Selasa, 31 Mei 2011

Menunggu Ke(tidak)datangan Djufri*


Oleh : Ilham Kurniawan Dartias

 
Sedikit berbeda dengan panggilan pertama yang tidak ada alasan dan kabar beritanya, ketidak hadiran Djufri pada panggilan kedua ini, karena adanya “surat sakti” dari partai berkuasa (baca: Demokrat) yang meminta pengunduran jadwal pemeriksaan terhadap Djufri.

Tarik Ulur
Tarik ulur kasus Djufri sudah terjadi untuk kesekian kalinya. Segala upaya dan strategi untuk memperlambat penegakan dan proses hukum sudah dilakukan oleh politisi Demokrat asal Sumbar ini, tentunya tidak terlepas dari bantuan dan peran penguasa negeri ini (baca: SBY).
Kalau kita review perjalanan kasus korupsi Djufri yang juga ketua DPP Demokrat Sumabar ini, ada beberapa trik yang dilakukan agar kasus ini menjadi “basi” dan proses hukum terhadap Djufri tidak berjalan.

Pertama mutasi Sutio Usman Aji. Sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus mark up pengadaan tanah Pemko Bukittingi untuk pembangunan gedung DPRD dan pembelian tanah di Talao untuk pembangunan lokasi terminal truk sebagai pendamping terminal Aur Kuning tahun 2009, Djufri dan petinggi Partai Demokrat seperti “kebakaran jenggot”.

Bayangkan, di tengah hiruk pikuk persiapan perhelatan pesta demorasi 2009 salah satu kader terbaik Demokrat asal Sumbar ini tersandung kasus korupsi.  Alibinya, jika Djufri sampai terseret ke meja hijau pada tahun 2009 sebelum pemilu usai, tentu akan berdampak buruk terhadap Partai Demokrat dan juga SBY yang mencalonkan diri menjadi presiden. Untuk meredam Sutio yang “keras kepala” tetap mengusut Djufri dan memberikan title tersangka pada Djufri , maka jalan pintas yang dapat dilakukan adalah memutasi Sutio ke Kejagung agar kasus ini dibiarkan “mengendap” di Kejati Sumbar. Tindakan ini telah menyelamatkan tiga komponen sekaligus yaitu Djufri yang saat itu mencalonkan diri pada pemilu legislatif dapat melenggang bebas diperpolitikan nasional dan sekarang menjabat di Komisi II DPR RI. Begitu juga citra Partai Demokrat tidak tercoreng menjelang pemilu 2009 dimana Demokrat menang besar di Sumbar. Dan yang terpenting SBY sebagai orang nomor satu di Demokrat terselamatkan dan terpilih menjadi presiden untuk yang kedua kalinya.  

Akan tetapi “kekuasaan” berkata lain. Sutio menerima “ganjaran” berupa mutasi ke Kejagung. Padahal baru menjabat lebih kurang lima bulan sebagai Kejati Sumbar. Logika sederhananya bagaimana kita bisa menilai kinerja Kejati jika dalam masa lima bulan sudah dipindahkan? Menurut hemat penulis alasan pemindahan Sutio bukanlah karena kinerjanya tapi lebih kepada alasan politis karena tindakan Sutio menganugrahkan “titel” tersangka kepada Djufri.

Kedua izin dari istana. Berdasarkan pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU PEMDA) mengatakan “Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik”. Pasal ini mengisyarakatkan perlu izin presiden untuk melakukan proses hukum terhadap kepala daerah yang terjerat yang tersangkut maslah hukum. Untuk memenuhi pasal 36 ayat (1) ini Sutio Usman Aji telah melayangkan permohonan izin kepada SBY sebanya dua kali. Akan tetapi sampai saat ini sudah dua tahun lebih izin dari istana tak kunjung datang. Ini menandakan bahwa pemberantasan korupsi yang “digadang-gadangkan” SBY merupakan “kebohongan publik” dan politik pencitra untuk menarik simpati rakyat. Tidak adanya political will SBY dalam kasus Djufri ini sungguh suatu kemunduran dalam pemberatasan korupsi.

Ketiga Kejati yang “lumpuh”. Sebenarnya izin presiden yang termaktup dalam pasal 36 ayat (1) bukanlah standar mutlak dalam melanjutkan proses hukum terhadap Djufri. Artinya masih ada regulasi yang mengatur jika izin dari istana tak kunjung datang yaitu pasal 36 ayat (2) UU PEMDA mengatakan “dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Artinya ada atau  tidak adanya izin dari istana seharusnya Djufri tetap harus diperiksa berdasarkan aturan yang berlaku. Karena tenggang waktu 60 hari sudah lewat terlalu jauh.

Di samping itu, Kejati sebenarnya bisa melakukan pemeriksaan atau penahanan terhadap Jufri tanpa izin dari SBY dengan memakai legal standing Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 09 tahun 2009 tentang Petunjuk Izin Penyidikan Terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD. Dalam SEMA ini disebutkan jika persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.

Kerasnya intervensi politik melemahkan Kajati untuk melakukan pemeriksaan terhadap Djufri. Tidak dapat dipungkiri Djufri yang dekat dengan penguasa terlihat “kuat” dimata Kejati. Walaupun sudah lima kali pergantian kejati Sumbar, Djufri tidak kunjung di periksa apalagi dimejahijaukan.
Karena derasnya tuntutan dari masyarakat dan para penggiat anti korupsi, maka Kajati Sumbar Bagindo Fachmi melayangkan surat pemanggilan sebanyak dua kali, akan tetapi Djufri tidak ada memperlihatkan batang hidung dan selalu beralasan tidak bisa hadir atau tidak memberi kabar berita alasan ketidak hadirannya.  

Surat Sakti
 
Ketidak hadiran Djufri pada pemanggilan kedua oleh Bagindo Fachmi tidak terlepas dari “surat sakti” dari Partai Demokrat yang meminta Fachmi untuk menunda pemeriksaan terhadap Djufri. Surat sakti ini dilayangkan oleh Djufri melalui kuasa hukum yang tergabung dalam divisi advokasi bantuan hukum DPD Partai Demokrat. Djufri beralasan berdasarkan surat keputusan DPR RI Nomor: 105/PIMP/III/2010-2011 25 April 2011 tentang penugasan delegasi anggota komisi II ke India pada 1-7 Mei, yang memohon kepada Kejati Sumbar mempertimbangkan permohonan penangguhan pemeriksaan kedua terhadap Djufri. Oleh karena kuasa hukumnya memohon agar pemeriksaan terhadap Djufri dilakukan setelah Kunjungan Komisi II DPR RI ke India selesai tepatnya pada 12 Mei mendatang (Padang Ekspres, 29/04/2011).

Adanya surat sakti ini membuat Kejati Sumbar seperti “kerbau diciduk hidungnya”, Sehingga menuruti apa yang diinginkan oleh Djufri. Ini memperlihatkan betapa superiornya Djufri di mata Fachmi. Seharusnya Fachmi bertindak tegas agar Djufri segera memenuhi panggilan Kejati karena ini berkaitan dengan penegakan hukum (law of enforcement). Kajati jangan pandang bulu dan tebang pilih dalam menuntas kasus korupsi karena semua orang sama di depan hukum (equality before the law.). Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaats) bukan negara kekuaasaan (Machstaat). Penegakan hukum harus dilaksanakan terlebih dahulu bukan pelisiran keluar negeri yang menhamburkan uang rakyat diutamakan. Apalagi yang pergi pelisiran itu adalah tersangka kasus korupsi yang selama dua tahun lebih tidak tersentuh hukum sama sekali.

Kita berharap Kajati Sumbar melakukan upaya paksa agar Djfuri dapat diperiksa. Karena berdasarkan KHUAP jika pemanggilan sebanyak dua kali tidak juga di penuhi maka pada pemanggilan selanjutnya dapat digunakan upaya paksa agar Djufri hadir di Kejati Sumbar. Kita berharap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi terutama yang melibatkan pejabat-pejabat negara cepat diusut tanpa pandang bulu. Bagi yang terbukti bersalah dihukum seberat-beratnya kalau perlu hukuman mati, karena selama ini tidak ada koruptor yang dihukum mati karena mencuri uang negara.

Dimuat di Harian Padang Ekspres pada Sabtu, 07/05/2011*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar