Minggu, 24 April 2011

Jalan Terjal Pemberantasan Korupsi


Oleh : Ilham Kurniawan Dartias


Keterpurukan, karut-marut, penyimpangan dan penegakan hukum yang tebang pilih merupakan potret buram penegakan hukum di negeri kita yang tak kujung usai. Terkhusus kasus korupsi yang telah bersifat sistemik, masif dan terencana menjadikan negara kita sebagai mesin produksi para koruptor yang tidak hanya berkecimpung di pemerintahan pusat tetapi menyebar sampai kedaerah-daerah. Ketika era orde baru korupsi dikendalikan oleh elit dan penguasa di pusat sedangkan daerah hanya meng”amin” kan perintah penguasa dipusat. Pasca reformasi dan bergulirnya otonomi daerah dengan asas desentralisasinya memberikan tempat dan modus baru perkembangbiakan korupsi yang merambah pada pemerintahan daerah. Jika ini dibiarkan akan merusak dan hancurkan tatanan hukum dan sosial masyarakat.

Korupsi ditataran pusat memakan uang negara dalam skala besar dan disertai modus yang terstruktur melibatkan elit-elit politik dan orang berpengaruh di negara ini, sedangkan di daerah perampasan uang rakyat dengan skala yang relatif kecil tetapi dengan ritme yang lebih sering dan berulang-ulang. Apa lagi daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi atau kota-kota besar yang rentan dengan praktik korupsi. Menyebarnya wabah korupsi di daerah yang  melibatkan para pejabat daerah (baca: kepala daerah), tidak terlepas dari penegakan hukum yang setengah hati oleh aparat penegak hukum (baca: polisi, jaksa, hakim). Penerapan hukum jauh panggang dari api, hukum hanya untuk masyarakat lemah sedangkan penguasa tetap bertengger di tampuk kekuasaannya dan hukum hanya mainan dimana remote control ada ditangan penguasa sehingga dapat dikendalikan sesuka hatinya. Kondisi Ini sangat jauh dari tujuan bernegara hukum dimana hukum merupakan panglima terdepan dalam pemberantasan korupsi.

Potret Penegakan Hukum

Menilik kasus korupsi yang melilit kepala daerah terutama di Sumatera Barat merupakan kajian klasik yang telah didegungkan oleh para penggiat anti korupsi. Banyak kepala daerah yang diindikasi melakukan korupsi tetapi tidak ada kelanjutan proses hukum, seakan-akan di diamkan agar terlepas dari jerat hukum. Ini dapat kita lihat ketika Kajati Sumatera Barat dipimpin oleh Antasasi Azhar dalam penanganan kasus korupsi anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004 yang berakhir tragis dengan dibebaskannya 43 orang koruptor oleh Mahkamah Agung. Begitu juga proses hukum  terhadap Gubenur Sumatera Barat saat itu Zainal Bakar yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kasus korupsi dana APBD Sumatera Barat tidak ada kejelasaannya.  Kasus ini bak hilang ditelan bumi tanpa ada status yang jelas dan penindakan yang tegas oleh aparat penegak hukum.

Seharusnya aparat penegak hukum dan pemimpin di negeri ini  menuntaskan kasus pencurian uang rakyat yang dilakukan secara berjamaah oleh wakil rakyat yang bermental koruptif. Ironis memang, ketika para penggiat anti korupsi yang tergabung dalam Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) mendegung-dengungkan pemberantasan korupsi, akan tetapi bertolak belakang dengan penegakan hukum oleh aparatur penegak hukum yang justru melindungi koruptor agar terbebas dari tindakan “bejat”nya dengan menggunakan kewenangan dan kekuasaannya.

Dengan kekuasaan hukum hanya sebagai simbol dan hukum dapat diatur sesuai dengan selera penguasa. Oleh karena itu perlu dikontrol dan di awasi pelaksanaan kekuasaan tersebut. Hal ini sesuai dengan perkataan Lord Acton yaitu power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, bahwa kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup. Perkataan Lord Acton ini sedang berjangkit di negara Indonesia dimana penguasa memiliki posisi yang kuat dalam hukum. Dengan manuver-manuver politik dan kekuasaannya penguasa dan orang-orang dalam lingkungannya sangat sulit dijerat hukum.

Hal ini terjadi ketika Kejati Sumatera Barat, dimana Sutio Usman Aji ingin memberantas korupsi di Sumatera Barat terutama yang melibatkan kepala daerah. Hal hasil ada beberapa kepala daerah yang di indikasi terlibat korupsi pada tahun 2009, dan salah satunya ditetapkan sebagai tersangka yaitu mantan Wali Kota Bukittingi Drs. Djufri yang sekarang terpilih menjadi anggota DPR RI 2009-2014 dari Partai Demokrat. Ketika aroma pemberantasan korupsi di tebarkan oleh Sutio mendapat apresiasi dari masyarakat dan para penggiat anti korupsi Sumatera Barat, akan tetapi andrenalin pemberantasan korupsi ini dikalahkan oleh kekuatan penguasa yang lebih tinggi (baca SBY). Sutio Usman Aji yang “keras kepala” dipindah tugaskan ke Kejaksaan Agung, padahal masa jabatanya baru berjalan lebih kurang 5 bulan.

Kalau kita review kasus Djufri yang sekarang ini mandek di Kejati Sumatera Barat sangat ”miris” bagi tujuan bernegara hukum (rechstaat). Ketika Djufri ditetapkan sebagai tersangka Sutio Usman Aji (Kejati Sumatera Barat saat itu) telah melayangkan surat untuk melakukan pemeriksaan terhadap Djufri yang ditujukan kepada Presiden SBY pada awal tahun 2009. Prosedur izin presiden ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang mengatakan bagi setiap kepala daerah yang terlibat kasus hukum dan ditetapkan sebagai tersangka untuk proses lebih lanjut harus mendapat izin dari presiden.

Jika kita kunyah-kunyak lebih dalam aturan ini, sebenarnya dapat melemahkan pemberantasan korupsi yang melibatkan kepala daerah. Alasan izin dari presiden ini dapat dijadikan tameng agar kasus korupsi diperlama dan diam-diamkan atau tidak lanjutkan hingga hilang bak ditelan bumi.

Lambatnya izin dari SBY menyebabkan semakin mandek dan lambatnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi kepala daerah. Kondisi ini kontradiktif dengan jargon pemberantasan korupsi yang giat di dengungkan SBY.

Sebenarnya landasan yuridis pemeriksaan terhadap kepala daerah yang terlibat kasus dan telah ditetapkan sebagai tersangka tidak hanya pada UU Pemda saja. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 09 Tahun 2009 tentang Petunjuk Izin Penyidikan Terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD dapat dijadikan legal standing melanjutkan proses hukum terhadap kepala daerah. SEMA menyebutkan jika persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.  Artinya tidak adanya izin dari orang nomor satu di Indonesia, Kejati dapat melakukan proses hukum selanjutnya terhadap Djufri.  

Di tahun 2011 ini Kajati Sumatera Barat Bagindo Fachmi mulai melakukan langkah untuk menuntaskan kasus Djufri dengan melayangkan surat pemanggilan pemeriksaan terhadap Djufri pada hari Rabu tanggal 6 April 2011 kemarin. Akan tetapi surat pemanggilan ini dianggap angin lalu dan Djufri tidak menghadiri pemanggilan tersebut tanpa alasan sedikitpun. Djufri yang juga politisi partai Demokrat dengan berani mengindahkan panggilan Kajati. Ini menandakan bahwa Djufri tidak menghormati hukum yang berlaku di negeri ini. Jika Djufri masih tetap bersikukuh tidak mengindahkan pemanggilan ini maka sudah saatnya dilakukan upaya paksa atau penahanan agar Djufri tidak macam-macam dan menganggap remeh hukum yang berlaku.

Untuk proses selanjutnya Bagindo Fachmi akan memanggil kembali Djufri pada tanggal 28 April mendatang dan mari sama-sama kita kawal apakah Djufri masih membangkang dan tidak memenuhi panggilan tersebut maka sudah saatnya people power bergerak untuk menghancurkan superior Djufri.

Begitu juga baru-baru ini indikasi korupsi dana representatif PDAM melibat direktur PDAM Azhar Latief yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 2,4 M. Kasus ini dalam persidangan di Pengadilan Negeri Padang. Dalam persidangan Azhar Latif mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan telinga penggiat anti korupsi bahwa ada beberapa anggota DPRD, tentara dan wartawan yang juga ikut menerima dana representatif PDAM tersebut. Ironis memang jika dana representatif PDAM ini dijadikan lahan korupsi pejabat-pejabat negara di daerah secara berjamah. Masih terngiang-ngiang ditelinga kita korupsi berjamah APBD Sumatera Barat oleh Anggota DPRD Sumatera Barat periode (1999-2004). Sekarang kita dihadapkan dalam kasus perampasan uang rakyat secara berjamaah. Kemana hati nurani pemimpin yang tega merampas hak rakyat dan menggunakannya untuk memperkaya diri sendiri.

Kerasnya dorongan politik dan lemahnya penegakan hukum mengakibatkan banyak kasus korupsi yang mandek. Menurut data dari LBH Padang sebanyak 18 dari 84 kasus dugaan korupsi di Sumatera Barat (Sumbar) sepanjang tahun 2010, belum ditangani jajaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar.  

Disamping itu ditengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi nasional, ternyata Indonesia merupakan  negara paling korup dari 16 negara Asia Pasifik yang menjadi tujuan investasi para pelaku bisnis.  Itulah hasil survei pelaku bisnis yang dirilis Senin, 8 Maret 2010 oleh perusahaan konsultan Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong.

Ini hanya sekelumit potret penegakan hukum dimana jalan yang dilalui sangat terjal dan mendaki sehingga dibutuhkan tenaga dan para profesional hukum untuk menggerakan roda negara hukum seperti hakim, jaksa, advokat dan bidang-bidang lain yang berhubungan dengan penegakan hukum.

Education of Law

Education of law (pendidikan hukum) sangat perlu diterapkan dalam sosial masyarakat, aparat penegak hukum dan para pembuat aturan. Ini relevan jika dikorelasikan dengan teori yang dikemukakan oleh Friedman mengatakan bahwa unsur sistem hukum itu bukan hanya terdiri dari structure (aparat penegak hukum)  dan substance (isi dari hukum) saja. Masih diperlukan unsur ketiga, bahkan yang terpenting bagi bekerjanya sistem hukum, yaitu budaya hukum (legal culture). Legal culture mencakup persepsi masyarakat terhadap hukum atau nilai yang mereka anut yang menentukan bekerjanya sistem hukum yang bersangkutan. Sikap dan nilai-nilai inilah yang akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif terhadap tingkah laku yang berkaitan dengan hukum, sehingga legal culture merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau dilecehkan. Ini sangat berkaitan dengan tujuan bernegara hukum (rechstaat) untuk mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state) yang diimpikan oleh rakyat.

Akan tetapi butuh perjuangan yang berat untuk menegakkan hukum dan keadilan jika ketiga komponen mulai dari structure,  substance dan culture di negara kita tidak menyatukan hati, pikiran dan pergerakan untuk mengkampanyekan  say no to corrupt walaupun harus menempuh “jalan yang mendaki” dalam  pemberantasan korupsi di Indonesia. Terkhususnya kasus korupsi kepala daerah di Sumatera Barat yang mandek agar segera diselesaikan.

Semoga kedepannya kasus korupsi di Sumatera Barat terkuak dan dapat diselesaikan tanpa pandang bulu karena korupsi adalah suatu kejahatan yang bersifat exstra ordinary crime yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan dan moral bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar