Maraknya akademisi yang
menjadi saksi ahli koruptor menyentuh rasa keadilan masyarakat. Dengan berkedok
memberikan keterangan ahli pernyataan yang keluar justru meringankan koruptor.
Entah apa yang ada dalam benak ahli (akademisi) ini untuk memberikan keterangan
yang meringankan bahkan membebaskan koruptor. Tindakan ini bertolak belakang
dengan semangat pemberantasan korupsi. Seharusnya sang ahli benar-benar
memberikan keterangan sesuai dengan hati nurani dengan mengedepankan kebenaran
bukan memberikan keterangan untuk membenarkan tindakan koruptor bukanlan suatu
tindak pidana korupsi.
Urgensi Keterangan Ahli
Pasal 184 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berkaitan dengan alat bukti.
Salah satunya ada keterangan ahli. Pengertian umum dari keterangan ahli
dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 menyebutkan keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Selanjutnya pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa
yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan ahli secara
prinsip dibutuhkan dalam sebagai salah satu proses dalam hukum acara pidana
agar lebih terangnya duduk perkara tindak pidana yang terjadi. Adanya
kejanggalan atau keraguan dari hakim atau para pihak terhadap suatu perkara
yang terjadi menjadikan keterangan ahli menjadi salah satu jalan untuk
menerangkan supaya kasus yang kabur menjadi terang dan jelas. Tentunya
keterangan yang diberikan saksi ahli sesuai dengan keahlian yang dimilikinya
berdasarkan prinsip, keadilan, akuntabilitas dan semangat penegakan hukum.
Bukan keterangan yang sesuai dengan pesanan dari pihak yang berpekara (Baca:
Koruptor), agar sang koruptor terlepas dari jerat hukum tetapi mencari titik
terang kasus yang sedang terjadi.
Jika pendapat atau
keterangan yang diberikan dihargai dengan rupiah tentunya ini sangat miris.
Apalagi ini dilakukan oleh akademisi yang notabene mendidik mahasiswa hukum
untuk menegakan hukum dan mencari keadilan substantif. Deal-deal keterangan
ahli dengan koruptor tak ubahnya “penjualan harga diri” karena ilmu yang didapat
bukan untuk menegakan hukum tapi demi kenikmatan dan materi semata. Tak hayal
pendapat ahli dapat disesuaikan dengan besaran pendapatan yang diterimanya dari
koruptor. Sang ahli tak ubahnya sebagai “juru bicara” koruptor yang berlindung
dibalik jubah agung akademisi atau keahlian yang dimilikinya.
Etika
Penegakan Hukum
Maraknya akademisi yang
memberikan keterangan ahli terhadap kasus korupsi menjadi perbincangan dan
kecuman dari para penggiat anti korupsi. Disatu sisi sang ahli berbicara peran
dari akademisi dalam menerapkan hukum akan tetapi kenyataanya cenderung
keterangan ahli membebaskan koruptor. Inikan yang dinamakan menegakan hukum?.
Bagaimana kita akan memberangus korupsi jika sang ahli berperan sebagai juri
bicara koruptor.
Sang ahli selalu
berkelit bahwa apa yang dilakukan atau keterangan ahli yang diberikan menurut
keilmuan dan hati nuraninya, akan tetapi berbagai pihak menilai keterangan yang
di berikan dipersidangan cenderung di akal-akali agar sang jurangan (baca:
koruptor) terbebaskan dari tuntutan hukum.
Hal ini sesuai dengan
teori plurarisme hukum yang dikemukakan John Griffiths, pluralisme hukum adalah
hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial
(Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik
terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal
centralism).
Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah
menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan
dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum
juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan
diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dapat dikatakan sebagai
hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses
dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu
(Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif,
dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.
Teori plurarisme hukum ini cenderung dimamfaatkan oleh
penguasa, pengusaha atau kaum intelek untuk memilih (mengakali) hukum yang
menguntungkan bagi mereka. Misalnya dalam kasus Azhar Latief, mereka memakai
Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian
Perusahaan Daerah Air Minum dimana direksi boleh memakai 75 persen dari
pendapatan direksi satu tahun. Akan tetapi sang ahli tidak mengindahkan unsur
tindak pidana korupsi yang sudah terpenuhi berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal
18 Ayat huruf (b) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dalam UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Perilaku sang ahli
menjadi juru bicara koruptor sungguh jauh dari etika akademik dan penegakan
hukum. Sang ahli sudah menjual harga akademiknya demi kepuasan jurangan (koruptor).
Padahal masyarakat mengidamkan nuansa keadilan dan pemberantasan korupsi tanpa
pandang bulu. Jika perilaku abmoral ini terus berlanjut tentunya pemberantasan
korupsi hanya angin-anginan saja.
Ilham Kurniawan Dartias
Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar
*Tulisan ini dimuat pada koran Padang Ekspres, http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar