Rabu, 20 April 2011

Kejati yang (Tak) Bertaji*

Oleh: Ilham Kurniawan Dartias


Janji manis Kepala Kejati Sumatera Barat Bagindo Fachmi masih tergiang-giang ditelinga kita berkaitan dengan penuntasaan kasus korupsi di Sumatera Barat. Begitu banyak kasus korupsi yang mandek di Kejati yang sampai sekarang tidak jelas status dan kelanjutannya. Berdasarkan data dari LBH Padang ada 84 kasus korupsi yang menumpuk dan tidak dituntaskan oleh Kejati. Sederetan kasus yang menjadi prioritas adalah kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Ada beberapa kepala daerah yang terlibat kasus korupsi yang tidak jelas status dan kelanjutan hukum. Bagindo Fachmi berjanji akan mengusut kasus korupsi yang mandek, akan tetapi pernyataan Fachmi kontradiktif dengan realita yang terjadi. Rakyat tidak menunggu janji-janji manis tapi langkah konkrit yang nyata yang diinginkan masyarakat.

Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah dugaan korupsi ganti rugi tanah untuk Pemko Bukittinggi yang melibatkan anggota DPR RI asal Sumatera Barat, Drs. H. Djufri yang dulunya menjabat Wali Kota Bukittinggi. Dalam kasus ini juga melibatkan mantan Sekdako Bukittinggi Khairul yang sampai sekarang belum juga diproses.

Kasus ini berawal pada tahun 2007, dimana Pemko Bukittinggi membeli tanah di Manggih Gantiang untuk lokasi pembangunan gedung DPRD dan pembelian tanah di Talao untuk pembangunan lokasi terminal truk sebagai pendamping terminal Aur Kuning. Dalam prose jual beli tanah itu di sinyalir bahwa ada indikasi mark up (penggelembungan harga) yang dilakukan oleh beberapa pejabat Pemko dalam ganti rugi tanah. Atas kecurigaan ini Kejari Bukittinggi mendakwa beberapa pejabat pemko. Diantaranya ada enam orang bawahan Djufri yang di nyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Seperti dalam pemberitaan media, Aderman mantan Camat Mandiangin Koto Salayan, Dharma Putra Mantan Lurah begitu juga Erwansyah mantan luruh yang sudah mengalami proses hukum sampai pada kasasi di MA dan diputus bersalah dengan masing-masing hukuman satu tahun penjara dan denda 200 juta rupaihsubsider enam bulan kurungan. Sekarang ketiganya sudah mendekam di LP Biaro Bukittinggi.

Sedangkan tiga orang lagi Yasmen mantan asisten tata pemerintahan, Asmahadi mantan kabag hukum dan Wasdinata masing-masing dihukum empat tahun penjara. Seorang terdakwa lagi Unggul sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Bukittingi.

Kejati tak Bertaji
Sejak ditetapkan sebagi tersangka dalam kasus mark up pengadaan tanah Pemko Bukittingi untuk pembangunan gedung DPRD tahun 2009, Djufri tidak tersentuh oleh hukum. Walaupun status tersangka “pemberian” dari Sutio Usman Aji (kepala Kejati saat itu) tidak membuat Djufri bergeming dan terhalang dalam menitih kariernya diperpolitikan nasional. Buktinya Djufri  tetap melenggang bebebas dan menikmati empuknya kursi DPR RI sebagai wakil rakyat dari Sumatera Barat walaupun status tersangka sudah melekat. Akibat pemberian titel tersangka ini Sutio Usman Aji yang baru menjabat selama lebih kurang lima bulam di Kejati Sumbar dimutasi ke Kejagung oleh SBY. Ini merupakan counter attack yang dilakukan SBY untuk menyelamatkan kader Dekmokrat karena saat itu sedang hangatnya Pemilu 2009. Dapat dibayangkan jika Djfuri diproses tentunya akan menurunkan kredibilitas dan popularitas partai Demokrat yang berimplikasi sulitnya SBY memenangai pemilu 2009 saat itu. Salah satu langkah strategis untuk mengatasinya adalah melakukan mutasi kepada Sutio yang “keras kepala” dan tetap bersikukuh menetapkan Djufri sebagai tersangka. Tentunya tindakan SBY ini sangat kontradiktif dengan jargon pemberantasan korupsi yang didengungkannya selama ini. SBY malahan  melindungi dan mengembangbiakan koruptor-koruptor terutama yang ada dalam ruang lingkup SBY dan partai Demokrat.

Walaupun sudah lima kali pergantian Kepala Kejati Sumabar dan sampai sekarang Bagindo Fachmi, kelanjutan kasus Djufri hanya sebatas retorika dan mimpi belaka. Sering sekali  Fahcmi berjanji akan menyelesaikan kasus Djufri akan tetapi sampai sekarang hasil nihil. Sedangkan enam orang bawahan Djufri sudah menjalani proses hukum sampai ke MA dan sekarang sudah mendekam dalam penjara, akan tetapi Djufri tidak tersentuh oleh hukum. Ini menandakan hukum hanya berlaku bagi bawahan sedangkan atasan dan penguasa kebal terhadap hukum. Inikah yang dinamakan keadilan? Seharusnya Fachmi segara melakukan proses hukum, tetapi Kejati tak “bertaji” dalam melawan dan mengusut Djufri yang notabene didukung oleh SBY yang saat ini sedang menempati tampuk kekuasaan. Jangankan untuk melanjutkan proses hukum, memanggil Djufri pun Kejati tak bertaji. Djufri  sangat kuat dimata Kejati dan jangan harap selama SBY berkuasa Djufri akan di masukan kedalam penjara.

Derasnya desakan masyarakat, mahasiswa dan penggiat anti korupsi untuk memproses Djufri membuat Fachmi kelabakan. Oleh karena itu untuk menetral dan memberikan angin segar kepada masyarakat Fachmi menjanjikan akan memanggil Jufri pada Rabu depan (6/4/2011). Akan tetapi tidak jelas apakah pemanggilan itu hanya untuk memenuhi tanggapan dan desakan masyarakat saja atau benar-benar mengusut Djufri. Karena Fachmi sering sekali mengobok-obok masyarakat dengan janji manis. Terlepas dari janji manis tersebut yang terpenting sekarang adalah bagaimana seluruh elemen masyarakat mengawal sejauh mana keseriusan Fachmi dalam menuntaskan kasus ini. Jika Fachmi tidak sanggung menuntaskan kasus Jufri artinya Fachmi termasuk dalam pemimpin “munafik” yang tidak menepati janjinya kepada masyarakat. Seluruh masyarakat ingin melihak apakah kejati memiliki taji dalam mengusut kasus Djufri.

Opini Padang Ekspres, Kamis 7 April 2011
http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=124*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar