Selasa, 02 Juli 2013

Menimbang Penghabusan Jabatan Wakil Kepala Daerah

Ilham Kurniawan Dartias 
Staff Hukum dan Analisis Kebijakan KKI Warsi 


Otonomi daerah berkaitan erat dengan demokrasi. Konsekuensinya harus ada mekanisme pengisian jabatan-jabatan politik sebagai pelaksana roda pemerintah di daerah yang diselenggarakan secara demokratis. Saat ini mekanisme pengisian a quo diselenggaranlah Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemulikada) secara langsung. Pemilukada diharapkan dapat menemukan pemimpin lokal yang bijak, pro rakyat untuk menjalankan roda pemerintah. Begitu juga halnya di Kota Jambi, saat ini sedang dihinggapi eforia pesta demokrasi yang sudah masuk pada tahap kampanye calon walikota, sedangkan pencoblosanya pada 29 Juni 2013 mendatang. Berbagai tawaran politik dan janji indah serta kegiatan yang berbau sosial, mendatangkan juru kampanye nasional serta artis papan atas dilakukan untuk mendulang simpati konstituen. Walaupun biaya yang dikeluarkan tidak sedikit akan tetapi ongkos politik tersebut tidak menjadi soal bagi sang kandidat.

Dewasa ini aroma demokrasi sudah menguap jauh sebelum pencalonan atau kampanye. Setahun atau dua tahun bahkan jauh sebelum masa pemilihan, sudah bergentayangan spanduk, baliho, iklan berbagai orang yang mendalilkan pemimpin yang cocok untuk Kota Jambi lima tahun kedepan. Baik yang incumbent maupun yang tidak, baik mewakili partai maupun perseorangan semua berlomba-lomba untuk mencari popularitas. Artinya kesejahteraan rakyat adalah fakta empiris yang harus direalisasikan oleh sang pemimpin ketika terpilih nantinya. Walaupun sejak republik ini berdiri belum terealisasi seutuhnya. Karut marut pesta demokrasi yang kebabasan ini tidak terlepas dari ketidaksepahaman mengenai arti penting demokrasi itu sendiri. Demokrasi hanya ditekankan pada prosedural saja dan diartikan sebagai ajang unjuk kepopuleran, janji indah dan barter politik yang bermuara pada kekuasaan belaka seperti Pemilukada untuk perebutan kekuasaan di lokal. Collin Ralling dan Michael Tharsher bahwa pemilu ditingkat lokal menjadi sebuah indikator penting jalannya pemerintah daerah. 

Sedangkan Bagir Manan menyatakan kehadiran demokrasi tidak sekedar diukur oleh adanya pranata demokrasi seperti Pemilihan Umum dan lembaga politik saja seperti badan perwakilan. Tetapi demokrasi adalah mekanisme, bahkan tidak berlebihan apabila disebut mekanisme demokratik merupakan penentua untuk mengukur kehadiran demokrasi yang riil, baik dalm kehidupan Negara atau pemerintahan maupun kehidupan masyarakat pada umumnya. Secara kultur demokrasi akan subur apabila ditopang oleh moral dan etika politik seperti kesiapan berbeda pendapat, kesiapan kalah menang, kesiapan bersaing secara jujur, sikap damai dan adanya keserasian antara pasangan pemimpin. Salah satu factor penentu keberhasilan efektifitas dan penyelengaraan pemerintah di daerah adalah adanya harmonisasi dan kesepahaman anatara kepala daerah dan wakilnya untuk membangun daerah terlepas dari kepentingan lainnya. Sejatinya dalam Pemilukada dimana calon satu paket seharusnya harmonisasi ini sudah terbangun sejak pencalonan sampai pada akhir jabatan bahkan ketika akan mencalonkan lagi untuk periode selanjutnya keharmonisannya harus terjalin. 

Posisi Wakil Kepala Daerah 

Secara sejarah peraturan perundang-undangan yang ada terkait pemerintah daerah masih memposisikan wakil kepala daerah sebagai pelengkap jabatan kepala daerah. Mulai dari UU 22 Tahun 1948 mengatur wakil kepala daerah ditunjuk jika kepala daerah berhalangan. Begitu juga UU No. 5 tahun 1974 menempatkan kepala daerah sebagai jabatan karir bukan jabatan politik sedangkan UU No. 22 tahun 1999 menyatakan bahwa wakil kepala daerah dicalonkan berpasangan dengan calon kepala daerah dan dipilh oleh DPRD. Hal yang sama dalam UU 32 tahun 2004 dimana wakil kepala daerah dicalonkan berpasangan dengan mekanisme baru dan berbeda dari sebelumnya yaitu dipilih secara langsung. 

Dalam konteks saat ini UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah khususnya pasal 26 hanya memberikan tugas yang bersifat koordinasi, fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan, monitoring serta tugas-tugas lain kepada wakil kepala daerah. Padahal tugas tersebut bisa dilaksanakan oleh Skretaris daerah, asisiten, staf ahli dan SKPD ataupun lembaga teknis daerah lainnya. Ketidak jelasan kewenangan dan bargaining wakil kepala daerah ini menjadi salah satu penyebab ketidak harmonisan hubungannya dengan kepala daerah, disamping perbedaan pandangan, kepentingan politik karena berasal dari latar belakan atau partai pengusung yang berbeda. Hal ini tampak dari seringnya terjadi gesekan dalam pelaksanaan pemerintah seperti pengisian jabatan struktural, proyek-proyek penting dijajaran pemerintahan, dimana masing-masing berpacu untuk menempatkan kroni-kroninya. Konflik yang sangat kentara sekali ketika hampir habis masa jabatannya. 

Alasan Penghapusan 

Setidaknya ada tiga alasan kenapa jabatan wakil kepala daerah dihapuskan saja. Pertama secara konstitusional UUD 1945 tidak ada menyebutkan posisi wakil kepala daerah. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 hanya menyebutkan kepala daerah saja. Munculnya wakil kepala daerah karena penganalogian para pembuat UU terhadap presiden dan wakil presiden, padahal secara konstitusional wakil kepala daerah tidak masuk dalam pengaturan mengenai pemerintah daerah dalam UUD 1945. Jika wakil kepala daerah dihapuskan tidak akan menciderai nilai-nilai konstitusional. Kedua jabatan wakil kepala daerah tidak efektif dan memboroskan anggaran. Memang ada yang mengatakan demokrasi itu mahal harganya, tapi penulis menilai pemborosan anggaran untuk demokrasi adalah demokrasi yang kebablasan. Tentunya anggaran yang dialokasikan terbuang percuma jika posisinya hanya sebagai kacung atau pesaingnya kepala daerah. Lemahnya posisi kedudukan, fungsi dan tugas Wakil kepala daerah merupakan ketidak efektifan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Jika jabatan ini dihapuskan tentunya dapat mengemat trilinan rupiah dan dana dapat dialokasikan untuk pembangunan daerah. Ketiga alasan historical yuridis bahwa sejarah peraturan perundang-undangan tentang pemerintah daerah selalu memposisikan wakil kepala daerah sebagai pelengkap. Wakil kepala daerah diposisikan dibawah kepala daerah. Kewenangan dan tugasnya hanya melaksanakan hal yang bersifat koordinasi, fasilitasi, pembinaan, dan pengawasan, monitoring serta tugas-tugas lain yang sebenarnya bisa dilaksanakan dan masuk tupoksi SKPD atau lembaga teknis daerah lainya. Posisi yang tidak setara ini memantikan persaingan yang tidak sehat antara wakil dan kepala daerah. Sebenarnya pelaksanaan roda dan birokrasi pemerintah daerah sudah dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah bukan wakil kepala daerah. Begitu juga para pembantu kepala daerah seperti assiten atau staff ahli yang berperan dalam membantu kepala daerah. Hal ini untuk menghindari persaingan tidak sehat dan maneuver politik di daerah. Kalaupun para pembantu kepala daerah ini tidak becus atau melakukan manuver politik tentu dapat dibendung atau dimutasi kepala daerah. Berbeda dengan wakil kepala daerah tidak bisa ditekan atau diberhentikan oleh kepala daerah. Keempat menghindari konflik penyelengaraan pemerintah daerah. Pengalaman Pemilukada dalam lima tahun belakangan hanya 5,16% pasangan calon kepala daerah dan wakilnya yang tetap dalam satu paket maju kembali mencalonkan diri sedangkan 94,84% kepala daerah membentuk tim baru lagi dan saling berhadapan. 

Hubungan antara kepala daerah dan wakilnya menjadi runyam dikarenakan masing-masing ingin menyosialisasikan diri kepada calon pemilih sedini mungkin dengan berbagai cara. Tentu saja ini menimbulkan konflik anatara wakil dan kepala daerah bak hubungan cat and mouse. Perang baliho, spanduk kepala daerah versus wakilnya terjadi secara tidak sehat. Perang ini juga merembes kepada aparatur pemerintah dibawahnya. Dapat dibayangkan bagaimana suasana kerja di mana dua pimpinan tertinggi bersaing memperebutkan kekuasaan tentunya akan jauh dari semangat good governant. Disharmonisasi ini juga terlihat di Jambi bahwa Wakil dan Walikotanya saling berebut pengaruh dan sama-sama bersaing untuk merebut kekuasaan pada Pilwako Jambi 2013. 

http://jambiupdate.com/artikel-menimbang-penghabusan-jabatan-wakil-kepala-daerah.html (25 juni 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar