Rabu, 20 April 2011

Dicari Kepala Daerah yang Tak Korupsi*

Oleh: Ilham Kurniawan Dartias

Korupsi telah lama ditemukan di pemerintahan tiap daerah bahkan di tiap negara, baik negara berkembang maupun negara maju sekalipun. Otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dipolitisasi oleh elit-elit politik didaerah untuk merampas uang rakyat yang berbuntut terjadinya tindak pidana korupsi. Saat ini sangat sulit kita mencari kepala daerah yang tidak terjerat kasus korupsi. Hal ini dipertegas oleh pimpinan KPK M. Jasmin terkait korupsi di daerah.

M. Jasmine mengatakan tidak ada kepala daerah yang tidak korupsi. Sebab, setelah pemilihan kepala daerah, para kepala daerah menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal dan membayar hutang kepada tim sukses pada masa kampanye (Padek 10/02). Begitu juga data dari ICW yang menyebutkan hampir semua provinsi di negeri ini tersangkut korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus tersangka atau terdakwa. Berdasarkan catatan Kompas, hanya lima dari 33 provinsi di Indonesia yang tidak terjerat perkara hukum. Temuan itu seperti membenarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi bahwa ada 155 kepala daerah yang tersangkut masalah hukum, 17 orang di antaranya adalah gubernur. Hampir setiap pekan, seorang kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka (Kompas, 18/1/2011).

Faktor Penyebab Korupsi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kepala daerah terjerat korupsi. Setidaknya ada 3 faktor penyebab, pertama ongkos politik yang mahal. Pergulatan politik ditingkat daerah tidak kalah sengitnya dengan politik dipusat. Pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada)  memakan biaya yang tinggi, seperti pembelian kendaraan politik atau dukungan partai politik, pengadaan alat peraga kampanye, biaya tim sukses, dan honor saksi di tempat pemungutan suara. Disamping itu calon kepala daerah juga kerap diminta memberikan bantuan untuk masyarakat atau lembaga sosial.

Untuk calon bupati minimal menyediakan uang Rp 5 miliar, calon wali kota minimal Rp 10 miliar, dan calon gubernur minimal Rp 20 miliar bahkan sampai ratusan miliar. Jika kita bandingkan biaya yang harus dikeluarkan dengan pendapatan resmi yang diterima setelah menjadi kepala daerah tidak akan sebanding. Contoh saja gaji gubernur hanya Rp 8,6 juta per bulan atau total Rp 516 juta selama lima tahun menjabat. Ditambah pendapatan upah pungut sekitar Rp 34 juta hingga Rp 90 juta sebulan. Jika gaji dan upah pungut dirata-ratakan perbulannya 100 juta, jadi total selama menjabat adalah 6 miliar. Hasil ini masih belum cukup untuk mengganti ongkos politik yang sudah dikeluarkan. Tapi kenapa calon kepala daerah mati-matian untuk meraih tampuk kekuasaan dengan ongkos yang sangat tinggi? Padahal gaji yang diterima tidak sebanding dengan dana yang dihabiskan. Oleh karena itu untuk menutupi kekurangan biaya selama Pemilukada calon kepala daerah akan berusaha mencari kucuran dana dari tim sukses, terutama sumbangan dana dari pengusaha lokal atau  dari sektor swasta  

Kondisi ini akan menjadi ajang transaksional antara calon kepala daerah dan tim suksesnya. Tak heran kontrak politik sudah menjadi kebiasaan dalam Pemilukada. Konsekuensinya, setelah calon kepala daerah  terpilih tentu akan sibuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang diberikan pihak swasta. Kontrak politik akan berubah menjadi kontrak dagang, atau proyek pengadaan barang dan jasa yang melibatkan para tim sukses yang telah mendanai kepala daerah terpilih.

Kedua penegakan hukum setengah hati. Indonesia adalan negara hukum. Ini termaktup dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Artinya setiap tindakan harus berdasarkan hukum. Secara teoritis konsep negara hukum sudah ada diatur dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi pada kenyataannya hukum cenderung diterabas dan dijadikan tameng untuk melakukan korupsi. Penegakan hukum hanya untaian kata-kata yang indah, sedangkan kenyataannya para koruptor bebas menghirup udara segar dan menikmati kemewahan yang sudah dirampasnya selama menjabat. Sebut saja korupsi berjamaah APBD Sumatera Barat oleh 43 orang anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004 yang akhirnya di vonis bebas oleh Mahkamah Agung (MA). MA seharusnya mengambil peran dalam pemberantasan korupsi bukan sebaliknya membebaskan koruptor. Memang tepat kepanjangan MA adalah Mahkamah Ajaib (dalam opininya Saldi Isra menyebut MA=Mahkamah Ajaib), karena melahirkan putusan yang aneh bin ajaib. Disamping itu keterlibatan mantan Gubenur Sumatera Barat Zainal Bakar sampai sekarang tidak ada proses hukumnya dan seakan-akan ditutup-tutupi.

Lemahnya penegakan hukum membuat kepala daerah leluasa dalam melancarkan praktik korupsi. Aparat penegak hukum (polisi, kejaksaan, dan hakim) mati suri dalam memberantas korupsi terutama yang melibatkan kepala daerah. Sebut saja Jufri mantan Wali Kota Bukittingi  yang sekarang menjadi anggota DPR RI terkait dugaan korupsi mark up pembelian tanah Pemko di Kecamatan Mandiangin Kota Bukittinggi. Sejak tahun 2009 Jufri telah ditetapkan sebagi tersangka, dan Kejati sudah memohon izin pemeriksaan kepada presiden. Meskipun Kejati Sumatera Barat sudah berganti lima kali sampai sekarang izin presiden belum juga keluar dan tidak ada kelanjutan proses hukumnya. Sebenarnya Kejati bisa melakukan pemeriksaan atau penahanan terhadap Jufri tanpa izin dari presiden dengan memakai landasan hukum (legal standing) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 09 tahun 2009 tentang Petunjuk Izin Penyidikan Terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD. Dalam SEMA ini disebutkan jika persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan. Sayangnya Kepala Kejati Sumatera Barat Bagindo Fachmi tidak memiliki kekuatan untuk memproses Jufri yang juga politisi Partai Demokrat (baca: partai berkuasa). Mungkin Fachmi takut akan mengalami nasib yang serupa seperti mantan Kejati Sumatera Barat Sutio Usman Aji yang langsung dimutasi ke Kejagung setelah menetapkan Jufri sebagai tersangka. Padahal masa jabatanya Sutio baru lima bulan, bagaimana kita menilai kinerja seseorang dalam waktu yang singkat.

Fachmi harus bekerja ekstra dalam memberantas korupsi karena banyak kasus yang belum tuntas. Menurut data dari LBH Padang ada 84 kasus korupsi yang belum dituntaskan oleh Kejati. Diantaranya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Kota Sawahlunto, Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Kabupaten Solok. Baru-baru ini wakil Bupati Agam terpilih juga masuk dalam pundi kepala daerah yang tersangkut korupsi dan sekarang sedang ditangani di Kejari Agam. Ini menandakan bahwa Fachmi  “mandul” dalam pemberantasan korupsi di Sumatera Barat.  

Faktor yang ketiga adalah budaya korupsi. Sudah menjadi tren di era otonomi ini bahwa kepala daerah berlomba-lomba untuk menjadi koruptor. Orientasi kepala daerah hanya untuk memperkaya diri, bukan untuk mengabdi pada masyarakat. Telah terjadi degradasi moral para pemimpin didaerah dimana korupsi adalah hal yang biasa. Kebiasaan ini dipicu karena kurangnya kesadaran hukum dan keimanan dari kepala daerah. Dana yang seharusnya diperuntukan untuk rakyat malah digunakan untuk mempertebal kantongnya dan para tim sukses yang telah membantu mengantarnya pada tampuk kekuasaan. Budaya korupsi sudang menjalar mulai dari atasan sampai ke bawahan. Ketika terkuak satu kasus korupsi akan berdampak sistemik dan menjerat para pejabat negara lainnya.

Solusi
Seiring perkembangan zaman modus korupsi kian canggih, karena kejahatan korupsi tidak hanya tindakan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan yang menyebabkan kerugian keuangan negara saja. Tetapi tindak pidana itu telah menjelajah dan merasuk semakin dalam pada ruang-ruang pembuat kebijakan publik sehingga dapat terjadi impunitas, kekebalan hukum pada orang tertentu dan kecenderungan melegalisasi  korupsi melalui kebijakan yang dibuat oleh pejabat tersebut. Melalui kebijakan para kepala daerah berelaborasi dengan bawahannya untuk melakukan korupsi. Ini dapat kita lihat dari beberapa keputusan bupati/walikota dan gubernur yang memberikan izin bagi investor untuk menanamkan modal dan masing-masing mendapatkan imbalan dari setiap investasi yang ditanamkan. Upaya legalisasi korupsi melalui kebijakan sedang marak terjadi.

Untuk keluar dari keterpurukan dan demi pemberantasan korupsi kepala daerah setidaknya ada empat solusi yang dapat dilakukan. Pertama pengurangan dana Pimilukada. Besarnya biaya Pemilukada akan memicu kepala daerah untuk melakukan korupsi. Mulai dari tahap pencalonan, calon kepala daerah harus mengucurkan dana yang besar kepada partai pengusungnya. Begitu juga ketika masa kampanye yang memakan biaya yang lebih besar. Untuk itu pembebanan biaya pada calon harus dikurangi dan partai harus mendanai calon yang diusungnya. Disamping itu aktribut kampanye juga harus dikontrol dan dibatasi untuk mengurangi pengeluaran biaya. Selama ini atribut kampanye tidak ada kontrol dan pembatasannya sehingga banyak atribut baik itu poster, spanduk dan baliho yang berserakan di sembarang tempat.

Kedua Transparansi. Untuk membatasi dana Pemilukada perlunya transparansi harta kekayaan calon kepala daerah dan pelaporan dana kampanye yang digunakan. Baik itu alokasi dari partai maupun dari tim suksesnya. Selama ini calon kepala daerah hanya melaporkan sebagian harta dan dana kampanye sedangkan dana taktis baik dari tim sukses atau pengusaha banyak yang tidak dilaporkan. Begitu juga ketika kepala daerah sudah terpilih dalam menjalankan roda pemerintahan harus melakukan transparasi terhadap penggunaan anggaran.

Ketiga penegakan hukum  (law enforcement). Jangan hukum tajam ke bawah dan tumpul keatas. Keempat hukuman mati bagi koruptor. Selama ini koruptor semakin merajarela karena ringannya hukuman yang diberikan. Hukuman yang diberikan hanya batas minimal sekitar dua sampai lima tahun. Belum lagi adanya fasilitas mewah dan pelayanan lebih di penjara. Situasi ini tidak akan membuat efek jera bagi kepala daerah untuk melakukan korupsi. Penegakan hukum juga tidak bisa terlepas dari peran dari masyarakat. Masyarakat sebagai kontral sosial dalam pelaksanaan penegakan hukum karena kekuatan masyarakat (people power) sangat menentukan jalannya kehidupan bernegara.  

*Opini, Padang Ekspres 21 Februari 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar