sebut saja harga bensin di Arab Saudi  Rp 1.068,Bahrain Rp 2.403, Kuwait Rp 1.689, Iran Rp 979, Mesir Rp 2.848, Nigeria Rp 890, Qatar Rp. 1.958, Turmekistan Rp 750, bahkan Venezuela menjual hanya Rp 495. Bayangkan negara penghasil minyak sendiri tapi harga BBM melambung tidak sesuai dengan ekonomi masyarakat.

Keempat hal penting yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengoptimalkan upaya pemberantasan KKN. Praktek KKN sudah menjadi penyakit yang akut. Survei TII tahun 2011 menempatkan Indonesia negara terkorup ke 4 di dunia. Sungguh prestasi yang menyakitkan, oleh karena itu sudah saatnya hukuman mati dan pemiskinan bagi koruptor tanpa tanpa tebang pilih. Jika KKN di negeri yang kaya akan SDA ini teratasi penulis yakin masyakat akan sejahtera dan tidak akan ada gelombang penolakan terhadap kebijakan pemerintah.

Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
*Tulisan ini dimuat di Koran Harian Padang Ekspres

Tidak ada komentar:

Posting Komentar