Selasa, 02 Juli 2013

Kembalikan Hutan Adat

Ilham Kurniawan Dartias 
Peneliti Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 terkait Judicial Riview Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menambah daftar inkonstitusional pengaturan kehutanan di Indonesia. Hal menarik dalam putusan ini adalah terkait Hutan Adat. Pada intinya pemohon mendalilkan dua hal pokok yang merugikan hak konstitusionalnya. Pertama terkait status hutan adat yang serta merta menjadi hutan negara. Kedua pemohon mempersoalkan pengakuan bersyarat masyarakat hukum adat khususya frasa “sepanjang menurut kenyatannya masih ada dan diakui keberadaanya” padahal masyarakat hukum adat kenyataannya masih ada tetapi belum diakui oleh Negara, sehingga cenderung dimamfaatkan negara untuk merampas hak-hak masyarakat hukum adat dan memberikan izin konsesi kepada perusahaan.


Judicial Riview ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat hukum adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Status Hutan Adat Sebelum keluarnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 status hutan adat tergambar dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan bahwa Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Begitu juga di beberapa pasal dalam UU Kehutanan menegaskan hutan adat serta merta menjadi hutan negara seperti penjelasan pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2). 

Jika kita elaborasi lebih dalam muatan dalam UU kehutanan ada ketidak konsistenan dalam penetapan hutan adat sebagai hutan negara. Pasal 5 ayat (1) membagi hutan berdasarkan status yaitu hutan negara dan hutan hak. Pasal 1 angka 4 mengatakan hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah dan Pasal 1 angka 5 UU Kehutanan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Sedangkan hutan adat pada kenyataannya tidak masuk hutan hak dan hutan negara. Hutan adat notabene berada dalam wilayah hak ulayat yang terdapat bagian-bagian tanah yang bukan hutan seperti ladang penggembalaan, kuburan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan umum, dan tanah-tanah yang dimiliki secara perseorangan yang berfungsi memenuhi kebutuhan perseorangan. Begitu juga hutan adat dengan aturan adatnya mengatur dan memiliki Sumber Daya Alam yang dikelola dengan kearifat lokalnya. Hutan bagi masyarakat hukkum adat tidak hanya bernilai ekonomis tetapi memiliki nilai sosial, budaya dan ekologis. Suatu kenaifan jika wilayah masyarakat adat serta merta menjadi hutan Negara. Akhirnya perdebatan hutan adat dijernihkan MK dalam Putusan Nomor 35/PUU-X/2012. Ada tiga hal yang diputuskan MK terkait hutan adat. Pertama MK menghapus frasa “negara” dalam Pasal 1 angka 6, sehingga bunyi pasal 1 angka 6 menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Kedua MK menafsirkan bersyarat pasal 5 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3), sehingga semakin mengokohkan hutan adat bukan hutan Negara. Ketiga MK menyatakan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. MK menjelaskan bahwa status kawasan ada dua yaitu hutan Negara dan hutan hak, dimana hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. Dengan ada pembedaan ini tentunya tidak akan ada tumpang tindih status kawasan. Misalnya tidak mungkin hutan hak berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak dan hutan adat dalam hutan negara. Akan tetapi seluruh pengaturan tetap dalam konstruksi hak menguasai Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedepannya pemerintah harus melakukan inventarisasi wilayah masyarakat hukum adat dan mengatur pengelolaannya sesuai dengan kearifan lokal masyarakat hukum adat dan kemakmuran rakyat. Jadi Entry poin dari Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 adalah hutan adat bukan hutan negara. 

Masyarakat Hukum Adat 

Berbagai istilah banyak dipakai terhadap masyarakat hukum adat seperti indigeneus people, masyarakat hukum adat, masyarakat adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil, masyarakat hukum adat yang terpencil, kaum minoritas yang pada intinya membahas suatu hal yang sama. Dalam terminologi hukum memakai istilah masyarakat hukum adat seperti seperti UUPA 1960, UU Sumber Daya Air, UU Perkebunan, UU Pemda, UU PPLH dan bahkan ketentuan di dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasca Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 semakin menguatkan masyarakat hukum adat terhadap hak ulayatnya. Hal ini tergambar dalam pertimbangannya MK mengatakan pasal 2 ayat 3 UU Kehutanan, juga bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara yang diatur UU. Artinya dalam pengelolaan hutan dan penentuan suatu kawasan hutan dan non hutan, pemerintah harus memperhatikan hak masyarakat hukum adat dan juga hak masyarakat atas tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Putusan MK 35/PUU-x/2012 berkorelasi positif Putusan Nomor 34/PUU-IX/2011, Putusan Nomor 32/PUUVIII/ 2010 dan Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 yang notabene mengakui dan menguatkan keberadaan masyarakat hukum adat dalam pengelolaan hutan. 

Begitu juga dalam salah satu putusan MK yang fenomenal menyatakan tindakan otoriter pemerintah dalam penentuan kawasan hutan yang selama ini merugikan masyarakat hukum adat dan masyarakat pada umumnya melalui Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011 terkait defenisi kawasan hutan. Revisi UU Kehutanan Berdasarkan catatan penulis sejak disahkan pada tanggal 30 September 1999 sampai saat ini sudah delapan (8) kali UU Kehutanan di uji konstitusionalitasnya ke MK. Kedelapan Judicial Riview tersebut tiga diantaranya ditolak, satu tidak diterima, dua dikabulkan sebagin, satu dikabulkan keseluruhanya dan satu ditarik kembali. Pemohon dalam pengujian UU Kehutanan pun beragam mulai dari masyarakat seperti Mahasiswa, Petani, Ibu Rumah Tangga, nelayan, Dosen, Kepala daerah, Wirasawasta/Pengusaha, dan LSM serta kepala daerah (bupati). Beragamnya pemohon dan beberapa pasal dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karenakan MK menilai telah terjadi pelaksanaan pemerintah yang otoriter dalam pengelolaan hutan, kerusakan hutan, lingkungan dan cenderung merugikan hak asasi masyarakat. 

Sudah saatnya UU Kehutanan direvisi dengan lebih mengedepankan penjagaan hutan, lingkungan dan perlindungan terhadap masyarakat baik perorangan dan masyarakat adat sesuai dengan amanah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar