Rabu, 20 April 2011

Gurita Korupsi Melilit Kepala Daerah*


Oleh:  Ilham Kurniawan Dartias


Korupsi bagaikan budaya yang telah melekat di negara antah-barantah (baca: Indonesia). Sekalipun pemerintah (baca: SBY) mendengungkan pemberantasan
korupsi, tetapi kenyataannya justru sebaliknya korupsi makin menjadi-jadi. Gurita korupsi semakin kuat melilit negara ini, walaupun segala upaya penegakan hukum telah dilakukan.

Pascaotonomi daerah, virus korupsi mulai merambah ke pemerintahan dan elit politik di daerah. Saat ini sangat susah kita menemukan kepala daerah yang tidak terlilit kasus korupsi. Sebanyak 17 gubernur dan 158 bupati serta walikota terjerat dalam tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Begitu juga menurut data ICW, hampir semua provinsi di negeri ini tersangkut korupsi karena ada saja kepala daerah yang saat ini berstatus tersangka atau terdakwa.

Wabah korupsi yang melilit kepala daerah semakin meraja rela. Ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama budaya korupsi. Sudah menjadi tren di era otonomi  bahwa kepala daerah berlomba-lomba untuk menjadi koruptor. Kepala daerah hanya bertujuan untuk memperkaya diri, bukan untuk mengabdi pada masyarakat. Kebia­saan ini dipicu karena ku­rangnya kesadaran hukum dan keimanan dari kepala daerah. Ketika proyek korupsi berhasil dilaksanakan, maka seluruh lapisan mulai dari atasan sampai ke bawahan bahkan cleaning service pun mendapat bagian meskipun mereka tidak tahu dari mana datangnya uang tersebut.

Kedua ongkos politik yang tinggi. Pergulatan politik di tingkat daerah tidak kalah hebatnya dengan perpolitikan di pusat. Pelaksanaan politik di daerah harus mengeluarkan rupiah yang bayak mulai dari persiapan pencalonan sampai ketika hari pemilihan kepala daerah. Biaya yang dikeluarkan seperti lobi dukungan partai politik di mana calon harus mengeluarkan miliaran rupiah supaya diusung oleh partai politik, biaya selama kampanye, dan honor saksi serta petugas lainnya di saat pemungutan suara.

Jika kita kalkulasikan untuk calon bupati/walikota menyediakan uang Rp5–20 miliar, dan calon gubernur minimal Rp20 miliar, bahkan sampai ratusan miliar rupiah. Belum lagi biaya tambahan, jika terjadi sengketa PHPU ke Mahkamah Konstitusi yang memakan uang miliaran ru­piah. Jika dibandingkan biaya yang dihabiskan dengan pen­dapatan resmi yang diterima kepala daerah tidak akan sebanding. Untuk menutupi kekurangan biaya selama pemilukada calon kepala daerah akan berusaha mencari dan mengumpulkan dana terutama pasokan dari pengusaha atau dari sektor swasta. Kondisi ini akan menjadi ajang tran­sak­sional antara calon kepala daerah dengan para kolega, tim sukses, dan pengusaha atau investor yang bersedia men­danainya. Kontrak politik akan berubah menjadi kontrak usaha dagang, atau proyek miliaran rupiah untuk mencari ke­untungan.

Ketiga penegakan hukum (supremacy of law) kian te­rabaikan. Indonesia adalan ne­gara hukum (rechtsstaat). Be­rarti setiap tindakan dan per­buatan harus berdasarkan hu­kum yang berlaku.

Akan tetapi kenyataannya penegakan hu­kum hanya sebatas untaian kata-kata indah yang dituang­kan dalam peraturan-perun­dangan. Sedangkan penegakan hanya mimpi bagi pencari kea­dilan (rakyat) dan para korup­tor akan tetap bebas menghirup udara segar serta menikmati kemewahan harta yang sudah dirampasnya selama menjabat. Hukum berlaku untuk masya­rakat lemah dan mandul kepa­da pengusaha dan penguasa.

Lemahnya penegakan hu­kum dimanfaatkan kepala daerah untuk melancarkan praktik korupsi. Ditambah dengan kekuasaan yang dimi­likinya kepala daerah dapat meng­gunakan kewenagannya untuk memuluskan langkahnya. Seperti kasus korupsi mantan Walikota Bukittingi Jufri (sekarang anggota DPR RI) dalam mark up pembelian tanah Pemko Bukittinggi di Kecamatan Mandiangin Kota Bukittinggi. Jufri telah dite­tapkan sebagi tersangka sejak tahun 2009, dan Kejati sudah memohon izin pemeriksaan kepada presiden (baca: SBY). Sampai sekarang izin presiden belum juga keluar dan tidak ada kelanjutan proses hukum­nya.

Walaupun izin dari presiden belum keluar sebenarnya Kejati bisa melanjutkan proses hukum terhadap Jufri dengan meng­gunakan Surat Edaran Mah­kamah Agung (SEMA) Nomor 09 Tahun 2009 Tentang Pe­tunjuk Izin Penyidikan Ter­hadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD sebagai dasar hukum­nya.

Dalam SEMA ini dise­butkan jika persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan pe­nyidikan dapat dilakukan. Sudah genap dua (2) tahun sejak Jufri ditetapkan sebagai tersangka, akan tetapi Kepala Kejati Sumatera Barat Bagindo Fachmi tidak memiliki punya niat dan kekuatan untuk melan­jutkan proses hukum terhadap Jufri.
Mungkin saja Jufri mendapat perlindungan dari SBY karena Jufri merupakan kader terbaik Demokrat di Sumatera Barat yang patut dilindungi oleh SBY. Jika Jufri dihukum tentu akan merusak citra Partai Demokrat.

Banyaknya kepala daerah terlilit kasus korupsi di Su­matera Barat menandakan Fachmi mandul dalam mem­berantas korupsi dan penegakan hukum. Kemandulan Fachmi terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang mandek. Berdasarkan data dari LBH Padang ada 84 kasus korupsi yang belum dituntaskan oleh Kejati.

Di antaranya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Kota Sawahlunto, Kabupaten Kepulauan Men­tawai dan Kabupaten Solok serta Wakil Bupati Agam (Umar) yang juga dililit kasus korupsi yang sekarang sedang ditangani di Kejari Agam. Jika Fachmi takut dan tidak becus dalam menuntaskan kasus korupsi, seharusnya Fachmi dengan jiwa besar mundur dari jabatannya sebagai kepala Kejati. Fachmi seharusnya mencontoh tindakan yang dilakukan oleh pejabat negara di Jepang. Ketika  mereka gagal dalam menjalankan tugasnya atau kurangnya kepercayaan publik, maka dengan jiwa besar mereka mundur dari jabatannya.

Modus korupsi
Setidaknya ada lima kasus korupsi yang melilit kepala daerah. Pertama pengadaan barang dan jasa. Dari 158 gubenur, bupati dan walikota, lebih dari 90 persen  kasus tidak pidana korupsi meli­batkan kepala daerah terkait proyek pengadaan barang dan jasa pemerintahan. Total ang­garan yang dikorupsi mencapai 1,9 triliun rupiah. Angka yang fantastis, akan tetapi uang sebanyak itu mengalir ke kantong kepala daerah bukan kepada rakyat yang sebenarnya lebih membutuhkan. Korupsi pengadaan barang ini dise­babkan karena lemahnya pelak­sanaan proyek. Banyak proyek pemerintah yang tidak tepat waktu, tidak tepat sasaran, tidak berkualitas dan efisien. Di samping itu, alat yang dibeli juga kualitas rendah dan hanya bisa dipakai dalam jangka waktu relatif pendek. Dengan demikian uang yang dikeluarkan juga sedikit dari yang diang­garkan sehingga dapat mengalir kekantong kepala daerah.

Selain itu kebiasaan mem­berikan fee oleh kontraktor, pengawas, panitia pengadaan barang dan jasa, serta pimpinan proyek merupakan praktik korupsi yang sudah lumrah. Fee ini seperti kewajiban tidak tertulis yang harus dilakukan, jika tidak dipenuhi proyek tidak akan diberikan kepada pemenang atau penanggung jawab proyek. Begitu juga ketika menentukan pemenang tender proyek cenderung melakukan suap kepada kepala daerah agar memenangkan peserta tender yang membayar fee paling besar kepada kepala daerah. Kepala daerah sering kali melakukan penunjukan lang­sung dalam tender dan mela­kukan penggelembungan harga barang agar bisa meraut keun­tungan.

Kedua penyuapan. Marak­nya kasus penyuapan juga melanda negeri ini. Jika kita berkaca pada kasus Gayus yang leluasa melakukan suap terha­dap penegak hukum, kepala daerah juga tidak kalah hebat­nya dalam melakukan dan me­nerima suap. Di samping itu, kepala daerah akan mati-matian untuk melo­loskan program peme­rintah daerah baik itu untuk lobi elit di pusat maupun elit di daerah.

Ketiga penyalahgunaan anggaran. Penyelewengan ang­garan yang dilakukan kepala daerah akan berbuntut pada tidak pidana korupsi. Sebut saja korupsi berjamaah APBD oleh  anggota DPRD Sumatera Barat (1999-2004) yang juga melibat mantan Gubenur Sumatera Barat Zainal Bakar. Modus penyelewengan anggaran ini mulai dari peningkatan belanja operasional, pengalihan ang­garan dari satu program ke program lainya, menaikan tunjangan dan penyalahgunaan APBD untuk kegiatan-kegiatan lainnya.

Keempat pungutan. Adanya beberapa usaha yang dinilai ilegal atau bermasalah menjadi sasaran empuk bagi kepala daerah untuk menambah pundi-pundi keuangannya.

Bagi pemilik usaha yang bermasalah tentu sangat takut jika izinnya dicabut atau ditertibkan oleh kepala daerah. Oleh karena itu adanya pungutan yang dila­kukan kepala daerah terhadap pemilik usaha tersebut sudah menjadi hal yang wajar dan patut dilaksanakan. Padahal kepala daerah seharusnya menindak dengan tegas bukan membiarkan dan melakukan pungutan.

Kelima perizinan. Melalui perizinan usaha kepada peng­usaha atau investor untuk menanamkan modalnya kepala daerah akan mendapat keun­tungan dari setiap usaha yang dilakoni oleh pengusaha ter­sebut. Ini dapat kita lihat banyaknya izin-izin usaha perkebunan, pertanian, pertam­bangan, pengelolaan hutan dan pertambangan bermasalah dan tidak sesuai prosedur yang dikeluarkan oleh kepala daerah. Jika dilakukan audit dalam pemberian izin akan semakin banyak kepala daerah yang akan terlilit kasus korupsi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar