Seiring dengan upaya menyelamatkan
hutan Indonesia yang tersisa, berbagai cara didorong oleh kelompok masyarakat
sipil untuk memastikan tidak ada lagi kegiatan mengkonversi kawasan hutan sesuai
dengan inisiatitif penundaan ijin baru serta konversi lahan gambut.
Pemerintahpun mencoba melakukan konsolidasi data dan informasi penguasaan
kawasan serta tutupan hutan dengan membuat Peta Indikasi Penundaan Ijin Baru
(PIPIB) melalui UKP4. Pembuatan PIPIB mendapatkan masukan-masukan yang sangat
berarti dari sthakholder demi kepastian kawasan hutan dan lahan gambut yang
harus tetap dijaga kelestariaanya. Perubahan demi perubahan PIPIB ini
mulai dari perubahan pertama memupuk harapan kelompok masyarakat sipil peduli
lingkungan dan pembela HAM untuk mampu memberikan perlindungan hutan serta
perlindungan hak masyarakat baik adat maupun lokal.
Namun pada kenyataannya, upaya tersebut
masih mendapat hambatan-hambatan yang besar bahkan dari pihak pemerintah
sendiri. Hal ini terlihat pelepasan kawasan hutan dari PIPIB. Dan puncak inkonsistensi pemerintah terjadi
pada tanggal 6 Juli 2012, dengan keluarnya Peraturan
Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun
2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (PP 60)
serta Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan (PP
61). Kedua PP ini dinilai “memutihkan”
izin-izin perkebunan[3] dan
pertambangan[4] di
kawasan hutan yang selama ini illegal (tidak mengantongi izin pinjam pakai).
Pemutihan izin perkebunan dan tambang ”ilegal” yang selama ini hanya berbekal
izin kepala daerah akan membuka potensi konflik baru. Setidaknya penulis
mencatat ada beberapa persoalan pada PP 60
dan PP 61.
Pertama terkait tukar guling kawasan hutan. Dalam Undang-Undang
Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 (UU Kehutanan) merupakan dasar hukum lahirnya PP
60 dan 61 ini. Akan tetapi ada penyimpangan terutama pada PP 60 terkait land
swapt atau tukar guling lahan/kawasan, dimana dalam UU Kehutanan tidak
ada mengaturnya.[5]
Sehingga sangat tidak mendasar penggunaan tukar guling akan memberikan kepastian
perlindungan terhadap kawasan masyarakatpun. Justru sebaliknya tukar guling ini
akan menjadi terancam , karena pengusaha dengan mudah mendapatkan peluang untuk
mengambil lahan dan mendapatkan alih fungsi lahan tanpa mengikuti prosedur
tentang pengukuhan kawasan hutan terlebih dahulu. Karena jelas dalam UU Kehutanan
disebutkan bahwa yang memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan adalah
kegiatan pengukuhan kawasan sebagaimana pasal 14 dan 15. Bukan penunjukan
dan tukar guling. Apalagi pasca putusan MK Nomor: 45-PUU-IX/2011[6] yang dibacakan pada tanggal 21 Februari 2012 telah mengokohkan bahwa
penentuan kawasan hutan harus sesuai dengan pasal 15 UU Kehutaan bukan hanya
sekedar penunjukan belaka. Begitu juga peran serta masyarakat dalam pemamfaatan
lahan dan alih fungsi kawasan hutan juga dipertegas dalam Putusan MK Nomor:
34/PUU-IX/2011[7]
dan begitu juga Putusan MK Nomor:
32/PUU-VIII/2010 mengamanatkan peran dan persetujuan
masyarakat setempat terkait dengan persetujuan tambang.[8]
Kedua Penyelamatan
perkebunan besar. Pasal 51 A dan 51 B PP
No 60/2012 hanya menyebut izin ”Kegiatan
usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah...”. artinya PP ini hanya mengatur izin usaha perkebunan pada luasan di atas
25 hektar (perkebunan sedang/besar). Sementara perkebunan kecil (di bawah 25
hektar) hanya diwajibkan mengurus Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan dari
bupati/wali kota. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007
tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Yang mengganjal dibenak
penulis adalah kenapa perkebunan besar diberi
pemutihan, sedangkan perkebunan kecil yang notabene milik rakyat kecil tak
diwadahi? Tentunya ada niat jahat dalam PP No 60 untuk memutihkan izin-izin
ilegal perkebunan besar.
Ketiga pemutihan
pelanggaran hukum. Dalam PP 60 dan juga PP 61 tersebut akan memutihkan
pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan yang berproduksi di kawasan hutan.
Selain melanggar batas hutan, tak sedikit perusahaan yang melanggar tata ruang.
Seharusnya pengembangan sektor industri di Area Peruntukan Lain (APL), bukan di
kawasan hutan lindung, produksi dan konversi. Meski hutan konversi dapat
dialihfungsikan untuk kegiatan industri, namun ada proses yang harus dilalui
sebelum perusahaan yang bersangkutan dapat berproduksi di kawasan hutan
konversi yang salah satunya adalah proses pelepasan kawasan. Jika ada
perusahaan yang tidak mematuhi proses itu, maka dikategorikan melakukan
pelanggaran hukum.
Jika kita elaborasi lebih dalam PP 60
dan 61 ini memiliki potensi untuk memberikan impunitas atas pelanggaran hukum
dan mencoba menyalahkan pemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007
Tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang)[9] yang dikesankan telah
mengakibatkan kerancuan hukum. Oleh karena itu untuk membenahi dan
menyelaraskan penataan ruang dan ijin-ijin (ijin illegal) yang sudah terlanjur
dikeluarkan ,dengan memandatkan pada kemenhut agar menata perijinan dikawasan
hutan melalui kedua PP tersebut. Jika kita menilik pada UU Penataan Ruang pada
Bagian Ketiga tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pasal 37 ayat (3), (4),
(6), (7). Dimana ijin yang tidak berkesesuaian dengan UU dapat dicabut. Artinya
jika ada ijin pemanfaatan yang tidak berkesesuaian dengan fungsi kawasan
ataupun dengan UU dapat dicabut atau dibatalkan dan merupakan pelanggaran hukum.
Saat ini banyak perusahan yang sudah beroperasi dan mengantongi Ijin-ijin
perkebunan dan pertambangan yang terdapat dikawasan hutan tetapi belum
mengantongi ijin pinjam pakai kawasan hutan. Oleh karena itu penulis mencium
lahirnya PP 60 dan 61 ini sebagai hero
dan memutihkan pelanggaran atau tindak pidana yang telah terjadi selama ini.[10]
Keempat lemahnya kontrol dan penegakan hukum. Jika kita lihat
lahirnya PP 60 dan 61 adalah wujud ketidak mampuan pemerintah dan aparat
penegak hukum untuk menindak pelanggaran hukum yang selama ini terjadi baik
itu disektor kehutanan dan Lingkungan hidup.[11] Pelanggaran hukum yang berlangsung sekian
lama dan tidak adanya political will
dari pemerintah menandakan ada dugaan perselingkuhan bandit-bandit berdasi
(dalam hal izin perkebunan dan pertambangan) dengan pengambil kebijakan dibalik
lahirnya kedua PP ini.
Penulis melihat PP 60 dan PP 61 merupakan manuver pemerintah
untuk memberikan impunitas atau pemutihan bagi perkebunan sawit yang sudah
beroperasi dan mengantongi izin di kawasan hutan walaupun prosesnya cacat.[12] Seharusnya pemerintah
pusat tidak menerbitkan regulasi ini, tapi melakukan pendekatan dengan
pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah yang ada, salah satunya soal tata
batasan kawasan hutan negara. Tidak jelasnya tata batas kawasan hutan negara,
mengakibatkan maraknya ilegalitas dalam penggunaan wilayah hutan. Pemerintah daerah
adalah pihak yang paling berwenang dalam menerbitkan izin perkebunan dan
pertambangan apalagi sejak diterbitkannya UU Otonomi Daerah (Otda), walaupun
tidak terlepas dari peran pemerintah pusat suntuk koordinasi. Sayangnya,
kewenangan yang ada di tingkat Pemda di sektor kehutanan itu tidak jelas. Hal itu berpengaruh terhadap berbagai izin
yang diterbitkan Pemda.
Pemerintah, sebenarnya telah menerbitkan aturan mengenai
Penundaan Ijin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut (moratorium) berdasarkan
Inpres No. 10 Tahun 2011. Tetapi
kehadiran PP No. 60 Tahun 2012 dan PP No. 61 Tahun 2012 tidak sejalan dengan
Inpres dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait penyelamatan hutan. Jadi tidaklah tepat apabila Peraturan Pemerintah justru
membenarkan ijin yang tidak berkesesuaian tersebut. Dan apabila terjadi
penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang maka pihak yang melakukan
penyimpangan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara prinsip antara PP No. 60 dan PP 61 adalah sama hanya
subyek hukumnya saja yang berbeda yaitu
usaha Perkebunan dan usaha Pertambangan, Tetapi aroma dan niat jahat yang ada
dalam PP tersebut sama-sama meligitimasi pelanggaran UU Kehutanan dan UU Penataan
Ruang. Secara Yuridis bahwa Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 terutama
dalam pasal 51 A dan pasal 51 B dan PP 61 dan Pasal 25 A PP 60 bertentangan
dengan Undang-Undang diatasnya.
Oleh karena itu kita harus mendorong pemerintah untuk
segera:
1.
Melakukan pengukuhan kawasan hutan
sesuai dengan pasal 15 UU Kehutanaan dan sebagaimana telah diperkuat oleh
Putusan MK Nomor 45/PUU-II/2011 yaitu melakukan penunjukan, penataan batas,
pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat.
2.
Melakukan review terhadap berbagai
ijin-ijin serta kebijakan yang cenderung merugikan negara.
3. Menindak tegas pelanggaran hukum yang terjadi baik itu tindak
pidana kehutanan, Lingkungan dan juga KKN.
4. Membatalkan dan Mencabut kembali Peraturan Pemerintah
Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010
Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta
Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Jika
pemerintah tidak mencabut dapat melaukan Judicial Review ke Mahkamah Agung
karena PP ini bertentangan dengan UU.
Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004.
Undang-Undang
Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 45-PUU-IX/2011pengujian Undang-Undang 41 tahun 1999
tentang Kehutanan
Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 32/PUU-VIII/2010 pengujian Undang-undang Pertambangan Minerba
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011Pengujian Undang-Undang No. 41
Tahun 1999
Peraturan
Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun
2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta
Peraturan
Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan
Lahan Gambut
Peraturan
Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
[1] Tulisan mengkaji regulasi yang tidak partisipatif yang cenderung
memihak perusahaan besar. Lahirnya PP 60 dan 61 ini wujud legislasi darurat
yang terjadi di Indonesia dimana kedua PP ini melegalkan tindakan yang selama
ini illegal. Pemutihan pelanggaran hukum dalam PP ini terkhusus pada izin
perkebunan dan Pertambangan yang masuk kawasan hutan tetapi tidak mengantongi
izin pinjam pakai.
[2] Penulis adalah peneliti hukum dan analisis kebijakan
KKI Warsi.
[3] Lihat PP 60 pasal 51A ayat (1) dan (2) mengatakan Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan
oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau
Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 areal tersebut merupakan
kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi, pemegang izin
dalam jangka waktu paling lama 6 (enam)
bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan
hutan kepada Menteri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan. Berdasarkan Pasal
51A ini terganbar jelas bahwa ada niat jahat pemerintah untuk melegalkan
perbuatan illegal yang selama ini terjadih. Dalam pasal ini tergambar bahwa
banyak izin usaha yang tidak sesuai dengan aturan. Yang menjadih pertanyaan
kenapa banyak perusahan memperoleh izin usaha dan tetap beroperasi?. Besar
dugaan bahwa dalam proses perizinan dan pengawasannya ada potensi korupsi.
Karena tidak adanya political will atau ada perselingkuhan antara pengambil
kebijakan dengan pemegang izin usaha memunculkan regulasi bari (PP 60) ini
sebagai legalitas untuk “memutihkan” pelanggran yang terjadih selama ini. Aroma
ini juga di usung oleh PP 61 sebagai rekanya PP 60 untuk mengusun misi
pemutihan Pelanggaran izin usaha Perkebunan dan pertambangan yang dilakukan
oleh perusahan besar.
[4] Lihat PP 61 tahun 2012 Pasal 25A ayat (1) dan (2) mengatakan (1) Kegiatan usaha Pertambangan yang izinnya diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi yang
ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi,
pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada Menteri. (2) Berdasarkan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat menerbitkan izin
pinjam pakai kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
pemenuhan kewajiban dinyatakan lengkap
dan benar. Tergambar jelas bahwa PP 61 ini membawa aroma yang serupa untuk
melindungi izin usaha dalam hal ini Pertambangan illegal yang selama ini telah
beroperasi dan memperoleh izin.
[5] Lihat lebih jelas PP 60 Pasal 51B ayat (1), (2) dan (3)
mengatakan (1) Kegiatan usaha
perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau
Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi
tetap dan/atau hutan produksi terbatas, pemegang izin dalam jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan
permohonan tukar menukar kawasan hutan kepadaMenteri.(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan menyediakan lahan penggantidalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)disetujui.(3) Dalam hal pemohon telah
menyediakan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat
menerbitkan pelepasan kawasan hutan.
[6] Seluruh kawasan hutan yang ada sebelum Putusan MK
45/PUU-IX/2011 adalah kawasan hutan yang sah. Tapi pada kenyataannya ± 89% atau 121,74 juta Ha diantranya merupakan
kawasan yang secara subtantif inkonstitutional. Kawasan ini berpotensi akan dimamfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu untuk dialihfungsikan kawasan hutan menjadi nonhutan.
Begitu juga potensi konflik tenurial dengan masyarakat yang berdiam didalam dan
sekitarnnya. Ada terdapat ± 31.957 Desa
yang berada didalam dan disekitar kawasan hutan jika ini tidak diselesaikan
maka konflik yang akan terjadi seperti halnya bom waktu yang akan meledak.
[7] Putusan Judicial Riview pasal 4
ayat (3) UU Kehutanan yang dimohonkan oleh Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad seorang Pengusaha
Jambi. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat
(3) UU Kehutanan hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat (hak komunal/ hak
pertuanan), padahal seharusnya juga memperhatikan hak hak atas tanah yang
dimiliki oleh masyarakat, sehingga bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dalam
pertimbangannya MK membenarkan substansi dalil permohonan pemohon. MK memandang
bisa saja dalam wilayah tertentu terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah,
seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas
tanah (hak atas tanah dalam UUPA). Hak-hak yang demikian harus mendapat
perlindungan konstitusional. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara
harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat
yang telah dimuat dalam norma a quo; begitu juga mahkamah lebih lanjut
mengatakan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang
hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 32/PUU-VIII/
2010 Pengujian UU Minerba, bertanggal 4 Juni 2012, bahwa kata “memperhatikan”
dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif
berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan,
berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk
fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional
warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi
dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapa pun. Oleh karena itu MK menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap
wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat,
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang
diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional”;
[8] Putusan MK No. 32/PUU-VIII/2010
adalah Pengujian UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba yang diajukan oleh 5 LSM yaitu WALHI dan
PBHI, Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Koalisi untuk Keadilan
Perikanan (KIARA), Solidaritas Perempuan (SP) dan 16 orang masyarakat.
Dalam putusannya MK menyatakan bahwa
Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “memperhatikan
pendapat…masyarakat…”tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “wajib
melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah
maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan
masyarakat yang akan terkena dampak”; Artinya pasal 10 huruf b ini
mengamanatkan kepada pemberi izin (pemerintah) dalam proses perizinan tambang
wajib atau harus melibatkan masyarakat.
[9] Begitu juga terkait dengan RTRWP yang
diamanatkan dalam UU 26 tahun 2007 perlu
diketahui bahwa sampai saat ini banyak daerah baik itu provinsi dan kabupaten
yang belum selesai menyusun RTRWP sesuai dengan amanat UU 26 tahun 2007.
Padahal sejak UU dikeluarkan telah memberikan waktu tiga tahun untuk RTRWP
kabupaten/kota (2009) dan tiga tahun untuk RTRWP Provinsi (2010). Berdasarkan
catatan penulis pada februari 2012 dari 33 provinsi hanya 12 Provinsi yang baru
menyelesaikan RTRWPnya sedangkan Kabupaten/kota baru 93 dari 491 yang ada di
Indonesia.
[10] Permasalah
izin peruntukan kawasan dan lahan ini khususnya untuk pertambangan dipertegas
dengan data Kementerian Energi
Sumber dan Daya Mineral mencatat dari 10.235 izin usaha pertambangan (IUP),
baru 4.151 izin yang dinyatakan tidak bermasalah alias clean and clear.
Artinya, 59 persen atau 6.084 izin tambang masih bermasalah. Khusus Provinsi Jambi Berdasarkan data DPRD
Provinsi Jambi tahun 2012 terdapat 449 Izin Pertambangan. Izin eksplorasi
sebanyak 344 izin atau seluas 727.844 Ha. Sisanya 105 izin seluas 97.388 Ha
izin eksploitasi. Total izin
pertambangan sebenarnya mencapai 1,1 juta Ha dari jumlah itu 825.232 Ha masih
aktif. Sebanyak 349.905 Ha berada di kawasan di 233 titik kawasan hutan baik HP
dan HL maupun HPT. (Jambi Independent 29 Februari 2012). Dan ada beberapa
perusahan yang belum mengantongi izin pinjam pakai kepada Menhut terkait izin
yang berada di kawasan hutan.
[11] Khusus untuk dokumen lingkungan perusahan tambang batu
bara di Jambi, pada tahun 2010 ada 111 Perusahaan
yang terdaftar dan hanya 12 yang
memiliki AMDAL, 19 KA ANDAL, 38 UKL-UPL, 2 perusahaan lagi Proses AMDAL dan 1
DPPL. Artinya ada 72 perusahan batu bara yang sudah punya dan sedang mengurus
dokumen lingkungan (65%) sedangkan 39 perusahaan lainnya tidak memiliki dan
mengurus dokumen lingkungan yang merupakan kewajiban perusahan. Padahal baik perusahan
yang sedang mengurus dokumen lingkungan
dan tidak memiliki dokumen lingkungan sudah mengantongi izin.
[12] Proses cacat yang dimaksud adalah tidak adanya izin
pinjam pakai atau pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu begitu jugu dalam
pengurusan dokumen lingkungan yang tidak sesuai dengan aturan sedangkan
perusahan yang bersangkutan sudah beroperasi dan mendapt legalitas perizinan
dari kepala daerah (pemerintah). Hal ini tentu menjadi tanda tanya kenapa izin
yang dikeluarkan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Besar dugaan adanya
praktik korupsi dalam pengurusan izin begitu juga ketika perusahan beroperasi
sarat dengan pemberian fee kepada
oknum-oknum tertentu.
Oleh: Ilham Kurniawan Dartias,[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar