Rabu, 20 April 2011

Politik Hukum Pelaksanaan Undang-Undang 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Ditengah Masyarakat Kontemporer (Meningkatkan Penegakan Hukum Berlalulintas Di Kota Padang)

Oleh: Ilham Kurniawan.D[1]
 

I.       PENDAHULUAN
       
Lalu lintas didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu lintas Jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah Kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa Jalan dan fasilitas pendukung.[2] Ada tiga komponen terjadinya lalu lintas yaitu manusia sebagai pengguna, kendaraan dan jalan yang saling berinteraksi dalam pergerakan kendaraan yang memenuhi persyaratan kelaikan dikemudikan oleh pengemudi mengikuti aturan lalu lintas yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangan yang menyangkut lalu lintas dan angkutan jalan melalui jalan yang memenuhi persyaratan geometrik.[3]
      
Seiring perkembangan kepadatan penduduk yang terus bertambah, kebutuhan orang yang semakin banyak, serta kemajuan teknologi yang semakin canggih membawa implikasi semakin ramainya transportasi di jalanan. Kepadatan lalu lintas di jalan tentu saja memerlukan pengaturan yang tepat agar keselamatan dan kenyamanan berlalu lintas dapat tetap terpelihara. Disamping itu juga disiplin masyarakat dalam menaati peraturan lalu lintas harus pula dijaga. Keteguhan penegak hukum[4] agar benar-benar menegakkan hukum sesuai dengan tujuan bernegara hukum (welfare state).[5]
      
Ditengah karut-marutnya penegakan hukum berlalulintas muncul paradigma bagaimana memberikan education of law pada masyarakat, bahwa penegakan hukum adalah untuk kepentingan bersama seluruh anggota masyarakat, karena itu tidak dapat dibebankan secara sepihak kepada polisi lalu lintas belaka. Patuh hukum memang memerlukan biaya yang mahal. Apalagi ditengah kondisi masyarakat kontemporer yang telah dilanda krisis ekonomi berkepanjangan. Akan tetapi untuk patuh hukum dengan biaya setinggi itu tentu bukan hal yang mudah. Di sisi lain untuk melanggar hukum, biayanya akan lebih mahal lagi. Ancaman dendanya jauh lebih mahal daripada denda yang dikenakan terhadap berbagai kejahatan yang diancamkan dalam KUHP.
      
Logika sederhananya disiplin berlalu lintas seharusnya tetap ditegakkan walau dalam kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Namun tampaknya kepercayaan masyarakat terhadap polisi pun sudah sangat rendah, akibat trauma masa lalu, dimana polisi pun sangat rendah, dimana polisi selalu menghantui para pengendara lalu lintas di setiap sudut jalan raya utuk melakukan tilang yang nantinya pasti akan diikuti dengan pengenaan denda damai yang selalu dapat ditawar menawarkan. Keadaan serupa itu membuat citra polisi menjadi tidak ada harganya di masyarakat, sehingga pelanggaran pun tidak berkurang, sebab masyarakat akhimya hanya takut kepada polisi bukan patuh kepada hukum yang berlaku. Bukan hanya di bidang lalu lintas, bahkan semua kasus penegakan hukum polisi tidak lagi dipercaya orang. Dimana-mana terjadi unjuk rasa den perusakan terhadap kantor-kantor polisi, markas-markas polsek den sebagainya. Dalam keadaan serupa itu terjadi keadaan tertib hukum menjadi semakin payah dan menyedihkan.
       
 Disamping itu kecelakaan di jalan pun menjadi semakin sering terjadi karena keadaan di jalan yang seakan tanpa aturan yang harus dipatuhi. Padahal sudah ada undang-undang lalu lintas yang seharusnya diberlakukan sejak tahun 1993, yaitu UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas Jalan sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Hal ini dapat dilihat dengan  semakin tingginya tingkat kecelakan lalu lintas   di Sumatera Barat dalam lima tahun terakhir berfluktuasi  dari tahun 2003 - 2007, ada 12.654 kasus  dengan rincian korban meninggal 3.141 orang, korban dalam perawatan rumah sakit, 7.361, dimana Kasus kecelakaan terbanyak dialami oleh pengendara roda dua  dengan per tahun sekitar 2.000 kasus dengan jumlah korban meninggal berkisar 600 orang dan korban perawatan rumah sakit 1.500-2.000 orang.[6] Khusus untuk Kota Padang setidaknya terjadi 18.750 pelanggaran selama tahun 2009, meningkat dibandingkan tahun 2008 yang hanya 12.609 pelanggaran.[7]
        
Itulah gambaran sepintas tentang parahnya disiplin masyarakat serta aparat penegak hukum di negara kita yang kesemuanya itu mencerminkan betapa menyedihkan kondisi hukum kita pada saat ini khususnya penegakan hukum berlalu lintas. Oleh karena itu dalam Essay ini penulis mengupas bagaimana politik hukum pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan dengan menggunakan tiga pendekatan atau landasan yaitu landasan filosofis, sosiologis dan yuridis. Pemikiran mengenai alasan atau landasan ini sesuai dengan pendapat Bagir Manan yang menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan agar mempunyai kekuatan berlaku harus memiliki tiga landasan berlaku yaitu landasan yuridis, landasan sosiologis dan landasan filosofis.[8]

II.    PEMBAHASAN
        
Secara etimologi, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek.[9] Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia negara berdasarkan hukum mendefinisikan hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang dibentuk. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya.[10] sedangkan Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[11]
       
 Secara teoritis untuk membentuk disiplin masyarakat haruslah melalui proses pelembagaan (institulization) hal ini disebabkan karena norma-norma dalam berlalu lintas bukanlah norma yang tumbuh dari nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Suatu norma terlembaga (institutionalized) dalam suatu sistem sosial tertentu, apabila dipenuhi paling sedikit tiga syarat, yakni :[12]
  1. Sebagian terbesar dari warga suatu sistem sosial menerima norma tersebut.
  2. Norma-norma tersebut telah menjiwai bagian terbesar warga-warga sistem sosial tersebut.Norma tersebut bersanksi.
  3. Pengendalian sosial masyarakat
      Adaptasi masyarakat terhadap norma-norma tersebut akan memerlukan waktu yang relatif lama. Oleh karena itu perlunya politik hukum dalam merealisasikan suatu peraturan perundang-undangan agar berlaku dan dipatuhi dalam amsyarakat. Oleh karena itu adaptasi itu harus dilakukan melalui proses edukasi dan karenanya memerlukan biaya yang besar. Karena itu norma yang dibuat hendaknya juga harus memiliki nilai filosofis, sosiologis dan yuridis.   

1.      Pendekatan Filosofis
Pendekatan filosofis merupakan dasar filsafat atau pandangan, ide yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) kedalam suatu rencana atau suatu peraturan perundang-undangan.[13] Filsafat hukum mencari hakekat dari pada hukum, yang menyelidiki kaedah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai[14] . Dimana ilmu pengetahuan hukum berakhir, disanalah mulai filsafat hukum; ia mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab dalam ilmu pengetahuan1[15].Oleh karena itu kaedah hukum yang dibentuk atau dimuat dalam peraturan perundang-undangan harsu mencerminkan falsafah hidup bangsa, sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.[16] Pembuat peraturan[17] harus memahami bahwa kaedah hukum tersebut harus berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Menurut Krabbe hukum tidak memperoleh kekuatan mengikutinya dari kehendak pemerintah, melainkan pemerintah hanya memperoleh kekuasaannya.[18] 

Bila pernyataan Krabbe tersebut dihubungkan dengan pembuatan UU Nomor 22 Tahun 2009, maka sebenarnya kekuatan mengikut UU itu bukan karena pemerintah menghendakinya. Menurut Krabbe Undang-Undang itu mengikat berdasarkan hukum yang menjelma di dalamnya. Hukum itu sendiri datangnya adalah dari perasaan hukum individu. Akan tetapi individu itu sangatlah banyak, sedang pergaulan hidup menghendaki kesatuan kaidah hukum dimana hukum harus sama untuk seluruh anggota masyarakat. Ini adalah merupakan concitio sine qua non.

Untuk itu sudah seharusnya sektor hukum lebih diberdayakan agar pembangunan masyarakat dan bangsa dapat dilaksanakan atau bahwa dapat dipercepat, sebagaimana pendapat Roscoe Pond bahwa hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial (law as tool of social engineering) atau hukum sebagai sarana pembangunan ( law as a tool of development) sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja.[19] Untuk menjamin tercapainya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan hukum dalam artian kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas perwujudan dari kaidah atau peraturan, malainkan juga adanya jaminan atas perwujudan dari kaidah hukum dalam praktik hukum, yaitu adanya jaminan penegakan hukum yang baik.[20]
  
Bila ini kita hubungkan dengan UU Nomor 22 Tahun 2009, UU ini memang dimaksudkan untuk menjadi agen pembaharuan terhadap perilaku masyarakat dalam berlalulintas di jalan. UU ini juga dimaksudkan sebagai rekayasa sosial yang akan mengarahkan perilaku masyarakat dalam berlalu lintas agar sesuai dengan kehendak pembuat UU. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan, kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara.[21]
  1. Pendekatan Sosiologis
       Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif. Artinya, kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak dapat diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Dalam rangka memahami keterkaitan antara hukum dengan masyarakat yang mendukung hukum itu, perlu diperhatikan adanya reaksi masyarakat terhadap hukum itu.

Jika kita melihat pelbagai bangsa memiliki seni dan keanekaragaaman dalam memahami dan melaksanakan hukum di negaranya. Kendati sama-sama menyebutnya sebagi negara hukum, tetapi kita tidak akan menemukan cara yang seragam dalam berhukum itu. Perbedaan dalam berhukum itu bukan dalam artian bahwa bangsa yang satu lebih maju dari bangsa lainya, mealinkan benar-benar perbeadaan yang muncul dari ketidak samaan dalam pemahaman mengenai hukum itu sendiri. Potret keanekaragaman cara berhukum itu hanya meneguhkan pendapat, bahwa cara bangsa berhukum itu tidak bisa terlepas dari akar-akar sosial dan kulturnya. Cara berhukum itu bukanlah suatu yang masinal dan mekanistis, melainkan suatu bentuk kehidupan sosial yang khas (a peculiar from of social life).[22]

Menurut Durkheim agar hukum dapat berlaku efektif di masyarakat harus ada rasa kebersamam di masyarakat tersebut. Perasaan kebersamaan ini tidak hanya menarik para anggota menjadi satu, melainkan sekaligus juga menjadi landasan berdirinya masyarakatnya Dengan demikian, serangan terhadap masyarakatnya akan dihadapi dengan kesadaran bersama pula, berupa penindakan terhadap serangan tersebut, dalam hal ini berupa pemidanaan.

Lebih jauh Friedman mengatakan bahwa unsur sistem hukum itu bukan hanya terdiri dari structure dan substance. Masih diperlukan unsur ketiga, bahkan yang terpenting bagi bekerjanya sistem hukum,  yaitu budaya hukum (legal culture). Legal culture mencakup persepsi masyarakat terhadap hukum atau nilai yang mereka anut yang menentukan bekerjanya sistem hukum yang bersangkutan. Sikap dan nilai-nilai inilah yang akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum, sehingga legal culture merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau dilecehkan.[23]

Setiap masyarakat, setiap daerah, setiap kelompok memiliki budaya hukum (legal culture). Mereka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum yang tidak selalu sama. Dengan kata lain, ide, pandangan dan sikap masyarakat terhadap hukum dipengaruhi oleh subculture seperti suku atau etnik, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kebangsaan, pekerjaan dan pendapatan, kedudukan dan kepentingan, lingkungan dan agama.[24]  Budaya hukum (legal culture) sebagai wujud pemikiran dalam masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai dengan perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat. Karenanya pemahaman akan budaya hukum (legal culture) suatu masyarakat harus memperhatikan secara menyeluruh aspek-aspek kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalamnya.[25]

Jadi agaknya memang untuk bisa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 secara efektif, masyarakat harus sama-sama merasakan pentingnya pengaturan yang tegas dan keras dalam penegakan disiplin berlalulintas. Sampai saat ini agaknya media massa pun belum banyak menyorot tentang penerapan disiplin dalam berlalu lintas, sehingga polisipun tampaknya belum merasa perlu untuk menindak tegas para pelanggar lalu-lintas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tersebut. Begitu juga moralitas dari aparat penegak hukum yang memutar yang menjadikan hukum sebagai pengisi kantongnya padahal secara prinsip polisi mengayomi dan mendampingi masyarakat. Akan tetapi hal berbeda terjadi dilapangan dan ini mengakibatkan penerapkan UU ini tidak efektif. Begitu juga perhatian masyarakat beserta media masa masih banyak tertuju pada pemberantasan KKN di tingkat atas dan politik kelas nasional, sehingga kasus-kasus pelanggaran lalu lintas dianggap sebagai kasus murahan atau kasusnya orang jalanan saja. 

3.      Pendekatan Yuridis     

Setiap perancang peraturan perundang-undangan agar kaedah hukum yang tercantum dalam peraturan tersebut sah secara hukum (legal validity) dan berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar dan berlaku untuk waktu yang panjang.[26] Dasar yuridis sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk Undang-undang 22 tahun 2009 tentang lalulintas dan angkutan jalan. Kaedah hukum yang berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi tingkatnya (Hens Kelsen), atau apabila berbentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W. Zevenbergen), atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya (JHA Logemann). Dari sisi yuridis untuk terjadinya suatu perundang-undangan harus memenuhi 2 asas, yaitu : asas regulatif dan asas konstitutif asas konstitutif, yaitu asas yang bila itu tidak dipenuhi, maka UU itu tidak sah.
      
Agaknya asas ini memang sudah dipenuhi, yaitu prosedur pembuatan UU tersebut telah melalui hak inisiatif dari Pemerintah kemudian disetujui oleh DPR lalu diundangkan. Tetapi dari sisi asas regulatif, yaitu asas yang bila tidak dipenuhi maka UU itu akan kehilangan rasa keadilan, agaknya UU ini tidak memenuhi persyaratan, sebab asas regulatif harus dipenuhi dengan memperhatikan perkembangan masyarakat secara historis dan kultural. Secara historis-kultural, disipin berlalu lintas adalah merupakan hal yang baru bagi masyarakat yang tengah mengalami modemisasi, sebab sebelum periode ini, masyarakat kita masih dalam kondisi yang tradisional. Artinya jumlah kendaraan pada saat itu belum sebanyak sekarang.

Demikian pula dengan berbagai perkembangan teknologi di bidang pengaturan lalu lintas jalan serta kelengkapan kendaraan dalam berlalu lintas. Kalau dulu belum dikenal adanya traffic-light, kini traffic-light telah menjamur di mana-mana. Begitu juga mengenai pemberlakukan menghidupkan lampu kendaran di siang hari yang padahal sebelumnya tidak diwajibkan. Demikian pula kalau dulu belum dikenal adanya berbagai rambu-rambu lalu lintas, kini sudah banyak. Adanya beberapa hal baru yang dipandang perlu pengaturanya dalam UU ini perlu mendapat perhatian serius dari para pembuat UU dan pelaksana UU ini. Agar norma yang berlaku bisa dijalankan sesuai dengan tujuan pembuatan UU ini. Kesemuanya itu tentu memerlukan sosialisasi yang luas dan membutuhkan waktu. Begitu juga ketika penerapan UU Nomor 22 Tahun 2009 harus melibatkan stakeholders demi efektivitas dan penegakan hukum lalulintas  khususnya di Kota Padang.
     
 Peraturan perundang-undangan juga memiliki kelemahan/kekurangan, seperti yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa: (1) Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat. (2). Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum[27].
Pemerintah juga harus selalu menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana. Di sinipun ada syarat keadilan, yaitu asas persamaan merupakan titik tidak adil dalam keadaan yang sama memidana pelanggar undang-undang yang satu sedangkan yang lain tidak.  Namun juga diakui bahwa "betapapun melembaganya suatu norma, akan tetapi kadang-kadang terjadi juga penyimpangan-penyimpangan. Hal itu terbukti dari bereksistensinya sanksi-sanksi[28].

III. PENUTUP 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tidak mampu mempolakan disiplin masyarakat dalam berlalu lintas di jalan, sebab banyak mengandung konsep yang tidak jelas (tidak logis), tidak mendapat dukungan masyarakat luas (sosiologis), tidak memenuhi syarat berlakunya secara filosofis, walaupun secara yuridis memenuhi syarat. Oleh karena itu lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Akan tetapi hal ini perlu dielaborasikan antara tiga pendekatan yang sangat urgen dalam penegakan hukum berlalulintas khususnya di Kota Padang yaitu dengan melihat bagaimana tujuan dari pembuatan hukum itu sendiri (landasan filosofis), bagaimana keadaan sosial masyarakat, aparat penegak hukum (landasan sosiologis) dan harus sesuai dengan aturan yang lebih tinggi guna pemenuhan hak-hak konstitusional demi terwujudnya keselamatan dan keamanan masyarakt dalam berlalulintas (landasan yuridis). 
Dengan demikian akan meningkatkan penegakan hukum berlalu lintas dinegara kita khususnya di Kota Padang.

 

 DAFTAR PUSTAKA
     

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia, bogor, oktober 2005,
Bagir Manan, Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, In -Hill .Co, Jakarta, 1992
Bagir Manan. Bagir Manan Dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1993  
B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, (Jakarta: J.B. Wolters, 1959,)
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Jakarta.
Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Mandar maju, Bandung, 1995
Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005,
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya Bahkti, bandung, 2003
Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina : Negara Dan Masyarakat (studi mengenai peristiwa-peristiwa Hukum Di Pulau Jawa Zaman Kolonial 1870-1942)
Padmo Wahjono,Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, cet II (Jakarta Ghalia Indonesia, 1986)   
 Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya Dalam Bernegara. Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. I, No.4, September-November 2001,  
 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, cet. III, (bandung: citra Aditya Bhakti, 1991)  
 Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia Dengan Hukum, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas) November 2007
Satjipto Rahardjo, 2010. Sosiologi Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta

 Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan   
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Inedonesia.
Undang-undang No 14 tahun 1994 tentang Lalu Lintas    

Website








       [1] Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas, Makalah disajikan pada acara perlombaan Essay Kritis Mahasiswa Se-Kota Padang dengan tema “Gagagasan Untuk Lalu Lintas Kota Padang yang Lebih Baik” oleh Polresta Padang bekerjasama dengan UKM Genta Andalas, Padang.
       [2] Lihat lebih jelas ketentuan umum Undang-undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan   
       [3]  http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Lalu_lintas&action diakses pada 14 Desember 2010
       [4] Aparatur yang dimaksud adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, hal ini berkaitan dengan kewenangan pembinaan penegakan hukum berlalu lintas oleh Polri sebagaimana dimaksud pada pasal (3) huruf (e) Bab IV Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
       [5] Sementara itu Mukthie Fadjar juga mengemukakan elemen-elemen yang penting dari sebuah negara hukum, yang merupakan ciri khas dan tidak boleh tidak ada (merupakan syarat mutlak) yaitu;
1.       Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
2.       Asas legalitas.
3.       Asas pembagian kekuasaan negara.
4.       Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak.
5.       Asas kedaulatan rakyat.
6.       Asas demokrasi, dan
7.       Asas konstitusional.
Tujuan bernegara hukum (welfare state) tidak bisa dicapai bila ketujuh ciri atau syarat tersebut tidak terpenuhi. Lebih jelas lihat, Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, hal 43.
       [6] http://www.padangkini.com/berita/single.php?id=65
       [7] http://www.padang.go.id/v2/content/view/2252/160/, diakses 16 Desember 2010.
       [8] Bagir Manan, Dasar-Dasar Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, In -Hill .Co, Jakarta, 1992, hlm 13.
        [9] Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya Dalam Bernegara”. Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. I, No.4, September-November 2001, Hal. 43
       [10] Padmo Wahjono,”Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum”, cet II (Jakarta Ghalia Indonesia, 1986) hal, 160. Lihat juga dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Jakarta.
       [11] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, cet. III, (bandung: citra Aditya Bhakti, 1991) hal. 352
       [13]  M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, Mandar maju, Bandung, 1995, hal. 8
       [14]  Soetikno, dalam Lili Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.1
       [15]  Lili Rasjidi, ibid, hlm.3
       [16]  M. Solly Lubis, op. cit.. hal 7
       [17] Dalam hal ini Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 merupakan produk legislative. Artinya para legislator harus mengkaji marwah dan tujuan pembuatan hukum ini secara mendalam bukan karena kepentingan politik belaka tetapi benar-benar untuk mengatur dan menjaga keamanam masyarakat dalam berlalulintas.
       [18]  Kranenburg, diterjemahkan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, (Jakarta: J.B. Wolters, 1959,) hal 17
       [19] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum Di Indonesia (penyebab dan solusinya), Ghalia Indonesia, bogor, oktober 2005, hlm. 8
      [20] Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya Bahkti, bandung, 2003, hal 40
      [21] Lihat lebih jelas penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan.
      [22] Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir; Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia Dengan Hukum, (Jakarta:Penerbit Buku Kompas) November 2007, hal. 65
     [23] Lawrence M. Friedman. American Law (New York : W.W. Norton and Company, 1984), hal. 7, dalam Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina : Negara Dan Masyarakat (studi mengenai peristiwa-peristiwa Hukum Di Pulau Jawa Zaman Kolonial 1870-1942), hal. 16.
       [24] Ibid…
       [25] Stewart Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, “Legal Culture : Description of Whole Legal Sistem, dalam Steward Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stookey, Law & Society :Reading on the Social Study of Law (New York : W.W. Norton & Company, 1995), hal. 165. Sebagaimana dikutip oleh Natasya Yunita Sugiastuti, Ibid, hal. 17.
       [26] Ibid, hal 14.
       [27] Bagir Manan. Bagir Manan Dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung, 1993 Halaman 8
       [28] ttp://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:yz7tQRLrj10J:ejournal.umm.ac.id/index.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar