Senin, 10 September 2012

Jubir Koruptor*




Maraknya akademisi yang menjadi saksi ahli koruptor menyentuh rasa keadilan masyarakat. Dengan berkedok memberikan keterangan ahli pernyataan yang keluar justru meringankan koruptor. Entah apa yang ada dalam benak ahli (akademisi) ini untuk memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor. Tindakan ini bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Seharusnya sang ahli benar-benar memberikan keterangan sesuai dengan hati nurani dengan mengedepankan kebenaran bukan memberikan keterangan untuk membenarkan tindakan koruptor bukanlan suatu tindak pidana korupsi.

Urgensi Keterangan Ahli

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berkaitan dengan alat bukti. Salah satunya ada keterangan ahli. Pengertian umum dari keterangan ahli dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 menyebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan ahli secara prinsip dibutuhkan dalam sebagai salah satu proses dalam hukum acara pidana agar lebih terangnya duduk perkara tindak pidana yang terjadi. Adanya kejanggalan atau keraguan dari hakim atau para pihak terhadap suatu perkara yang terjadi menjadikan keterangan ahli menjadi salah satu jalan untuk menerangkan supaya kasus yang kabur menjadi terang dan jelas. Tentunya keterangan yang diberikan saksi ahli sesuai dengan keahlian yang dimilikinya berdasarkan prinsip, keadilan, akuntabilitas dan semangat penegakan hukum. Bukan keterangan yang sesuai dengan pesanan dari pihak yang berpekara (Baca: Koruptor), agar sang koruptor terlepas dari jerat hukum tetapi mencari titik terang kasus yang sedang terjadi.

Jika pendapat atau keterangan yang diberikan dihargai dengan rupiah tentunya ini sangat miris. Apalagi ini dilakukan oleh akademisi yang notabene mendidik mahasiswa hukum untuk menegakan hukum dan mencari keadilan substantif. Deal-deal keterangan ahli dengan koruptor tak ubahnya “penjualan harga diri” karena ilmu yang didapat bukan untuk menegakan hukum tapi demi kenikmatan dan materi semata. Tak hayal pendapat ahli dapat disesuaikan dengan besaran pendapatan yang diterimanya dari koruptor. Sang ahli tak ubahnya sebagai “juru bicara” koruptor yang berlindung dibalik jubah agung akademisi atau keahlian yang dimilikinya.

Etika Penegakan Hukum

Maraknya akademisi yang memberikan keterangan ahli terhadap kasus korupsi menjadi perbincangan dan kecuman dari para penggiat anti korupsi. Disatu sisi sang ahli berbicara peran dari akademisi dalam menerapkan hukum akan tetapi kenyataanya cenderung keterangan ahli membebaskan koruptor. Inikan yang dinamakan menegakan hukum?. Bagaimana kita akan memberangus korupsi jika sang ahli berperan sebagai juri bicara koruptor.

Sang ahli selalu berkelit bahwa apa yang dilakukan atau keterangan ahli yang diberikan menurut keilmuan dan hati nuraninya, akan tetapi berbagai pihak menilai keterangan yang di berikan dipersidangan cenderung di akal-akali agar sang jurangan (baca: koruptor) terbebaskan dari tuntutan hukum.
Hal ini sesuai dengan teori plurarisme hukum yang dikemukakan John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism).

Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.

Teori plurarisme hukum ini cenderung  dimamfaatkan oleh penguasa, pengusaha atau kaum intelek untuk memilih (mengakali) hukum yang menguntungkan bagi mereka. Misalnya dalam kasus Azhar Latief, mereka memakai Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum dimana direksi boleh memakai 75 persen dari pendapatan direksi satu tahun. Akan tetapi sang ahli tidak mengindahkan unsur tindak pidana korupsi yang sudah terpenuhi berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat huruf (b) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perilaku sang ahli menjadi juru bicara koruptor sungguh jauh dari etika akademik dan penegakan hukum. Sang ahli sudah menjual harga akademiknya demi kepuasan jurangan (koruptor). Padahal masyarakat mengidamkan nuansa keadilan dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Jika perilaku abmoral ini terus berlanjut tentunya pemberantasan korupsi hanya angin-anginan saja.
Ilham Kurniawan Dartias
Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar

*Tulisan ini dimuat pada koran Padang Ekspres, http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1159

Tidak ada komentar:

Posting Komentar