Selasa, 16 Oktober 2012

Jubir Koruptor

Ilham Kurniawan Dartias
Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar


Maraknya akademisi yang menjadi saksi ahli koruptor menyentuh rasa keadilan masyarakat. Dengan berkedok memberikan keterangan ahli pernyataan yang keluar justru meringankan koruptor. Entah apa yang ada dalam benak ahli (akademisi) ini untuk memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor. Tindakan ini bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Seharusnya sang ahli benar-benar memberikan keterangan sesuai dengan hati nurani dengan mengedepankan kebenaran bukan memberikan keterangan untuk membenarkan tindakan koruptor bukanlan suatu tindak pidana korupsi.

Urgensi Saksi Ahli

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berkaitan dengan alat bukti. Salah satunya ada keterangan ahli. Pengertian umum dari keterangan ahli dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 menyebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Menyoal Revisi UU MK*

Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand

Sudah hampir delapan (8) tahun sejak berdirinya, MK telah menjadi sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan (justisiabellen).
Keputusan-keputusan MK tidak hanya menjadi perhatian publik tetapi juga akademisi dan peneliti hukum memberikan apresiasi karena Putusan MK yang tidak hanya berdasarkan pada hukum positif saja tapi MK menyelami lebih dalam lagi keadilan yang ada dalam masyarakat.

Banyak kejutan-kejutan lain dalam konsep berhukum Indonesia melalui putusan-putusan MK yang membuat publik berpikir masih terdapat harapan dalam memperjuangkan keadilan. Pada kenyataannya, MK tidak hanya berani dalam memutus fakta-fakta hukum yang ada, namun lebih jauh dari itu MK juga melakukan pembenahan yang berani dalam bentuk-bentuk putusannya.

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT MELALUI SKEMA HUTAN DESA


Oleh :
Ilham Kurniawan Dartias 
(Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi)

PENDAHULUAN
Perubahan paradigma dalam hal pengelolaan hutan yang semula top-down menjadi bottom-up dan juga perubahan pola pendekatan konservatif menjadi partisipatif telah menjadi bentuk baru kebijakan pemerintah dalam konteks pengelolaan hutan. Ini tidak terlepas dari peralihan orde baru ke orde reformasi, yang kemudian ikut mempengaruhi politik hukum pemerintah terkait pengelolaan hutan, sebagai imbas dari buruknya konsep pengelolaan hutan di zaman orde baru .

Minggu, 14 Oktober 2012

Selamatkan APBD! *


Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Korupsi bagaikan tumor ganas yang telah menyebar ke sendi-sendi dan mendarah daging dalam ke­hidu­pan bangsa. Penyakit ini sudah sangat akut terutama korupsi yang berjangkit di pejabat negara baik pusat maupun daerah. Berdasarkan survey inter­na­sional tahun 2012 yang dirilis sebuah lembaga independenTransparency International, dari 146 negara, tercatat Indonesia sebagai negara kelima ter­ko­rup di dunia. Sedangkan secara nasio­nal berdasarkan data PPATK me­nem­pat­kan Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah terkorup dan seluruh provinsi melakukan praktik kotor penghisapan APBD. Suatu prestasi yang beriringan prestasi korupsi negara ini secara internasional masuk kategori lima besar dan dalam level nasional seluruh pemerintah daerah pelakukan praktik korupsi.    

APBD Ladang Basah

Pascareformasi terjadi perubahan sistem pemerintahan yang awalnya (baca: Orde Baru) bersifat sentralistik mulai bergeser menjadi desentralistik. Hal ini tampak jelas dengan lahirnya UU 22 tahun 1999 dan UU 12 Tahun 2008 sebagaimana revisi kedua UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang notabene memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola potensi yang ada di daerahnya. Akan tetapi kondisi ini justru dijadikan celah oleh beberapa kepala daerah dan elite-elite lokal untuk memainkan perannya sebagai penghisap uang rakyat. Niat jahat dan pradigma sesat ini berujung pada semakin meningkatnya kepala daerah dan elite-elite lokal yang terjerat kasus korupsi. Berdasarkan catatan Ke­men­dagri terdapat 173 kepala daerah ter­sangkut kasus korupsi dengan status mulai dari saksi, tersangka, terdakwa hing­ga terpidana sejak tahun 2004-2012.

Ahli Koruptor *



Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Peneliti Pusako FH Unand dan Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar
 

Vonis bebas koruptor di Pengadilan Tipikor daerah menyayat hati para pegiat hukum dan pejuang antikorupsi. Berdasarkan catatan ICW, ada 40 terdakwa koruptor yang dibebaskan di Pengadilan Tipikor daerah (kompas.com). Bebasnya koruptor tidak terlepas dari peran kaum intelektual yang ”melacurkan” gelar akademiknya (guru besar). Sungguh mengerikan jika pemberantasan korupsi yang ditopang dengan semangat moral justru diamputasi dan menjadi ladang uang sang intelektual. Permainan rupiah ini menjadikan guru besar sebagai tunggangan koruptor yang dapat dipesan agar memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor.

Pendidikan (Anti) Korupsi*



Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
Staf Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi
 
Wacana untuk memasukkan pen­didikan antikorupsi di lembaga pen­didikan mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan perguruan tinggi yang dilontarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) patut diacungkan jempol. Untuk perguruan tinggi, pendidikan anti korupsi diusulkan untuk masuk dalam mata kuliah. Sedangkan di tingkat sekolah, diusulkan masuk ke dalam mata pelajaran Pendidikan Pan­casila dan Kewar­ga­ne­garaan (PPKn) (kompas,20/06/2012). Ide memasukkan pendidikan anti korupsi ini tidak terlepas dari korupsi yang sudah masif di negara ini.  Diharapkan generasi muda yang telah dididik untuk tidak melakukan praktik korupsi jika mereka telah dewasa atau menjadi pejabat dan aparat penegak hukum nantinya. Ini menandakan bahwa KPK benar-benar serius dalam memberantas korupsi, tidak hanya penegakan hukum juga pem­bentukan moral serta pola pikir masyarakat terutama generasi muda calon pemimpin bangsa terkait bahaya laten ko­rupsi. Langkah ini me­rupakan upaya preventif (pencegahan) disamping upa­ya represif (penindakan) yang dilakukan KPK dalam memberantas virus korupsi di Indonesia.

No Izin Presiden Pemeriksaan Kepala Daerah*


  

Keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang pengujian pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda), membawa angin segar dalam penegakan hukum terhadap kepala daerah yang bermasalah. Dalam putusannya MK membatalkan pasal 36 ayat (1) yang menyatakan bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah  dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik dan pasal 36 ayat (2) yang mengatakan bahwa dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Sebelum judicial review UU a quo dikabulkan, kepala daerah masih memiliki amunisi untuk tidak diperiksa oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) karena harus terlebih dahulu mengantongi izin dari presiden.

Akan tetapi, terhadap tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan pada pasal 36 ayat (3) UU Pemda, tetap konstitusional. Artinya penahanan kepala daerah masih memerlukan persetujuan tertulis dari presiden. Akan tetapi MK memandang waktu 60 hari tidak eektif, efisien dan memperlambat proses hukum, maka MK memotong waktu balas jawab presiden menjadi 30 hari sejak dimohonkan. Diharapkan izin penahanan ini tidak menjadi sandungan dalam upaya penegakan hukum.

Dengan lahirnya putusan MK ini diharapkan dapat meningkatkan penegakan hukum terhadap kepala daerah yang bermasalah, karena kenyataanya surat sakti presiden cenderung menjadi sandungan bagi aparat penegak hukum dalam menguak kasus tindak pidana terutama kasus korupsi yang melilit kepala daerah.

Tren korupsi

Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin meluas dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat, pemerintahan pusat maupun daerah. Akutnya penyakit korupsi di Indonesia tergambar dari hasil survey dalam 10 tahun yang dilakukan oleh Transparency International (Tl). Berdasarkan survey persepsi masyarakat intemasional menempatkan Indonesia dalam kelompok negara-negara terkorup di dunia. Dari Corruption Perception Index (CPl) untuk 10 (terbersih) hingga 0 (terkorup), Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010 selalu di bawah angka 3 atau masih tergolong negara paling korup. Pada tahun 2010 dengan CPI senilai 2,8 Indonesia berada di posisi 110 dari 178 jumlah negara. Kondisi ini berbanding lurus dengan survey nasional yang dilakukan oleh  Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Oktober 2010 dari 1.824 responden di 33 provinsi, sebanyak 21,9 persen menyatakan kondisi korupsi Indonesia sangat tinggi dan 47,2 persen Iainnya menyatakan tinggi. Hanya 14,6 persen menyatakan korupsi di Indonesia masuk kategori sedang dan hanya 4,7 persen yang menyatakan rendah dan 0,4 persen menyebutkan sangat rendah. Artinya perspektif masyarakat internasional dan nasional menunjukkan bahwa  tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi dan sangat tinggi.
Bahaya laten korupsi di daerah tidak kalah hebatnya terutama yang melibatkan kepala daerah. Berdasarkan data Kemendagri sejak tahun 2004-2012 terdapat 277 kepala daerah yang berhadapan dengan hukum dimana 21 orang sebagai saksi, 172 tersangka dan 4 terdakwa. Kasus yang melilit kepala daerah pada umumnya adalah penyalahgunaan APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan, penyuapan, dan gratifikasi  (kompas.com)

No Izin Presiden

Pemberantasan korupsi di Indonesia harus dengan upaya yang luar biasa dan dukungan atau dorongan banyak pihak termasuk melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu cara adalah menghapus kebijakan atau aturan yang dinilai menghambat pencapaian atau diskriminasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Keberadaan Pasal 36 UU Pemda yang intinya mengharuskan adanya persetujuan tertulis atau ijin dari Presiden jika penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan akan melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dalam perkara tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi merupakan wujud regulasi yang jauh dari semangat pemberantasan korupsi dan mendobrak asas equality before the law (persamaan dihadapan hukum).

Dibatalkannya pasal 36 ayat (1) dan (2) ini menandakan izin presiden dalam pemeriksaan kepala daerah bertentangan dengan amanah UUD 1945 dan menimbulkan diskriminasi hukum sehingga terhambatnya proses hukum terhadap kepala daerah. Hal ini senada pertimbangan MK bahwa persetujuan tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Pemda menurut MK akan menghambat proses penyelidikan, karena Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut. Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan.

Lebih jauh MK mengatakan persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara secara berbeda di hadapan hukum. Terhadap adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut MK pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan Hukum. Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan bagi proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan, karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah sebagai pemberitahuan karena Presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah.
Menurut penulis dibatalkannya pasal 36 ayat (1) dan (2) UU Pemda dikarenakan beberapan alasan. Pertama, proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu keluarnya izin pemeriksaan. Pada kenyataanya banyak izin yang diminta kepada presiden tidak ada kejelasan sehingga penanganan perkaranya menjadi tidak jelas dan mandek. Berdasarkan keterangan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Noor Rachmad pada 8 April 2011, permohonan ijin pemeriksaan terhadap 61 kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 2005-2011, diduga masih tertahan di Sekretariat Kabinet (Detik.com, 9 April 2011). Sampai saat ini belum ada penjelasan atau data resmi dari Sekretaris Kabinet atau Pemerintah tentang perincian jumlah seluruh permohonan ijin pemeriksaan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diajukan oleh pihak Kejaksaan atau Kepolisian dan jumlah permohonan ijin yang belum dapat persetujuan dari Presiden.

Kedua bertentangan dengan prinsip peradilan yang independen, persamaan kedudukan di dalam hukum dan menimbulkan perlakukan diskriminatif, serta jauh dari asas peradilan yang cepat sebagimana termaktub dalam  UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) dan ketentuan pada butir 3a penjelasan umum KUHAP yang berbunyi, “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan dan peraturan perundangundangan Iainnya. Keramahan regulasi dan pengistimewaan bagi kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana melalui kebijakan atau izin dari Presiden tidak sejalan dengan prinsip equality before the law dan melemahkan penegakan hukum (law of enforcement). Dapat ditarik benang merah bahwa mengguritanya praktik korupsi karena hukum dan penegak hukum di negeri ini sangat ramah kepada para pelaku korupsi terutama pejabat negara baik pusat maupun daerah.

Ketiga, terhambatnya proses pemeriksaan bagi pejabat negara, memengaruhi proses penyidikan terhadap tersangka Iainnya dalam perkara yang melibatkan pejabat negara, sehingga penyidikannya menjadi lamban dan terkesan macet. Keempat, dengan rentang waktu yang cukup lama sampai keluarnya izin pemeriksaan, tersangka masih bebas menghirup udara segar, sehingga dikhawatirkan melarikan diri; menghilangkan/merusak barang bukti, mengganti atau mengubah alat bukti surat, dapat mengulangi tindak pidana korupsi, dapat memengaruhi para saksi, dan memindahtangankan kekayaan hasil korupsi kepada orang lain.
Kelima keberadaan surat izin presiden selama ini menimbulkan ketidak jelasan karena antara aparat penegak hukum dengan presiden (sekretaris kabinet) tidak ada kejelasan apakah sudah dimohonkan atau sudah ada balasannya dari presiden. Ketidak efisien dan efektifnya izin ini menimbulkan ketidak pastian hukum.  Keenam keberadaan izin presiden ini menjauhkan dari pemberantasan tindak pidana korupsi dan komitmen bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Begitu juga diskriminasi ini menciptakan inkonsistensi dalam penegakan hukum.

Dibatalkannya pasal 36 UU Pemda ini menjadi momentum bagi aparat penegak hukum (kepolisisan dan Kejaksaan) untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana karena surat sakti dari presiden yang sering dijadikan benteng oleh kepala daerah sudah dirobohkan oleh MK.

Ilham Kurniawan Dartias (Peserta PKPA Jambi dan Staf Hukum KKI Warsi)
*Dimuat pada Harian Jambi Independent

Kamis, 20 September 2012

Mengendus “Pemutihan” Pelanggaran Hukum[1] (Mendeteksi pasal-pasal “siluman” dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan.)



Seiring dengan upaya menyelamatkan hutan Indonesia yang tersisa, berbagai cara didorong oleh kelompok masyarakat sipil untuk memastikan tidak ada lagi kegiatan mengkonversi kawasan hutan sesuai dengan inisiatitif penundaan ijin baru serta konversi lahan gambut.  Pemerintahpun mencoba melakukan konsolidasi data dan informasi penguasaan kawasan serta tutupan hutan dengan membuat Peta Indikasi Penundaan Ijin Baru (PIPIB) melalui UKP4. Pembuatan PIPIB mendapatkan masukan-masukan yang sangat berarti dari sthakholder demi kepastian kawasan hutan dan lahan gambut yang harus tetap dijaga kelestariaanya. Perubahan demi perubahan PIPIB ini mulai dari perubahan pertama memupuk harapan kelompok masyarakat sipil peduli lingkungan dan pembela HAM untuk mampu memberikan perlindungan hutan serta perlindungan hak masyarakat baik adat maupun lokal.
Namun pada kenyataannya, upaya tersebut masih mendapat hambatan-hambatan yang besar bahkan dari pihak pemerintah sendiri. Hal ini terlihat pelepasan kawasan hutan dari PIPIB.  Dan puncak inkonsistensi pemerintah terjadi pada tanggal 6 Juli 2012, dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (PP 60) serta  Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan (PP 61). Kedua PP ini dinilai “memutihkan” izin-izin perkebunan[3] dan pertambangan[4] di kawasan hutan yang selama ini illegal (tidak mengantongi izin pinjam pakai). Pemutihan izin perkebunan dan tambang ”ilegal” yang selama ini hanya berbekal izin kepala daerah akan membuka potensi konflik baru. Setidaknya penulis mencatat  ada beberapa persoalan pada PP 60 dan PP 61.
Pertama terkait tukar guling kawasan hutan. Dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 (UU Kehutanan) merupakan dasar hukum lahirnya PP 60 dan 61 ini. Akan tetapi ada penyimpangan terutama pada PP 60 terkait land swapt atau tukar guling lahan/kawasan, dimana dalam UU Kehutanan tidak ada mengaturnya.[5]  Sehingga sangat tidak mendasar penggunaan tukar guling akan memberikan kepastian perlindungan terhadap kawasan masyarakatpun. Justru sebaliknya tukar guling ini akan menjadi terancam , karena pengusaha dengan mudah mendapatkan peluang untuk mengambil lahan dan mendapatkan alih fungsi lahan tanpa mengikuti prosedur tentang pengukuhan kawasan hutan terlebih dahulu. Karena jelas dalam UU Kehutanan disebutkan bahwa yang memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan adalah kegiatan pengukuhan kawasan sebagaimana pasal 14 dan 15.  Bukan penunjukan dan tukar guling. Apalagi pasca putusan MK Nomor: 45-PUU-IX/2011[6] yang dibacakan pada  tanggal 21 Februari 2012 telah mengokohkan bahwa penentuan kawasan hutan harus sesuai dengan pasal 15 UU Kehutaan bukan hanya sekedar penunjukan belaka. Begitu juga peran serta masyarakat dalam pemamfaatan lahan dan alih fungsi kawasan hutan juga dipertegas dalam Putusan MK Nomor: 34/PUU-IX/2011[7] dan begitu juga Putusan MK Nomor: 32/PUU-VIII/2010 mengamanatkan peran dan persetujuan masyarakat setempat terkait dengan persetujuan tambang.[8] 
Kedua Penyelamatan perkebunan besar.  Pasal 51 A dan 51 B PP No 60/2012 hanya menyebut izin ”Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah...”. artinya PP ini hanya mengatur izin usaha perkebunan pada luasan di atas 25 hektar (perkebunan sedang/besar). Sementara perkebunan kecil (di bawah 25 hektar) hanya diwajibkan mengurus Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan dari bupati/wali kota. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Yang mengganjal dibenak penulis adalah kenapa perkebunan besar diberi pemutihan, sedangkan perkebunan kecil yang notabene milik rakyat kecil tak diwadahi? Tentunya ada niat jahat dalam PP No 60 untuk memutihkan izin-izin ilegal perkebunan besar.
Ketiga pemutihan pelanggaran hukum. Dalam PP 60 dan juga PP 61 tersebut akan memutihkan pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan yang berproduksi di kawasan hutan. Selain melanggar batas hutan, tak sedikit perusahaan yang melanggar tata ruang. Seharusnya pengembangan sektor industri di Area Peruntukan Lain (APL), bukan di kawasan hutan lindung, produksi dan konversi. Meski hutan konversi dapat dialihfungsikan untuk kegiatan industri, namun ada proses yang harus dilalui sebelum perusahaan yang bersangkutan dapat berproduksi di kawasan hutan konversi yang salah satunya adalah proses pelepasan kawasan. Jika ada perusahaan yang tidak mematuhi proses itu, maka dikategorikan melakukan pelanggaran hukum.
Jika kita elaborasi lebih dalam PP 60 dan 61 ini memiliki potensi untuk memberikan impunitas atas pelanggaran hukum dan  mencoba menyalahkan pemberlakuan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang)[9] yang dikesankan telah mengakibatkan kerancuan hukum. Oleh karena itu untuk membenahi dan menyelaraskan penataan ruang dan ijin-ijin (ijin illegal) yang sudah terlanjur dikeluarkan ,dengan memandatkan pada kemenhut agar menata perijinan dikawasan hutan melalui kedua PP tersebut. Jika kita menilik pada UU Penataan Ruang pada Bagian Ketiga tentang Pengendalian Pemanfaatan Ruang Pasal 37 ayat (3), (4), (6), (7). Dimana ijin yang tidak berkesesuaian dengan UU dapat dicabut. Artinya jika ada ijin pemanfaatan yang tidak berkesesuaian dengan fungsi kawasan ataupun dengan UU dapat dicabut atau dibatalkan dan merupakan pelanggaran hukum. Saat ini banyak perusahan yang sudah beroperasi dan mengantongi Ijin-ijin perkebunan dan pertambangan yang terdapat dikawasan hutan tetapi belum mengantongi ijin pinjam pakai kawasan hutan. Oleh karena itu penulis mencium lahirnya PP 60 dan 61 ini sebagai hero dan memutihkan pelanggaran atau tindak pidana yang telah terjadi selama ini.[10]
Keempat lemahnya kontrol dan penegakan hukum. Jika kita lihat lahirnya PP 60 dan 61 adalah wujud ketidak mampuan pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak pelanggaran hukum yang selama ini terjadi baik itu disektor kehutanan dan Lingkungan hidup.[11]  Pelanggaran hukum yang berlangsung sekian lama dan tidak adanya political will dari pemerintah menandakan ada dugaan perselingkuhan bandit-bandit berdasi (dalam hal izin perkebunan dan pertambangan) dengan pengambil kebijakan dibalik lahirnya kedua PP ini. 
Penulis melihat PP 60 dan PP 61 merupakan manuver pemerintah untuk memberikan impunitas atau pemutihan bagi perkebunan sawit yang sudah beroperasi dan mengantongi izin di kawasan hutan walaupun prosesnya cacat.[12] Seharusnya pemerintah pusat tidak menerbitkan regulasi ini, tapi melakukan pendekatan dengan pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah yang ada, salah satunya soal tata batasan kawasan hutan negara. Tidak jelasnya tata batas kawasan hutan negara, mengakibatkan maraknya ilegalitas dalam penggunaan wilayah hutan. Pemerintah daerah adalah pihak yang paling berwenang dalam menerbitkan izin perkebunan dan pertambangan apalagi sejak diterbitkannya UU Otonomi Daerah (Otda), walaupun tidak terlepas dari peran pemerintah pusat suntuk koordinasi. Sayangnya, kewenangan yang ada di tingkat Pemda di sektor kehutanan itu tidak jelas.  Hal itu berpengaruh terhadap berbagai izin yang diterbitkan Pemda.
Pemerintah, sebenarnya telah menerbitkan aturan mengenai Penundaan Ijin Baru di Hutan Primer dan Lahan Gambut (moratorium) berdasarkan Inpres No. 10 Tahun 2011.  Tetapi kehadiran PP No. 60 Tahun 2012 dan PP No. 61 Tahun 2012 tidak sejalan dengan Inpres dan peraturan perundang-undangan lainnya terkait penyelamatan hutan. Jadi tidaklah tepat apabila Peraturan Pemerintah justru membenarkan ijin yang tidak berkesesuaian tersebut.  Dan apabila terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang maka pihak yang melakukan penyimpangan tersebut dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Secara prinsip antara PP No. 60 dan PP 61 adalah sama hanya  subyek hukumnya saja yang berbeda yaitu usaha Perkebunan dan usaha Pertambangan, Tetapi aroma dan niat jahat yang ada dalam PP tersebut sama-sama meligitimasi pelanggaran UU Kehutanan dan UU Penataan Ruang. Secara Yuridis bahwa Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2012 terutama dalam pasal 51 A dan pasal 51 B dan PP 61 dan Pasal 25 A PP 60 bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya.
Oleh karena itu kita harus mendorong pemerintah untuk segera:
1.      Melakukan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan pasal 15 UU Kehutanaan dan sebagaimana telah diperkuat oleh Putusan MK Nomor 45/PUU-II/2011 yaitu melakukan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat.
2.      Melakukan review terhadap berbagai ijin-ijin serta kebijakan yang cenderung merugikan negara.
3.      Menindak tegas pelanggaran hukum yang terjadi baik itu tindak pidana kehutanan, Lingkungan dan juga KKN.
4.      Membatalkan dan Mencabut kembali Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta  Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Jika pemerintah tidak mencabut dapat melaukan Judicial Review ke Mahkamah Agung karena PP ini bertentangan dengan UU.

Referensi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
            Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004.
            Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
            Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 45-PUU-IX/2011pengujian Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
            Putusan Mahkamah Konstitusi No. 32/PUU-VIII/2010 pengujian Undang-undang Pertambangan Minerba   
            Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011Pengujian Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
            Peraturan Pemerintah Nomor 60 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta
            Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan.   
            Inpres No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan  Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
            Peraturan Menteri Pertanian No 26 Tahun 2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan


[1]               Tulisan mengkaji regulasi yang tidak partisipatif yang cenderung memihak perusahaan besar. Lahirnya PP 60 dan 61 ini wujud legislasi darurat yang terjadi di Indonesia dimana kedua PP ini melegalkan tindakan yang selama ini illegal. Pemutihan pelanggaran hukum dalam PP ini terkhusus pada izin perkebunan dan Pertambangan yang masuk kawasan hutan tetapi tidak mengantongi izin pinjam pakai.
[2]               Penulis adalah peneliti hukum dan analisis kebijakan KKI Warsi.
[3]               Lihat PP 60 pasal 51A ayat (1) dan (2) mengatakan Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004  areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6  (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini  wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada Menteri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 51A ini terganbar jelas bahwa ada niat jahat pemerintah untuk melegalkan perbuatan illegal yang selama ini terjadih. Dalam pasal ini tergambar bahwa banyak izin usaha yang tidak sesuai dengan aturan. Yang menjadih pertanyaan kenapa banyak perusahan memperoleh izin usaha dan tetap beroperasi?. Besar dugaan bahwa dalam proses perizinan dan pengawasannya ada potensi korupsi. Karena tidak adanya political will atau ada perselingkuhan antara pengambil kebijakan dengan pemegang izin usaha memunculkan regulasi bari (PP 60) ini sebagai legalitas untuk “memutihkan” pelanggran yang terjadih selama ini. Aroma ini juga di usung oleh PP 61 sebagai rekanya PP 60 untuk mengusun misi pemutihan Pelanggaran izin usaha Perkebunan dan pertambangan yang dilakukan oleh perusahan besar.   
[4]               Lihat PP 61 tahun 2012 Pasal 25A ayat (1) dan (2)  mengatakan (1) Kegiatan usaha Pertambangan yang izinnya diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan  Rencana Tata Ruang  Wilayah Provinsi yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang  Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41  Tahun 1999 tentang Kehutanan  sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004  areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan izin pinjam pakai  kawasan hutan kepada Menteri. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak pemenuhan  kewajiban dinyatakan lengkap dan benar. Tergambar jelas bahwa PP 61 ini membawa aroma yang serupa untuk melindungi izin usaha dalam hal ini Pertambangan illegal yang selama ini telah beroperasi dan memperoleh izin.
[5]               Lihat lebih jelas PP 60 Pasal 51B ayat (1), (2) dan (3) mengatakan (1) Kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan  oleh Pemerintah Daerah berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan  sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004  areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi tetap dan/atau hutan produksi terbatas, pemegang izin dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mengajukan permohonan tukar menukar kawasan hutan kepadaMenteri.(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyediakan lahan penggantidalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)disetujui.(3) Dalam hal pemohon telah menyediakan lahan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menerbitkan pelepasan kawasan hutan.
[6]               Seluruh kawasan hutan yang ada sebelum Putusan MK 45/PUU-IX/2011 adalah kawasan hutan yang sah. Tapi pada kenyataannya ± 89%  atau 121,74 juta Ha diantranya merupakan kawasan yang secara subtantif inkonstitutional.  Kawasan ini berpotensi akan dimamfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk dialihfungsikan kawasan hutan menjadi nonhutan. Begitu juga potensi konflik tenurial dengan masyarakat yang berdiam didalam dan sekitarnnya. Ada terdapat  ± 31.957 Desa yang berada didalam dan disekitar kawasan hutan jika ini tidak diselesaikan maka konflik yang akan terjadi seperti halnya bom waktu yang akan meledak.
[7]               Putusan Judicial Riview pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan yang dimohonkan oleh Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad seorang Pengusaha Jambi. Bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan hanya mengindahkan hak masyarakat hukum adat (hak komunal/ hak pertuanan), padahal seharusnya juga memperhatikan hak hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Dalam pertimbangannya MK membenarkan substansi dalil permohonan pemohon. MK memandang bisa saja dalam wilayah tertentu terdapat hak yang telah dilekatkan atas tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya atas tanah (hak atas tanah dalam UUPA). Hak-hak yang demikian harus mendapat perlindungan konstitusional. Oleh karena itu, penguasaan hutan oleh negara harus juga memperhatikan hak-hak yang demikian selain hak masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam norma a quo; begitu juga mahkamah lebih lanjut mengatakan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan memang belum mencakup norma tentang hak atas tanah yang lainnya yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Nomor 32/PUU-VIII/ 2010 Pengujian UU Minerba, bertanggal 4 Juni 2012, bahwa kata “memperhatikan” dalam Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan haruslah pula dimaknai secara imperatif berupa penegasan bahwa Pemerintah, saat menetapkan wilayah kawasan hutan, berkewajiban menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu sebagai bentuk fungsi kontrol terhadap Pemerintah untuk memastikan dipenuhinya hak-hak konstitusional warga negara untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Oleh karena itu MK menyatakan bahwa  Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai, “Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”;
[8]               Putusan MK No. 32/PUU-VIII/2010 adalah Pengujian UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba yang diajukan oleh 5 LSM yaitu WALHI dan PBHI, Yayasan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Koalisi untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Solidaritas Perempuan (SP) dan 16 orang masyarakat. Dalam putusannya  MK menyatakan bahwa Pasal 10 huruf b sepanjang frasa “memperhatikan pendapat…masyarakat…”tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”; Artinya pasal 10 huruf b ini mengamanatkan kepada pemberi izin (pemerintah) dalam proses perizinan tambang wajib atau harus melibatkan masyarakat.

[9]               Begitu juga terkait dengan RTRWP yang diamanatkan dalam UU 26 tahun 2007  perlu diketahui bahwa sampai saat ini banyak daerah baik itu provinsi dan kabupaten yang belum selesai menyusun RTRWP sesuai dengan amanat UU 26 tahun 2007. Padahal sejak UU dikeluarkan telah memberikan waktu tiga tahun untuk RTRWP kabupaten/kota (2009) dan tiga tahun untuk RTRWP Provinsi (2010). Berdasarkan catatan penulis pada februari 2012 dari 33 provinsi hanya 12 Provinsi yang baru menyelesaikan RTRWPnya sedangkan Kabupaten/kota baru 93 dari 491 yang ada di Indonesia. 
[10] Permasalah izin peruntukan kawasan dan lahan ini khususnya untuk pertambangan dipertegas dengan data Kementerian Energi Sumber dan Daya Mineral mencatat dari 10.235 izin usaha pertambangan (IUP), baru 4.151 izin yang dinyatakan tidak bermasalah alias clean and clear. Artinya, 59 persen atau 6.084 izin tambang masih bermasalah.  Khusus Provinsi Jambi Berdasarkan data DPRD Provinsi Jambi tahun 2012 terdapat 449 Izin Pertambangan. Izin eksplorasi sebanyak 344 izin atau seluas 727.844 Ha. Sisanya 105 izin seluas 97.388 Ha izin eksploitasi.  Total izin pertambangan sebenarnya mencapai 1,1 juta Ha dari jumlah itu 825.232 Ha masih aktif. Sebanyak 349.905 Ha berada di kawasan di 233 titik kawasan hutan baik HP dan HL maupun HPT. (Jambi Independent 29 Februari 2012). Dan ada beberapa perusahan yang belum mengantongi izin pinjam pakai kepada Menhut terkait izin yang berada di kawasan hutan.  
[11]             Khusus untuk dokumen lingkungan perusahan tambang batu bara di Jambi, pada tahun 2010  ada 111 Perusahaan yang terdaftar  dan hanya 12 yang memiliki AMDAL, 19 KA ANDAL, 38 UKL-UPL, 2 perusahaan lagi Proses AMDAL dan 1 DPPL. Artinya ada 72 perusahan batu bara yang sudah punya dan sedang mengurus dokumen lingkungan (65%) sedangkan 39 perusahaan lainnya tidak memiliki dan mengurus dokumen lingkungan yang merupakan kewajiban perusahan. Padahal baik perusahan yang sedang mengurus  dokumen lingkungan dan tidak memiliki dokumen lingkungan sudah mengantongi izin.   
[12]             Proses cacat yang dimaksud adalah tidak adanya izin pinjam pakai atau pelepasan kawasan hutan terlebih dahulu begitu jugu dalam pengurusan dokumen lingkungan yang tidak sesuai dengan aturan sedangkan perusahan yang bersangkutan sudah beroperasi dan mendapt legalitas perizinan dari kepala daerah (pemerintah). Hal ini tentu menjadi tanda tanya kenapa izin yang dikeluarkan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Besar dugaan adanya praktik korupsi dalam pengurusan izin begitu juga ketika perusahan beroperasi sarat dengan pemberian fee kepada oknum-oknum tertentu. 


 Oleh: Ilham Kurniawan Dartias,[2]

Senin, 10 September 2012

Jubir Koruptor*




Maraknya akademisi yang menjadi saksi ahli koruptor menyentuh rasa keadilan masyarakat. Dengan berkedok memberikan keterangan ahli pernyataan yang keluar justru meringankan koruptor. Entah apa yang ada dalam benak ahli (akademisi) ini untuk memberikan keterangan yang meringankan bahkan membebaskan koruptor. Tindakan ini bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi. Seharusnya sang ahli benar-benar memberikan keterangan sesuai dengan hati nurani dengan mengedepankan kebenaran bukan memberikan keterangan untuk membenarkan tindakan koruptor bukanlan suatu tindak pidana korupsi.

Urgensi Keterangan Ahli

Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur berkaitan dengan alat bukti. Salah satunya ada keterangan ahli. Pengertian umum dari keterangan ahli dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 menyebutkan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Selanjutnya pasal 186 KUHAP mengatakan keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Keterangan ahli secara prinsip dibutuhkan dalam sebagai salah satu proses dalam hukum acara pidana agar lebih terangnya duduk perkara tindak pidana yang terjadi. Adanya kejanggalan atau keraguan dari hakim atau para pihak terhadap suatu perkara yang terjadi menjadikan keterangan ahli menjadi salah satu jalan untuk menerangkan supaya kasus yang kabur menjadi terang dan jelas. Tentunya keterangan yang diberikan saksi ahli sesuai dengan keahlian yang dimilikinya berdasarkan prinsip, keadilan, akuntabilitas dan semangat penegakan hukum. Bukan keterangan yang sesuai dengan pesanan dari pihak yang berpekara (Baca: Koruptor), agar sang koruptor terlepas dari jerat hukum tetapi mencari titik terang kasus yang sedang terjadi.

Jika pendapat atau keterangan yang diberikan dihargai dengan rupiah tentunya ini sangat miris. Apalagi ini dilakukan oleh akademisi yang notabene mendidik mahasiswa hukum untuk menegakan hukum dan mencari keadilan substantif. Deal-deal keterangan ahli dengan koruptor tak ubahnya “penjualan harga diri” karena ilmu yang didapat bukan untuk menegakan hukum tapi demi kenikmatan dan materi semata. Tak hayal pendapat ahli dapat disesuaikan dengan besaran pendapatan yang diterimanya dari koruptor. Sang ahli tak ubahnya sebagai “juru bicara” koruptor yang berlindung dibalik jubah agung akademisi atau keahlian yang dimilikinya.

Etika Penegakan Hukum

Maraknya akademisi yang memberikan keterangan ahli terhadap kasus korupsi menjadi perbincangan dan kecuman dari para penggiat anti korupsi. Disatu sisi sang ahli berbicara peran dari akademisi dalam menerapkan hukum akan tetapi kenyataanya cenderung keterangan ahli membebaskan koruptor. Inikan yang dinamakan menegakan hukum?. Bagaimana kita akan memberangus korupsi jika sang ahli berperan sebagai juri bicara koruptor.

Sang ahli selalu berkelit bahwa apa yang dilakukan atau keterangan ahli yang diberikan menurut keilmuan dan hati nuraninya, akan tetapi berbagai pihak menilai keterangan yang di berikan dipersidangan cenderung di akal-akali agar sang jurangan (baca: koruptor) terbebaskan dari tuntutan hukum.
Hal ini sesuai dengan teori plurarisme hukum yang dikemukakan John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi sentralisme hukum (legal centralism).

Pluralisme hukum jelas mengakomodasi nilai-nilai tersebut, dan telah menjadi ancaman bagi demokratisasi di Indonesia. Pengabaian aspek keadilan dalam pluralisme hukum membuat cakupan hukum dalam pengertian pluralisme hukum juga hampir tidak mengenal batas. Sepanjang aturan tersebut dilahirkan dan diberlakukan dalam wilayah tertentu, ia sudah dapat dapat dikatakan sebagai hukum. Tidak begitu penting apakah aturan tersebut dilahirkan dengan proses dominasi atau dimaksudkan untuk meminggirkan kelompok-kelompok tertentu (Simarmata, 2005). Singkatnya, semua nilai-nilai, termasuk nilai-nilai negatif, dapat tumbuh dan berkembang melalui pluralisme hukum.

Teori plurarisme hukum ini cenderung  dimamfaatkan oleh penguasa, pengusaha atau kaum intelek untuk memilih (mengakali) hukum yang menguntungkan bagi mereka. Misalnya dalam kasus Azhar Latief, mereka memakai Permendagri Nomor 2 Tahun 2007 tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air Minum dimana direksi boleh memakai 75 persen dari pendapatan direksi satu tahun. Akan tetapi sang ahli tidak mengindahkan unsur tindak pidana korupsi yang sudah terpenuhi berdasarkan Pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 18 Ayat huruf (b) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perilaku sang ahli menjadi juru bicara koruptor sungguh jauh dari etika akademik dan penegakan hukum. Sang ahli sudah menjual harga akademiknya demi kepuasan jurangan (koruptor). Padahal masyarakat mengidamkan nuansa keadilan dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Jika perilaku abmoral ini terus berlanjut tentunya pemberantasan korupsi hanya angin-anginan saja.
Ilham Kurniawan Dartias
Anggota Gerakan Lawan Mafia Hukum Sumbar

*Tulisan ini dimuat pada koran Padang Ekspres, http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=1159