Minggu, 24 April 2011

Tiada Remisi Bagi Koruptor

Oleh : Ilham Kurniawan Dartias
          Korupsi merupakan kejahatan yang bersifat “exstra ordinary crime”. Artinya ini merupakan sindrom yang bersifat akut, berdampak sistemik tidak hanya pada keuangan negara, perekonomian dan juga keadaan sosial masyarakat. Masih tergiang ditelinga ketika SBY mengatakan “Saya akan berada paling depan dalam memberantas korupsi”, dan ini sangat kontaradiktif dengan pemberian keringanan hukuman bagi koruptor seperti remisi yang diterima oleh besan SBY Aulia Pohan dkk yang menghebohkan masyarakat. Apakah ini hanya “retorika” SBY untuk memperbaiki citra dan popularitasnya dimasyarakat dengan memasang badan sebagai pencetus pemberantasaaan korupsi? Dapat kita bayangkan ketika marwah pemberantasan korupsi dikebiri oleh pencetusnya sendiri. Ini merupakan jalan mundur pemberantasan korupsi yang telah menjamur di negara kita ini.

            Kemarin, pada perayaan HUT RI ke-65 sebanyak 58.234 narapidana mendapatkan remisi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 330 narapidana kasus korupsi dan 11 orang diantaranya langsung bebas setelah masa penjaranya dikurangi. Jumlah napi kasus korupsi yang bebas berdasarkan wilayah yakni, Sumbar 1 orang, Sumsel 2 orang, wilayah Banten 5 orang, Jogjakarta 1 orang, Jateng 1 orang dan Sulteng 1 orang. Alasan pemberian remisi karena para narapidana berkelakuan baik, tidak pernah memiliki catatan buruk selama menjalani masa hukuman. Padahal dampak ditimbulkan oleh koruptor ini merupakan kejahatan yang terstruktur dan masih yang merugikan negara dan masyarakat. Jika ini terus berlanjut, koruptor akan semakin “beringas” menggrogotti uang rakyat karena secara tidak langsung telah mendapat perlindungan dari penguasa.

Revisi Landasan yuridis

Jika kita melihat landasan yuridis pemberian remisi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang remisi, asimilasi, cuti dan pembebasan bersyarat. Dalam pasal 34 ayat (3) mengatakan:
 “Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berkelakuan baik; dan b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana”.

Jika ini tetap dipertahankan akan melemahkan semangat juang pemberantasan korupsi dan ini dapat dijadikan tameng untuk melindungi para koruptor yang merupakan kolega dari penguasa(baca : Aulia Pohan). Ini tidak relevan dengan konsideran PP Nomor 28 Tahun 2006 jika kita mengaitkan dengan rasa keadilan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat pasti ingin koruptor dijatuhi hukuman seberat-beratnya bukan diberi keringanan (baca: remisi) yang diberikan pemerintah. Hal ini semakin parah  dimana Indonesia merupakan  negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis.  Itulah hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) yang berbasis di Hong Kong.  Penilaian didasarkan atas pandangan ekskutif bisnis yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Total responden adalah 2,174 dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat.

Oleh karena itu sudah seharusnya peraturan perundang-undang yang notabenya memberikan perlindung baik pengurangan maupun pengampunan terhadap koruptor harus segerai direvisi demi pemberantasan korupsi di Indonesia. Kalau ini tidak ditindaklanjuti dengan serius Indonesia akan tetap menempati rangking pertama sebagai negara terkorup.

Nurani pemberantasan korupsi
Ditengah hiruk-pikuk kasus korupsi yang melanda negeri ini merupakan tugas kita bersama. Hal ini akan terwujud jika pemerintah dalam hal ini tidak cuci tangan dalam pemberantasan korupsi. Ini diawali dari para pejabat negara yang merupakan pemegang amanat rakyat untuk mengali dan merenungkan bagaimana untuk membangun bagsa ini bukan memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan cara mengeruk uang rakyat. Rakyat telah lelah dengan janji yang hanya sebatas retorika saja akan tetapi rakyat ingin bukti konkrit penegakan hukum.

Karut-marut pemberantasan korupsi tidak terlepas dari peran aktif dari SBY sebagai orang nomor satu di negeri ini. SBY harus konsisten dan tidak setengah hati dalam pemberantasan korupsi. Kembali pada hati nurani bahwa korupsi suatu perbuatan yang diharamkam oleh seluruh agama dan pertanggungjawabannya tidak hanya dunia tapi juga akirat.

Langkah konkrit yang harus dilakukan adalah pertama bagaimana membangaun komitmen dari aparatur penegak hukum benar-benar serius memberantas korupsi karena bersifat exstra ordinary crime. Kedua reformasi birokrasi yang berbelit-belit yang cenderung membuka peluang untuk bermainnya para mafia kasus, mafia peradilan dan koruptor. Ketiga  revisi peraturan perundang-undangan yang bersifat melindungi dan meringankan hukuman bagi koruptor. Keempat hukum koruptor seberat-beratnya dan sudah saatnya koruptor dijatuhi hukuman mati sesuai dengan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dimana koruptor dapat dijatuhkan hukuman mati supaya adanya efek jera. Kelima tiada keringanan/penghapusan hukuman bagi koruptor yang telah merampas uang rakyat.


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar