Selasa, 02 Juli 2013

Hutan Adat Bukan Hutan Negara

Ilham Kurniawan Dartias 
Peneliti Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Hutan adat bukan lagi hutan negara sejak tanggal 16 Mei 2013 ketika MK menyatakannya dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012. Sebelumnya hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. MK membatalkan Frasa Negara dalam pasal 1 angka 6 dan beberapa pasal seperti penjelasan pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2) UU Kehutanan yang menyatakan hutan adat masuk hutan negara. Sehingga terminologi hutan adat berubah menjadi hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Perubahan makna hutan adat ini tidak terlepas dari perjuangan Aliansi Masyarakat hukum adat Nusantara (AMAN) bersama Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar Provinsi Riau dan Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak Provinsi Banten.


Pada intinya pemohon mendalilkan dua hal pokok, pertama terkait status hutan adat yang serta merta masuk hutan negara. Kedua pemohon mempersoalkan pengakuan bersyarat masyarakat hukum adat khususya frasa “sepanjang menurut kenyatannya masih ada dan diakui keberadaanya”. Dalam putusannya MK mengabulkan perihal hutan adat menjadi hutan negara bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan pengakuan bersyarat masyarakat adat dianggap konsttusional. Pengabaian Hak Sebelum keluarnya Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 sebenarnya pemerintah telah melakukan pengabaian hak-hak masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat seharusnya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah setelah pengalaman pahit dan penindasan dilalui dengan duka nestapa di era otoriter orde baru. 

Seharusnya era reformasi menjadi harapan masyarakat hukum adat akan pengakuannya dan wilayah adatnya. Akan tetapi justru kebalikannya. Malahan para aktor yang mendalilkan mereka kaum reformis mereduksi ciri khas masyarakat hukum adat dengan mengamandemen UUD 1945 khususnya pasal 18B ayat (2) dengan menghilangkan kalimat yang menegaskan Indonesia terdiri dari beragam masyarakat adat yang tersebar di daerah. Khususnya penjelasan II Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) dikemukakan bahwa: dalam territoir Negara Indonesia terdapat lk. 250 Zelfbesturende landschappen danVolksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Begitu juga pengabaian hak masyarakat hukum adat dilanggengkan dalam UU kehutanan yang melanggengkan dominasi Negara tanpa memperhatiakan hak masyarakat huku adat. Perjungan masyarakat adat untuk mengambil kembali hak-hak mereka yang dirampas oleh negara direspon positif MK dengan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012. 

Ada tiga hal yang diputuskan MK terkait hutan adat. Pertama MK menghapus frasa “negara” dalam Pasal 1 angka 6, sehingga bunyi pasal 1 angka 6 menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.” Kedua MK menafsirkan bersyarat pasal 5 ayat (1) sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat” dan menghapus frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3), sehingga semakin mengokohkan hutan adat bukan hutan Negara. Ketiga MK menyatakan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. MK menjelaskan bahwa status kawasan ada dua yaitu hutan negara dan hutan hak, dimana hutan hak terdiri dari hutan adat dan hutan perseorangan/badan hukum. 

Dengan ada pembedaan ini tentunya tidak akan ada tumpang tindih status kawasan. Misalnya tidak mungkin hutan hak berada dalam wilayah hutan negara. Atau sebaliknya hutan negara dalam wilayah hutan hak dan hutan adat dalam hutan negara. Akan tetapi seluruh pengaturan tetap dalam konstruksi hak menguasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Walaupun hutan adat tidak masuk hutan negara bukan berarti masyarakat adat sebebas-bebasnya memperlakukan wilayahnya seperti menjual atau mengadaikannya. Kedepannya pemerintah harus melakukan inventarisasi wilayah masyarakat hukum adat dan mengatur pengelolaannya sesuai dengan kearifan lokal masyarakat hukum adat dan kemakmuran rakyat. Karena dalam pasal 5 ayat (4) mengatakan hak kelola masyarakat hukum adat akan hilang jika masyarakat hukum adat tidak ada lagi. Jika dalam pengelolaannya tidak sesuai dengan kearifan lokal dan prinsip komunal masyarakat adat tentunya hak akan hutan adat akan kembali kenegara. Tapi penulis menurut penulis eforia kemenangan masyarakat hukum adat ni jangan jadi boomerang yang justru dimakfaatkan elit berkepentingan dan menimbulkan konflik horizontal massif di masyarakat hukum adat. 

Penyandang Hak 

Dominasi negara dalam bidang kehutanan selama ini telah mengabaian hak masyarakat hukum adat.. UU Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, dalam hal ini terkait dengan kategorisasi hutan yang di dalamnya terdapat hubungan hukum antara subjek hukum dengan hutan. Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara, masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan. Logika sesat dalam UU kehutanan ini diluruskan dalam Putusan MK ini bahwa masyarakat hukum adat secara konstitusional harus dihormatti sebgai penyandang hak yang tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Artinya MK mengubah paradigma semu masyarakat adat dalam UU kehutanan sebagai subjek hukum yang harus mendapat perhatian dalam konstelasi pengelolaan hutan. Pembaharuan 

Berdasarkan catatan penulis sejak disahkan pada tanggal 30 September 1999 sampai saat ini sudah delapan (8) kali UU Kehutanan di uji konstitusionalitasnya ke MK. Putusan MK pun beragam tiga diantaranya ditolak, satu tidak diterima, dua dikabulkan sebagian, satu dikabulkan keseluruhanya dan satu ditarik kembali. Pemohon dalam pengujian UU Kehutanan pun beragam mulai dari masyarakat seperti Mahasiswa, Petani, Ibu Rumah Tangga, nelayan, Dosen, Bupati, Wirasawasta/Pengusaha, dan LSM. 

Begitu juga dalam beberapa Putusan yang dikabulkan merupakan pasal yang bersifat jantungnya dalam UU Kehutanan seperti defenisi dan cara penentuan kawasan hutan, penguasaan Negara terhadap hutan dan perihal status hutan serta catatan penting MK ada pelaksanaan pemerintah otoriter dalam pengelolaan hutan serta pengabaiaan hak masyarakat hukum adat. Begitu juga UU kehutanan merupakan produk hukum yang lahir sebelum proses Amandemen UUD 1945, jadi sudah sejogyanya dilakukan revisi dengan lebih mengedepankan penjagaan hutan, lingkungan dan perlindungan terhadap hak masyarakat perorangan dan masyarakat hukum adat sesuai dengan amanah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar