Rabu, 20 April 2011

Menepis Standar Ganda UN*

Oleh: Ilham Kurniawan Dartias


 
Polemik berkaitan perlu tidaknya Ujian Nasional (UN) sudah berlangsung sejak diberlakukannya UN beberapa tahun lalu. Namun sampai sekarang masih menyisakan permasalahan dalam dunia pendidikan di negara kita. Terlepas dari bobroknya sistem pendidikan evaluasi kearah yang lebih baik belum juga dilakukan oleh pengambil kebijakan di negara kita. Masih ada pihak yang mendukung keberadaan UN dan juga pihak yang menentang keberadaan UN tanpa memikirkan bagaimana kelemahan dan kekurangan pemberlakukan UN itu sendiri. Mereka hanya beretorika tanpa mencari bagaimana win solution dari persoalaan tersebut. Akan tetapi derasnya desakan dari masyarakat untuk menolak UN menandakan bahwa UN bukanlah solusi yang tepat dalam menentukan kualitas atau kelulusan seorang siswa.

Terlepas dari diskursus UN bagi pihak yang setuju beralasan bahwa UN berguna untuk menentukan standar mutu pendidikan secara nasional, karena untuk mengetahui mutu  pendidikan harus ada indikator dan uji ukur yang baku. Apa jadinya kalau suatu proses tidak diukur dengan standar yang baku? Kelompok yang setuju ini di dominasi oleh aparat pemerintahan. Karena bagi pemerintah untuk melihat suatu sekolah bermutu atau tidak diukur dengan standar yang baku, yaitu soal-soal ujian untuk menentukan kelulusan dibuat secara nasional. Pelaksanaan ujian diatur sedemikian rupa secara nasional dan hasil UN dijadikan standar utama penentuan kelulusan. Bagi sekolah yang bisa memperoleh nilai UN lebih baik dianggap sekolah yang bermutu. Demikian pula sebaliknya.

Penolakan
Pertentangan kelompok yang pro dan kontra tentang keberadaan UN ini tidak kunjung usai. Semua tetap pada pendirian dan keyakinan masing-masing. Bagi pihak yang menolak setidaknya ada tiga alasan penolakan keberadaan UN.  Pertama, proses pembelajaran yang tidak merata. Mustahil proses pembelajaran yang tidak merata disamakan sementara berbagai pendukung proses pembelajaran tidak sama, mulai dari sarana prasarana, jumlah dan kualitas guru, besarnya sumber dana, akses terhadap sumber belajar, letak geografis dan seterusnya. Jika akan dibuat standar yang sama, maka juga harus dipenuhi dulu semua aspek pendudukung pendidikan seperti di atas dengan standar, jumlah dan kualitas yang sama. Seharusnya pemerintah melakukan pemerataan pendidikan terutama di daerah tertinggal agar tercapainya pemerataan pendidikan antara sokolah yang ada di daerah dengan di kota, minimal mendekati dengan sekolah yang ada di kota besar.

Kedua, ketidak adilan dalam penentuan kelulusan. Selama ini kelulusan siswa hanya ditentukan oleh nilai yang di-UN_kan saja. Padahal keberrhasilan belajar merupakan suatu proses pembelajaran secara menyeluruh dari prilaku dan nilai yang diperoleh siswa. Artinya penilaian keberhasilan siswa dimulai dari awal menginjakan kaki atau duduk di kelas satu (baca kelas X) sampai kelas tiga (baca XIII). Sangat disayangkan hasil belajar selama ini direduksi karena indikator kelulusan mata pelajaran dari hasil UN saja. Walaupun sekolah bisa menentukan syarat kelulusan lain selain nilai UN, tetapi ternyata tidak bisa dibalik yaitu jika syarat UN tidak lulus sekolah boleh meluluskan. Contoh saja seorang siswa dengan nilai rata-rata tinggi, berprestasi, berprilaku baik dan terpuji. tetapi nilai salah satu mata pelajaran yang di-UN-kan tidak memenuhi standar kelulusan, maka siswa dinyatakan gagal atau tidak lulus. Disinilah ketidak adilan karena regulasi sesat yang dibuat oleh pemerintah yang mencabik-cabik rasa keadilan dalam dunia pendidikan. Konsep ini juga bertentangan dengan prinsip psikologi yaitu seseorang pasti mempunyai kelemahan pada bidang tertentu namun sangat unggul di bidang lainnya. Disamping itu ada juga kesalahan dalam pengisian lembar jawaban dan siswa dalam keadaan kurang sehat atau dalam masalah yang menyebabkan mental siswa terpengaruh (stress, takut, cemas, kemalangan) ketika ujian.

Ketiga, kemurnian UN yang diragukan. Selain begitu banyaknya faktor yang ikut berpengaruh di luar kemampuan anak selama pelaksanaan UN, juga faktor ketidakjujuran, kecurangan pelaksanaan UN tampaknya sulit dihentikan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjelang UN berserakan bocoran soal dan kunci jawaban mata pelajaran yang di UN kan. Ironisnya praktik jual beli soal atau kunci jawaban ini seperti hal yang lumrah dan mendapat dukungan dari wali murid dan guru. Tidak jarang siswa berani iuran untuk membeli soal dan kunci jawaban tersebut. Yang menjadi pertanyaan kenapa ada bocoran soal dan kunci jawaban? Jika kita menilik dokumen (baca soal dan jawaban) merupakan dokumen negara yang bersifat rahasia. Artinya tidak bisa dipublis sebelum selesai di ujiankan. Seharusnya dokumen tersebut dijaga secara ketat oleh penanggung jawab UN dan aparat penegak hukum (kepolisian). Akan tetapi semua tak berarti karena sebelum ujian dimulai semua soal dan kunci jawaban sudah menyebar ketangan siswa. Selain bukti secara fisik, juga beredar secara luas di media terutama internet dengan  banderol harga sampai jutaan bahkan puluhan juta rupiah. Inikah yang dinamakan peningkatan mutu pendidikan? Malahan dengan UN ini menjadi ladang baru bagi “perusak” pendidikan karena dapat menuai keuntungan dari setiap penjualan soal dan kunci jawaban. Kondisi ini membawa dunia pendidikan kita semakin terpuruk kedalam jurang hitam pendidikan.

Menepis Standar Ganda
Diskursus UN yang tidak kunjung selesai membuat pengambil kebijakan mulai memikirkan solusi cerdas untuk keluar dari keterpurukan mutu dan perilaku pendidikan yang semakin terpuruk. Pemerintah mulai memikirkan bagaimana UN tidak dijadikan standar mutlak dalam kelulusan siswa. Artinya perdebatan mengenai makna UN sebagai standar mutlak kelulusan mulai dihapus agar ada penyatuan tujuan pendidikan di negara kita. Berdasarkan Permendiknas No. 45 Tahun 2010 tentang Kriteria  Kelulusan Peserta Didik dan Permendiknas Nomor 46 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Ujian  Sekolah/Madrasah dan Ujian Nasional Kedua Permendiknas tersebut selanjutnya dijabarkan oleh BNSP melalui Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor 0148/SK-POS/BSNP/I/2011 tentang Prosedur Operasi Standar ujian nasional menyatakan bahwa standar kelulusan siswa terdiri dari dua hal.

Pertama berdasarkan nilai Ujian Akhir Sekolah (UAS). Kelulusan siswa akan dinilai selama dia masuk sampai ujian sekolah selesai menamatkan mata pelajaran dibangku sekolah. Nilai sekolah itu  sendiri diperoleh dengan menggabungkan rata-rata nilai rapor dengan bobot 40% dengan nilai ujian  sekolah dengan bobot 60%. Hasil dari ujian sekolah merupakan pertimbangan dari sekolah yang akan meluluskan siswanya, karena pihak sekolah lebih mengetahui bagaimana kualitas dan kemampuan siswa yang bersangkutan.  
Kedua berdasarkan hasil UN itu sendiri dimana persentase kelulusan siswa dari hasil UN sebesar 60%. UN bukan lagi standar mutlak kelulusan siswa. Walaupun pemerintah terlambat menyadarinya tapi dari pada tidak sama sekali, dengan pembagian persentase standar kelulusan akan dapat menghilangkan ketakutan siswa jika tidak lulus UN. 

Berdasarkan  Permendiknas tersebut nilai Kelulusan UN tidak semata-mata ditentukan berdasarkan hasil UN, tetapi juga mengakomodasi nilai UAS. Dengan kata lain,  kelulusan UN ditentukan berdasarkan perolehan Nilai Akhir (NA) yang merupakan gabungan antara nilai UAS (pada mata pelajaran yang di-ujinasional-kan dengan bobot 40%) dan nilai UN (dengan bobot 60%). Setelah melalui penghitungan NA, peserta didik dinyatakan lulus UN apabila mencapai rata-rata NA sebesar 5,5 dan tidak boleh ada nilai di bawah 4,0. Ini artinya, mata pelajaran tertentu, misalnya bahasa Indonesia,  bahasa Inggris, Matematika, dan IPA untuk jenjang pendidikan SMP, selain diujikan secara nasional juga diujikan melalui ujian sekolah oleh satuan pendidikan masing-masing. Dengan mengelaborasikan nilai UN dan UAS sebagai satandar kelulusan akan menepis standar ganda kelulusan seorang siswa dimana UN bukan standar mutlak dalam menentukan nasib siswa tetapi juga diimbangi dengan UAS sebagai pertimbangan dari guru dan pihak sekolah.

Kedepannya mari kita bersama-sama mengawal bagaimana pelaksanaan ujian UAS dan UN agar benar-benar mencari mutu atau kualitas pendidikan yang lebih baik. Pendidikan merupakan hal yang urgen dikawal oleh seluruh lapisan masyarakat karena maju mundur suatu negara tergantung dari kualitas pendidikan anak bangsanya.  .
  
Opini Haluan Kamis, 7 April 2011*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar