Rabu, 20 April 2011

Mencetak Sarjana Berkualitas atau Berkuantitas*

Oleh: Ilham Kurniawan Dartias


Sarjana identik dengan hal yang berbau akademik dan ilmu pengetahuan. Seseorang yang mempunyai pengetahuan dan keahlian pada studi yang digeluttinya. Sarjana merupakan tempat mengadu dari ketidak tahuan dan meminta bantuan ketika terkendala dalam menghadapi suatu masalah. Seorang sarjana harus berilmu, karena dia telah meraih peridiket dibidang akademiknya dan harus siap mempertanggung jawabkan gelarnya baik secara formal melalui ujian yang dilakukan oleh lembaga pendidikan (baca: kampus), maupun tanggung jawab moral kepada masyarakat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ketika perjuangan kemerdekaan,  negara kita terkendalan dengan minimnya para sarjana (orang terpelajar). Terutama pada abad ke 19 belum ada perlawanan bangsa Indonesia yang dimotori oleh kaum terpelajar. Belum ada organisasi massa yang terkoordinir dengan baik. Perlawanan hanya bersifat kedaerahaan dengan menggunakan senjata tradisional. Baru ketika awal abad 20 pergerakan dilakukan oleh kalangan terpelajar. Misalnya lahirnya Budi Utomo (1908) dan kemudian disusul lahirnya organisasi pergerakan lainnya. Begitu juga ketika persiapan kemerdekaan Indonesia di akhir penjajahan Jepang sudah muali lahir para sarjana di Indonesia. Akan tetapi jumlahnya masih sedikit dan belum cukup untuk membangun dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam waktu dekat. Hal ini senada dengan dengan pernyataan Soepomo yang menyanggah pernyataan M. Yamin dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan pelaksanaan Judicial Review oleh Mahkamah Agung. Soepomo mengatakan bahwa saat ini belum tepat dilaksanakan di Indonesia karena kita belum banyak mempunyai sarjana hukum yang mengetahui dan mengerti dengan konsep yang ditawarkan oleh M. Yamin. Akhirnya peserta rapat menyetujui pendapat dari Soepomo tersebut karema saat itu memang sedikit sarjana yang ada di Indonesia. Ini menandakan betapa penting arti dan kehadiran seorang sarjana untuk membangaun dan mencerdaskan kehidupan suatu bangsa. Kehadiran sarjana dapat membawa perubahan baik segi sosial, politik, budaya, ekonomi dan hukum kearah yang lebih baik.

Sarjana Hari Ini
Dewasa ini negara kita tiap tahunnya sangat banyak mencetak para sarjana dari berbagai disiplin ilmu. Baik itu ilmu sains maupun ilmu sosial. Semakin bertaburnya lembaga pendidikan baik itu PTN maupun PTS akan semakin banyak pula menghasilkan sarjana-sarjana muda untuk memajukan bagsa ini. Akan tetapi ada beberapa hal yang mengganjal dari benak kita berkaitan dengan peran sarjana untuk bangsa. Setidaknya ada tiga poin yang dapat kita gali berkaitan dengan kedudukan seorang sarjana yang tidak terlepas dari tri dharma perguruan tinggi.

Pertama Pendidikan. Sebelum mendapat gelar seorang sarjana harus menempuh jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai tamat Sekolah menengah atas dan kemudian melanjutkannya kebangku perkuliahaan. Ini merupakan proses yang harus dilalui agar dapat meraih gelar akademik sebagai sarjana strata 1 dan dapat dilanjutkan sampai strata 3 hingga meraih gelar guru besar (Profesor). Dengan gelar yang dimilikinya seorang sarjana akan dinilai lebih oleh masyarakat masyarakat sebagi orang yang memiliki ilmu. Seperti kata orang bijak,”didahulukan selangkah, ditinggi an sarantiang,”. Begitu juga tuhan akan menggangat derajat orang yang memiliki ilmu. Kanan tetapi kenyataannya di Indonesia banyak para sarjana hanya terpaku pada gelar yang dia miliki.

Sekarang orang hanya berpacu untuk memperoleh gelar saja, tanpa mendalami dan memehami ilmu yang dipelajarinya. Orang bersedia untuk membayar lebih mahal biaya pendidikan untuk mendapatkan gelar sarjana. Bahka ada beberapa lembaga pendidikan menyediakan ijazah sarjana asalkan orang mau bayar. Tidak heran jika praktik jual beli ijazah menjadi salah satu lahan bisnis yang baru di negara ini. Orang kapitalis yang tdiak mengerti akan marwah pendidikan akan semakin meraja rela jika pemerintaha tidak  turun tnagan untuk memperbaiki dan menindak oaring-orang yang sudah mencoreng wajah pendidikan.

Ketika sarjana dibutuhkan uintuk memajukan suatu negara, malah terjadi pergeseran orientasi, dan gelar sarjana dijadikan sebagai suatu prasyarat kenaikan panggkat atau menambah gelar akademik saja. Terjadinya pergeseraan orientasi pendidikan ini semakin diperparah dengan keterlibatan beberapa lembaga pendidikan yang memfasilitasi praktik jual beli ijazah. Ini semakin memperparah kondidi wajah muram pendidikan di Indonesia dimana sarjana yang dicetak hanya berpatokan pada gelar saja, tanpa melihat bagaimana pertanggungjawabkan gelar akdemik tersebut.

Kedua penelitian. Penelitian merupkan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengkaji suatu permaslahan tertentu sesuai dengan keilmuan yang pelajari. Biasanya hasil penelitian ini akan dijadikan karya tulis ilmiah yang tentunya kan beruna bagi kalayak umum atau untuk perkembanggan pendidikan. Misalkan seorang mahasiswa hukum harus melakukan penelitiandan mebuatnya dalam bentuk skripsi sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui apa permasalahan yang sedang terjadi dan menawarkan atau menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Seorang peneliti harus memikirkan mamfaat dari penelitian, baik mamfaat  secara teoritis maupun secara praktis. Akan tetapi ini kontradiktif dengan pola mahsiwa yang melakukan penelitian. Mereka memandang penelitian ini hanya sebagai syarat untuk meraih gelar sarjana saja, dan sebagai kredit semester yang harus dituntaskan. Telah terjadi perubahan paradikma bahwa penelitian ini sebagai beban akademik. Kondisi demikian menyebabkan penelitian mahsiswa hanya sebagai kewajiban tanpa memikirkan mamfaat dari penelitian itu. Hasilnya setelah menjadi sarjana, hasil penelitian dalam bentuk karya tulis hanya sebagai pajangan diperpustakaan atau di rak-rak buku. Oleh karena itu idealnya seorang sarjana harus memikirkan bagaimana melakukan penelitian yang bermamfaat baik untuk ilmu pengetahuan maupun untuk masyarakat umum.

Ketiga pengabdian. Pengabdian berkaitan dengan tugas semua anak bangsa. Setelah meraih gelar dalam pendidikan, melakukan penelitian seorang sarjana harus mengabdikan diri dan ilmunya kepada negara. Pengabdian ini diperlukan untuk memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Seorang sarjana harus mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya agar ilmu tersebut bermamfaat bagi semua kalangan. Akan tetapi, saat ini pengabdian yang dilakukan sarjana hanya bohong belaka. Pengabdian hanya dalam bentuk proyek penelitian dan dijadikan ladang untuk memperoleh keuntungan bagi sarjana dan para pemilik modal.

Pola pengabdian yang marak sekarang ini adalah dengan melakukan kerjasama dengan investor untuk melakukan suatu program yang notabene menguntungkan investor dan penguasa justru merugikan rakyat. Ini sangat meludahi rasa keadilan jika pengabdian ilmu yang dimiliki oleh sarjana hanya untuk para penguasa dan pemilik modal saja, sedangkan untuk kepentingan rakyat sangan sedikit andil dari sarjana.

Bahkan begitu juga di Indonesia, banyak sarjana yang tidak dimamfaatkan karena memang tidak mempunyai ilmu untuk merealisasikannya pada masyarakat. Ini terjadi karena sarjana hanya belajar secara teoritis saja dan tidak mempelajari bagaimana prakteknya dilapangan. Banyak saat ini mahasiswa hanya melakukan kegiatan perkuliahan hanya pada apa yang tertera dalam buku, aturan, dan teori saja. Sedangkan praktik dan kenyataanya dilapangan sangat berbeda. Oleh karena itu kita harus menghapus pradikma bahwa seorang mahasiswa yang akan menjadi sarjana harus berfikir bagaimana mengaplikasikan ilmunya kepada masyarakat bukan hanya sebatas hapalan atau teoritis saja tanpa aplikasi dilapangan.

Sarjana Berkualitas atau Berkuantitas
Banyaknya sarjana yang dihasilkan oleh kampus tiap tahun tidak menjamin kualitas dari mutu pendidikan yang sudah diterapkan oleh kampus yang bersangkutan. Sarjana yang dicetak hanya berdasarkan kuantitas (jumlah), dimana lembaga pendidikan berusaha sebanyak mungkin untuk menghasilkan para sarjana tanpa memperhatikan kualitas dari sarjana tersebut. Ini akan memperparah keadaan pendidikan jika kualitas seorang sarjana hanya dimiliki oleh beberapa orang yang dulunya aktif dalam perkuliah. Untuk itu kita perlu keluar dari pola pikir bahwa semakin banyak sarjana yang dihasil semakin bagus mutu pendidikanya, akan tetapi semakin banyak sarjana yang berkualitas maka semakin bagus mutu pendidikanya.

Untuk keluar dari kekakuan pendidikan ini, setidaknya ada tiga cara yang dapat kita lakukan. Pertama kita harus membuka kesempatan pendidikan bagi setiap warga negara. Kita harus memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa pendidikan itu sangat penting. Dengan memeudahkan akses untuk mendapatkan pendidikan maka akan mempermudah golangan yang lemah untuk memperolaeh haknya dan dapat mengaplikasinya dalam kehidupannya sehari-hari

Kedua melibatkan mahasiwa dalam penelitian. Semakin banyak mahasiswa melakukan penelitian akan semakin bagus pola pikir dan akan menghasilkan karya yang lebih baik dari pada mahasiwa hanya kuliah dan terus pulang. Ini akan menambah pengetahuan dan daya kritis mahasisiwa untuk menyikapi keadaan masyarakat yang terajadi. Jadi setelah menjadi sarjana nantik akan menghasilkan sarjana yang memiliki pola pikir maju kedepan dan menguasai ilmu yang dibidanginya baik teoritis maupun praktisnya.

Ketiga biaya pendidika yang murah. Dengan biaya yang murah akan mempermudah mahsiswa dalam mendapatkan ilmu. Ini merupakan tanggung jawab negara kepada warga negaranya karena pendidikan itu adalah hak segala bangsa. Untuk mencetak sarjana yang berkualitas sangat perlu pemimpin yang benar-benar berhati suci untuk memajukan pendidikan. Jangan arena pendidikan dijadikan ladang untuk mencari keuntungan sehing ada beberapa kampus yang terseret kasus korupsi. Begitu juga jangan kampus dijadikan lahan bisnis bagi penguasa dan investor. Jadikan lah kampus sebagi tempat pendidikan untuk mendidik dan mencetak sarjana yang berkualitas bukan yang berkuantitas.

 *Opini Padang Ekspres, 9 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar